Oleh: Mikail Mo, Peneliti The Asian Institute for Capital Market and Invesment
MESKI sama-sama tidak lulus fit & proper test, Wisto Prihadi, Direktur dan Dwi Ria Latifa, Komisaris Independen, Bank BRI diperlakukan beda oleh BRI. Pola perlakuan ini juga berbeda dengan yang diambil Bank BNI ketika salah satu direksinya tidak lulus fit & proper test, Bank BNI langsung menggelar RUPSLB.
Wisto Prihadi diberhentikan sementara (sebelumnya diminta mengundurkan diri) oleh Dewan Komisaris. Sementara Dwi Ria Latifa diajukan kembali oleh menejemen BRI untuk di test ulang. Padahal, sebelum diberhentikan sementara, kabarnya Wisto Prihadi juga sempat diminta untuk diajukan kembali ke OJK yang memang ada ruang untuk test ulang kembali.
Langkah BRI tentu menimbulkan banyak pertanyaan, apalagi jika dibandingkan pergantian dengan direksi Bank BNI yang tidak lulus fit and proper test, pemberhentian Wisto Prihadi juga berbeda. Kementerian BUMN memperlakukan bank BNI dengan melakukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), sedangkan bank BRI memberhentikan sementara direksi yang tak lulus fit & proper test dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Padahal, sebenarnya bisa dilakukan dua hal, yaitu dengan mengganti dengan RUPSLB dan mengajukan kembali test ke OJK, jika ketidak lulusannya hanya menyangkut kemampuan. Namun yang dilakukan berbeda. Inilah yang menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi, pada pekan lalu terdengar kabar, seperti sumber OJK mengungkapkan, bahwa Dwi Ria Latifa mengikuti fit & proper test ulang.
Menurut seorang bankir yang dipercaya, berkasnya ditarik kembali oleh manajemen karena tidak lengkap. Lalu diusulkan kembali oleh direksi BRI, sementara Dwi Ria Latifa sendiri sudah pernah mengikuti fit & proper test tanggal 28 Agustus 2020. Pemanggilan Dwi Ria Latifa tertuang dalam surat Otoritas Jasa Keuangan, Nomor S-114/PB.1212/2020, tertanggal 25 Agustus 2020.
Selama ini, direksi atau komisaris yang tidak lulus fit & proper test dapat diajukan ulang kembali. Tergantung penilaian, bisa 3 bulan kemudian dan bisa 6 bulan kemudian. Tapi, jika tidak lulus fit & proper test, jika alasan data kurang lengkap, dan ditarik kembali, lalu diajukan kembali tidaklah lazim. Pendek kata, proses test ulang Dwi Ria Latifa tidaklah jamak dilakukan OJK.
Menurut catatan penulis, tidaklah lazim, alasan menarik kembali berkas yang diajukan, karena komisaris sudah pernah ditest. Sementara pihak OJK sendiri, lazimnya juga tidak pernah mengembalikan berkas ketika direksi atau komisaris yang sudah pernah ditest. Pendek kata, sebelum ditest, berkas harus sudah lengkap. Jika belum lengkap, OJK tidak pernah melakukan test.
Kenyataan ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Wisto Prihadi langsung diberhentikan sementara, dan Dwi Ria Latifa diusulkan kembali. Perbedaan perlakuan ini disebut-sebut, karena Dwi Ria Latifa dekat dengan PDI-P, sehingga manajemen BRI, Kementerian BUMN dan OJK memilih kompromi. Seolah-olah test sebelumnya tidak ada, dan seperti test ulang.
Dan, test ulang yang dilakukan pekan lalu itu, sepertinya dikebut menjelang jadwal RUPSLB Bank BRI, 21 Januari 2021. Jika Dwi Ria Latifa lulus, maka kelulusan Dwi Ria Latifa tercepat – yang akan disahkan dalam RDK OJK yang biasa dilakukan oleh Dewan Komisioner OJK. Sebenarnya test ulang diperbolehkan dalam aturan OJK sendiri. Tapi, yang jadi soal, seolah-olah berkas belum lengkap dan baru diajukan. Padahal, yang bersangkutan sudah ditest.
Tulisan ini tidak bertendensi soal perombakan direksi atau komisaris. Tapi, bagaimana sebaiknya jika terjadi direksi atau komisaris bank BUMN yang tidak lulus fit & proper test. Tidak hanya itu, kasus Wisto Prihadi dan Dwi Ria Latifa menjadi pembelajaran bagi industri perbankan, dan juga OJK sendiri. Sebab, fit & proper test sendiri bagi bankir, bak nasib seorang bankir. Seorang akan hidup atau tamat riwayatnya. Namun demikian, OJK juga setidaknya harus mematuhi apa yang sudah digariskan.
