Menteri Keuangan Baru, Tantangan Lama

Menteri Keuangan Baru, Tantangan Lama

Oleh Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), UPDM, Jakarta dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

PRESIDEN Prabowo Subianto melantik Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada Senin, 8 September 2025. Posisi Menkeu sungguh strategis dalam menghadapi kenaikan ketidakstabilan ekonomi global saat ini. Apa saja tantangan Menkeu?

Sejatinya, apa tugas dan fungsi Kementerian Keuangan? Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan menyatakan bahwa Kementerian Keuangan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan kekayaan negara untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas itu, Kementerian Keuangan menyelenggarakan fungsi antara lain (a) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran, penerimaan negara bukan pajak, pajak, kepabeanan dan cukai, perbendaharaan negara, kekayaan negara, perimbangan keuangan dan pengelolaan pembiayaan dan rasio keuangan negara.

Selain itu, (b) perumusan, penetapan dan pemberian rekomendasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan, serta (c) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan.

Baca juga: Ekonom: Purbaya Dipilih Prabowo karena Cocok Atur Fiskal Negara

Aneka Tantangan

Lantas, apa saja tantangan Menkeu kini dan di masa mendatang? Pertama, sesungguhnya, apa syarat menjadi menteri? Menurut UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, syarat menjadi menteri adalah (a) warga negara Indonesia, (b) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (c) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Kemudian, seseorang harus (d) sehat jasmani dan rohani, memiliki integritas dan kepribadian yang baik, dan (e) tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih (Pasal 22).

Pasal 15 UU itu membatasi jumlah kementerian paling banyak 34. Tetapi kemudian UU tersebut direvisi oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) bahwa jumlah kementerian tak lagi dibatasi. RUU itu telah disetujui menjadi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 19 September 2024.

Padahal, Pasal 1 UU tersebut dengan terang-benderang menyatakan pembentukan kementerian itu dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas. Tegasnya, nihilnya jumlah kementerian bisa jadi tidak memenuhi unsur efisiensi dan efektivitas tersebut (Paul Sutaryono, Bisnis Indonesia, 22 September 2024).

Kedua, apakah syarat itu sudah memadai? Ternyata belum. Seorang menteri, apalagi Menkeu, wajib memiliki keterampilan berkomunikasi dengan apik. Artinya, komunikasi yang tertata bahasanya sehingga tidak menyinggung masyarakat, terlebih masyarakat bawah yang sedang menderita.

Lihat saja, baru sehari Purbaya Yudhi Sadewa menjabat sebagai Menkeu, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) telah melakukan demo mendesak agar Purbaya dicopot dari jabatannya sebagai Menkeu. Desakan muncul sebagai imbas pernyataan kontroversial dia terkait dengan tuntutan rakyat 17+8 yang menyakiti perasaan masyarakat. Desakan itu disampaikan dalam orasi BEM UI saat menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa 9/9/2025 (IDN Times, 9 September 2025).

Sudah barang tentu, hal itu menjadi peringatan dini bagi Menkeu untuk bertindak lebih hati-hati sekaligus belajar berkomunikasi dengan jitu. Tidak ada pilihan lain.

Ketiga, dalam dua hari terakhir sejak perombakan kabinet, investor asing tercatat aktif melakukan penjualan saham dengan nilai bersih (net sell) sekitar Rp5 triliun. Secara terperinci, net sell asing pada penutupan perdagangan Selasa (9/9/25) mencapai Rp4,32 triliun di pasar reguler dan Rp227 miliar di pasar negosiasi.

Pada penutupan perdagangan Senin (8/9/25) atau pada hari pelantikan Menkeu baru, asing membukukan net sell Rp543 miliar di pasar reguler dan Rp17,7 miliar di pasar negosiasi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa (9/9/25) ditutup di level 7.628, merosot dari titik tertinggi awal pekan ini 7.900. Ini juga sekaligus melanjutkan pelemahan sejak Senin (8/9/25) yang di level 7.766.

Merujuk data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Selasa (9/9/25) ditutup di Rp16.462 per dolar AS (USD). Angka ini melemah sekitar 0,7 persen dibandingkan dengan sebelumnya Rp16.309 per dolar (Kompas, 10 September 2025).

Apa maknanya? Menkeu harus berupaya keras untuk memulihkan bahkan mengerek kepercayaan pasar modal dan pasar saham. Sudah barang tentu, kepercayaan pasar tidak bisa dibeli dengan omon-omon atau janji-janji semata. Inilah tantangan paling berat bagi Menkeu di mata investor nasional, regional bahkan global. Investasi menjadi taruhannya.

Keempat, tantangan di depan mata adalah membenahi efisiensi anggaran. Target efisiensi anggaran Rp306,7 triliun yang meliputi anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah Rp50,6 triliun.

Tetapi efsiensi anggaran tersebut masih “jauh panggang dari api” yang berarti “tidak kena”, “sangat meleset”. Hampir semua anggaran K/L dipangkas untuk membiayai proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) dan menambah modal Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia).

