Menimbang Transmisi Krisis Perbankan ke Perekonomian

Menimbang Transmisi Krisis Perbankan ke Perekonomian

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI

SEBUAH pertanyaan kritis mencuat di sebuah portal asing: akankah kekacauan perbankan di sebagian negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyebabkan kehancuran ekonomi negaranya?

Pertanyaan di atas simpel dan logis. Saat ini banyak hal di dunia berubah dengan cepat. Belum lama para analis dan ekonom berpikir bahwa ekonomi global sedang bergerak maju menuju ke fase pemulihan. 

Sekarang mereka justru khawatir tentang resesi yang dalam, yang disebabkan oleh dampak dari gejolak perbankan. Diistilahkan, dari sebelumnya tidak mendarat ke pendaratan keras, seperti ditulis Torsten Slok dari Apollo Global Management, seorang manajer aset. 

Pandangan senada muncul dari seorang analis bank investasi asing bahwa pendaratan lunak sekarang terlihat tidak mungkin, karena krisis kepercayaan pasar yang meningkat. Bahkan, gejolak di sektor perbankan berpotensi menggerus prospek pertumbuhan ekonomi global dan kawasan. 

United Bank of Switzerland (UBS), salah satu bank papan atas di Swiss, melacak pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global seperti yang divaluasi oleh pasar keuangan saat ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 3,4%, versus 3,7% sebelum Silicon Valley Bank (SVB) di AS runtuh. 

Harus diakui, hingga saat ini masih terbilang hari-hari awal. Rasa sakit mungkin sedang dalam perjalanan. Seperti dicatat oleh JP Morgan, saat ini para analis dan ekonom memiliki dua kekhawatiran. Salah satunya adalah ketidakpastian. 

Jika orang takut akan krisis perbankan dan permasalahan ekonomi menyertainya, maka biasanya mereka akan memangkas tingkat konsumsi dan investasi. Alhasil, outlook perekonomian akan melambat.

Kekhawatiran kedua berkaitan dengan kredit. Lembaga keuangan, yang takut akan kerugian, dapat menarik kembali pinjaman secara seketika. Bahkan, bisa melakukan langkah stop kredit. Situasi seperti ini tentu akan memperlemah aktivitas ekonomi, sebagaimana merujuk pada penelitian Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang terbit pada 2013. 

Riset IMF ini menemukan bahwa lonjakan dalam ketidakpastian, yang disebabkan oleh hal-hal seperti invasi AS ke Irak dan keruntuhan bank, dapat memangkas outlook pertumbuhan PDB tahunan sebesar 0,5%. Ini lantaran sebagian besar perusahaan menunda investasi. Alhasil, jika pukulan seperti itu terwujud, maka pertumbuhan global akan turun dari 3% menjadi 2,5%.

Dampak ke Perekonomian

Sejatinya kalangan ekonom lebih khawatir tentang masalah kredit dibandingkan dengan masalah ketidakpastian. Logikanya, jika perusahaan tidak bisa mendapatkan akses pembiayaan, maka mereka tidak dapat tumbuh dengan leluasa. 

Itu sudah terbukti ketika pada tahun-tahun setelah krisis keuangan global 2007-2009, pasar kredit yang rusak telah menahan pemulihan ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan produktivitas jangka panjang.

Bukti terbaru juga tersaji, di mana setelah jatuhnya SVB di AS, pasar modal AS (New York Stock Exchange/NYSE) melemah karena harga saham perbankan berguguran. Pada kurun waktu 11 hingga 19 Maret 2023, perusahaan-perusahaan di AS tidak menerbitkan obligasi sebagai instrumen investasi baru, setelah penerbitan rata-rata harian sebesar US$5 miliar pada Januari dan Februari. 

Kerusakan pada bank tampaknya akan terbukti lebih konsekuensial. Sejak awal Maret harga saham bank global telah anjlok lebih dari 10%. Penelitian menunjukkan penurunan harga saham cenderung memukul pertumbuhan pinjaman. 