Setidaknya OJK juga fair, dan bisa memberlakukan semua pihak sama. Jangan sampai OJK, juga takut dengan tekanan pihak manapun, termasuk partai koalisi. Atau, OJK sendiri “takut” dengan bayangannya sendiri, karena OJK perlu dukungan politik agar peran pengawasan bank tetap di tangan OJK? Banyak pertanyaan tentunya jika tidak sesuai standar yang berlaku.
Sementara Presiden Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Industri Keuangan. OJK tidak boleh mandul lagi, dan tidak boleh “masuk angin”. Selain itu, OJK harus mengeluarkan taringnya, sehingga kredibilitas OJK terjaga dengan baik, dan kepercayaan tinggi.
Sudah benar arahan Presiden Jokowi, karena OJK adalah lembaga super body yang menjaga sektor keuangan. Meski Presiden Jokowi tanpa menyebut kasus per kasus, tapi pernyataannya “terasa lain” ketika Wimboh Santoso, Ketua OJK melaporkan bahwa kondisi industri jasa keuangan baik-baik saja, dan punya peran penting.
Pasal Pemberhentian Harus Fair & Governance
Menurut laporan keuangan Bank BRI per September 2020, aset total Bank BRI (konsolidasi) mencapai Rp1.447,85 triliun, atau naik 10,9% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2019 lalu. Pertumbuhan aset lebih banyak dipengaruhi oleh pertumbuhan dana. Meski aset tumbuh 10,9%, tapi laba BRI anjlok 42,9% untuk konsolidasi, dan 43,9% untuk BRI saja. Laba dari Rp24,8 triliun anjlok menjadi Rp14,15 triliun.
Penurunan laba itu karena salah satunya pendapatan bunga yang turun. Angka net interest margin (NIM) turun menjadi 5,75% dari angka 7,02%. Posisi NPL Bank BRI tetap terjaga dengan angka NPL-net sebesar 0,78%, atau turun dari periode sebelumnya 1,13%.
Namun yang perlu diperhatikan dengan seksama, karena efek panas COVID-19, loan at risk (LAR) Bank BRI melonjak menjadi 29,76%, atau melonjak dibandingkan awal COVID-19 (Maret 2020) yang baru 12,93%. Sektor UMKM terkena dampak, dan BRI pun kena efek langsung yang tidak ringan.
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa, Bank BRI yang rencananya tanggal 21 Januari 2021, salah satu agenda perubahan susunan pengurus. Jadwal RUPSLB yang sedikit molor, padahal harusnya tiga bulan setelah direksi dinyatakan tidak lulus fit & proper test. Perdebatan memakai ketentuan POJK mana yang bulan sebelumnya ramai dibicarakan media
Beberapa fakta yang sudah ditulis media sebagai berikut. Ada yang berpendapat, bank BRI tidak mematuhi peraturan SE OJK 39/SEOJK.03/2016 dan Anggaran Dasar (AD) BRI Nomer 5 Tahun 2018 pasal 11 ayat 5.
Simak! SE OJK 39/2016 pada intinya; bank wajib menyelenggarakan RUPS untuk membatalkan pengangkatan calon direktur yang tidak disetujui oleh OJK paling lama 3 (tiga) bulam sejak tanggal ditetapkan tidak disetujui.
Juga AD BRI Nomer 5 Tahun 2018 pasal 11 ayat 5 yang intinya juga menyebut hal yang sama bahwa perseroan wajib menyelenggarakan RUPS untuk melakukan pergantian anggota direksi yang tidak memenuhi persyaratan.
Seperti dikutip dari media, OJK tidak menyetujui pengangkatan Wisto Prihadi sebagai direktur kepatuhan Bank BRI pada tanggal 14 Agustus 2020, dan surat pemberitahuan disampaikan kepada Direktur Utama BRI pada tanggal 19 Agustus 2020.
Nah, jika sesuai surat keputusan OJK, bahwa BRI seharusnya wajib melakukan RUPS paling lama tiga bulan sejak tanggal ditetapkan, atau paling lama tanggal 14 November 2020. Bank BRI juga belum melakukan RUPS. Dan, RUPSLB Bank BRI baru dilakukan tanggal 21 Januari 2021 mendatang.
Pemberhentian sementara juga tidak pas jika menggunakan POJK No. 33/POJK.02/2014 tanggal 8 Desember 2014. Ketentuan ini hanya berlaku bagi anggota direksi perusahaan emiten yang sudah mendapatkan persetujuan regulator. Sedangkan Wisto Prihadi statusnya baru calon direksi (tidak lulus uji kepatuhan) atau belum definitive.