Sebaliknya, Kabinet Merah Putih malah memiliki 49 kementerian, termasuk kementerian baru, yaitu Kementerian Haji dan Umrah ditambah lembaga. Jumlah itu jauh lebih banyak daripada 34 kementerian pada pemerintahan sebelumnya (dengan jumlah penduduk 283 juta jiwa per 2024).

Baca juga: Minta Maaf Salah Omong, Menkeu Purbaya: Ke Depan Akan Lebih Baik

Bandingkan dengan Tiongkok yang hanya memiliki 31 kementerian plus 5 lembaga, padahal jumlah penduduk jauh lebih banyak 1,42 miliar jiwa. Pun India: 63 kementerian (penduduk 1,45 miliar jiwa) dan AS: 15 kementerian (345 juta jiwa). Kabinet yang gendut tentu mendorong biaya tinggi. Hal itu bertentangan dengan spirit efisiensi anggaran.

Sebaliknya, Vietnam justru mengurangi K/L dari 30 menjadi 22 sehingga tinggal 14 kementerian, 3 lembaga setingkat kementerian, dan 5 badan pemerintahan. Hal itu dilakukan dengan menggabungkan sejumlah kementerian.

Padahal, ekonomi Vietnam tumbuh tinggi 7,1 persen (yoy) per 2024 dan 6,93 persen (yoy) per triwulan I 2025, di atas Indonesia 5,03 persen dan 4,87 persen di bawah target APBN 5,2 persen pada 2025 (sebelum revisi). Presiden Prabowo memasang target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 di tengah penebalan ketidakpastian ekonomi global (Paul Sutaryono, Infobanknews.com, 23 Juli 2025).

Ringkas tutur, rencana strategis untuk melakukan efisiensi anggaran belum tampak pada implementasi di lapangan. Sarinya, belum menjalankan apa yang dikatakan (walk the talk). Oleh karena itu, Menkeu harus sanggup menerjemahkan efisiensi anggaran dengan baik dan benar. Masalahnya, apakah Menkeu berani melakukannya di tengah aneka tekanan politik?

Kelima, mari kita cermati APBN 2025 yang mencapai Rp3.621,3 triliun. Target pendapatan negara Rp3.005,1 triliun meliputi penerimaan perpajakan Rp2.490,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp513,6 triliun, dan penerimaan hibah Rp581,1 miliar.

Sebaliknya, target belanja negara Rp3.621,3 triliun, naik 8,9 persen dibandingkan dengan 2024. Ujungnya, defisit akan lebih tinggi menjadi 2,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) untuk mendekati ambang batas 3 persen.

Tetapi data menunjukkan bahwa penerimaan pajak baru mencapai Rp996 triliun atau 45,5 persen per 11 Agustus 2025. Angka itu turun 16,72 persen dari periode yang sama pada 2024. Padahal, sudah seharusnya pencapaian penerimaan pajak sudah melebihi 50 persen mengingat sudah masuk semester II-2025.

Dengan bahasa lebih bening, Menkeu harus menggenjot pendapatan negara dari pajak. Namun, jangan sampai kebijakan menekan rakyat sedemikian rupa dengan menaikkan pajak dan/atau mengenakan pajak baru bagi masyarakat bawah.

Sebaliknya, Menkeu harus meningkatkan daya beli (purchasing power) masyarakat menengah bawah yang amat lemah. Kini, masyarakat bawah sebagian sudah makan tabungan (mantab), sebagian sedang membanting tulang demi sesuap nasi, dan sebagian lagi sedang mencari pekerjaan.

Keenam, terkait dengan 17+8 Tuntutan Rakyat Transparansi, Reformasi dan Empati, kementerian sektor ekonomi ditantang untuk menyelesaikan tiga tuntutan. Satu, pastikan upah layak untuk seluruh angkatan kerja (termasuk guru, buruh, nakes, dan mitra ojol) di seluruh Indonesia. Dua, ambil langkah darurat untuk mencegah PHK massal dan lindungi buruh kontrak. Tiga, buka dialog dengan serikat buruh untuk solusi upah minimum dan outsourcing.

Baca juga: Janji Awal Menkeu Purbaya, Jaga Fiskal Sehat dan Dorong Ekonomi RI

Ketujuh, tengoklah Bank Indonesia (BI) yang mencatat posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai USD433,3 miliar atau tumbuh 6,1 persen (yoy) per triwulan II-2025. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 6,4 persen per triwulan I-2025.

Sementara ini, ULN pemerintah mencapai USD210,1 miliar atau tumbuh 10,0 persen (yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan I-2025 yang mencapai 7,6 persen. Dengan bahasa lebih lugas, Menkeu dituntut untuk mampu mengelola utang negara dengan bersih, cakap, terukur (measurable), dan akuntabel.

Nah, ketika aneka tantangan demikian telah terpenuhi dengan saksama, Menkeu akan mampu menjalankan fungsinya sebagai pendekar fiskal dengan gagah. Tentu saja, kerja sama dengan BI sebagai pendekar moneter akan menjadi sinergi yang amat bermakna untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional!

Related Posts

News Update

Netizen +62