Jadi, aturan yang berlalu seharusnya SE OJK 39 Tahun 2016 – pemberhentian hanya bisa dilakukan lewat RUPS. Namun Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo buka suara soal polemik pemberhentian Direktur Kepatuhan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Wisto Prihadi yang dilakukan tanpa mekanisme RUPS.
Kepada Kontan (30/11/2020), Anto Prabowo menjelaskan, BRI telah menyelenggarakan proses pemberhentian sesuai mekanisme dan ketentuan perundangan yang berlaku. Anto mengutip pasal 10, dan pasal 11 POJK 33/2020 tentang Direksi dan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik yang mengatur soal pemberhentian sementara.
Peryataan Anto Prabowo tidak keliru, jika Wisto Prihadi sudah resmi jadi direksi yang sudah lulus uji kepatutan oleh OJK. Seperti surat OJK ke Dirut BRI yang menyatakan Wisto Prihadi tidak lulus uji kepatuhan. Jadi belum resmi menjabat sebagai direksi yang tidak seharusnya menggunakan POJK 33/POJK/2014. Lebih tepatnya menggunakan SE POJK 39/2016. Bukan POJK 33/POJK/2014.
Sejalan dengan itu, ada surat komisaris BRI Nomor SR.37-KOM/11/2020 tanggal 11 November 2020 disebutkan pemberhentian Wisto Prihadi secara definitive akan dilakukan pada RUPS terdekat sesuai ketentuan berlaku. Dan, RUPSLB Bank BRI akan dilakukan tanggal 21 Januari 2021. Hampir pasti Wisto Prihadi akan diberhentikan secara definitif lewat RUPSLB.
Meski Bank BRI melakukan RUPSLB tanggal 21 Januari mendatang, boleh jadi Bank BRI tidak menyelenggarakan RUPSLB tanggal 14 November 2020 sesuai mekanisme peraturan SE OJK 39/SEOJK.03/2016 dan Anggaran Dasar (AD) BRI Nomer 5 Tahun 2018 pasal 11 ayat 5.
Dan, OJK dalam hal ini lebih memilih membiarkan dan pemagang saham dalam hal ini juga mengamini penyelenggaraan RUPSLB Bank BRI yang salah satu agendanya pergantian direksi. Surat undangan sudah disebar, termasuk undangan kepada Wisto Prihadi yang diminta hadir 30 menit sebelumnya.
Kehadiran 30 menit sebelum RUPSLB sebelum waktunya memang diatur dalam POJK 33/POJK/2014. Wisto Prihadi untuk melakukan pembelaan. Hal ini aneh, apanya yang dibela? Sebab, Wisto Prihadi diberhentikan karena alasan tidak lulus fit & proper test dari OJK. Hal ini normal, jika Wisto Prihadi sudah menjadi direktur difinitif dan diberhentikan. Ini Wisto Prihadi belum secara difinitif menjadi direksi, baru calon direksi. Aneh, tidak lulus kok diberi kesempatan membela diri?
Jika demikian, boleh jadi, banyak pertanyaan yang muncul. Ada semacam perlakuan tidak fair terhadap Wisto Prihadi. Sudah diberhentikan sementara tidak lewat RUPSLB, seperti ketika direksi Bank BNI tidak lulus fit & proper test. Juga, sekaligus tidak diajukan test ulang kembali seperti Dwi Ria Latifa.
Kasus Wisto Prihadi dan Dwi Ria Latifa menarik untuk menjadi pelajaran bagi perusahaan publik. Jangan sampai kasus ini menimpa perusahaan public lain lain. Apalagi, kementrian BUMN juga harus fair, dan OJK pun harus berani dan tegas, dapat mengeluarkan taringnya, tidak “mandul” dan tidak “masuk angin” seperti ditegaskan Presiden Jokowi.
Tulisan ini bukan soal semata Wisto Prihadi. Atau, soal Dwi Ria Latifa, tapi untuk seluruh direksi dan komisaris perusahaan public. Dan, terutama bank-bank BUMN agar taat governance yang harus dijaga oleh Kementerian BUMN dan OJK sendiri. Jangan beda perlakuan. Ini perusahaan public, dan bukan milik “nenek moyangnya”.
Padahal, kasus Wisto Prihadi, tinggal buat RUPSLB saja tanggal 14 November 2020 lalu, soal selesai. Tidak banya pertanyaan. Juga, tidak berdebat soal POJK 33/POJK/2014 yang tampak dari luar dipaksakan. Dan, terus menimbulkan kecurigaan dan polemik berkepanjangan. Ada apa?