Bank juga dapat memangkas pinjaman jika mereka melihat arus keluar dana pihak ketiga (terutama deposito) meningkat. Di lain sisi, bank perlu meningkatkan modal karena investor meragukan keamanan dana mereka. 

Memang, banyak bank tampak sudah memperketat standar sistem manajemen risikonya untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan terburuk. Menurut Goldman Sachs, tekanan terhadap pinjaman menyiratkan hambatan pertumbuhan sebesar 0,4% di AS dan kawasan Euro. 

Gejolak mungkin lebih merugikan bank-bank AS, sementara ekonomi di kawasan Eropa lebih bergantung pada pinjaman bank. Ini dapat memangkas pertumbuhan global lebih jauh, dari 2,5% menjadi 2%.

Morgan Stanley dalam https://www.morganstanley.com/ideas/banking-crisis-recession-risk-2023, edisi 29 Maret 2023, mencatat bahwa persoalan bank-bank regional di AS telah meningkatkan risiko pendaratan keras ekonomi. Dampaknya, kini ekonomi AS telah memasuki periode “stagflasi” – yakni pertumbuhan ekonomi yang lambat, disertai inflasi yang terus-menerus tinggi, dan peningkatan pengangguran.

Tekanan berat di sektor perbankan AS telah dengan tegas memperumit misi Federal Reserve (The Fed) untuk memerangi inflasi. Ini juga membuat resesi ekonomi jauh lebih mungkin terjadi, meskipun dalam skala ringan (mild recession). 

Namun, investor saham AS tampaknya mengabaikan risiko tersebut. Menyusul kegagalan beberapa bank regional di AS pada awal Maret lalu, investor berbasis pendapatan tetap bergegas melepas obligasi pemerintah AS yang mereka miliki untuk menekan kerugian lebih lanjut. 

Sentimen negatif melanda saham-saham perbankan pascajatuhnya SVB dan beberapa bank regional lainnya. Di sini terdapat setidaknya tiga kemungkinan skenario. Pertama, gejolak industri perbankan kemungkinan akan menyebabkan standar penyaluran kredit dan kondisi keuangan yang lebih ketat. 

Bank-bank regional dengan aset kurang dari US$250 miliar menyumbang persentase signifikan dari pinjaman yang dilakukan di AS – sekitar 50% dari semua pinjaman komersial dan industri, sekitar 70% pinjaman real estat komersial, dan sekitar 38% hipotek perumahan. 

Jika bank-bank regional memperketat pertumbuhan pinjaman komersial dan industri, maka pertumbuhan PDB AS dapat melambat, karena pinjaman tersebut secara langsung memengaruhi kelangsungan hidup perusahaan, lapangan kerja, dan konsumsi. 

Dengan kata lain, ketika pertumbuhan pinjaman tadi melambat, maka pengangguran cenderung meningkat. Pengetatan standar pinjaman baru-baru ini menunjukkan tingkat pengangguran dapat meningkat sebesar 2,5% dalam satu atau dua tahun ke depan.

Kedua, profitabilitas bank regional secara keseluruhan kemungkinan akan berada di bawah tekanan, yang dapat memberikan tekanan lebih lanjut terhadap ekonomi AS. Bank dapat melihat meningkatnya persaingan untuk simpanan nasabah terhadap obligasi pemerintah AS dengan imbal hasil lebih tinggi, sertifikat deposito (certificate of deposit/CD) dan dana pasar uang. 

Maka, untuk mempertahankan simpanan, bank kemungkinan perlu meningkatkan suku bunga yang mereka berikan kepada deposan, yang dapat menekan margin keuntungan bank. Selain itu, lembaga pemeringkat kredit baru-baru ini memotong pandangan mereka tentang sistem perbankan, yang hanya memperburuk tekanan margin tersebut. 

Ketiga, kekhawatiran tentang stabilitas keuangan dapat memaksa The Fed menghentikan upaya penanggulangan inflasinya sebelum waktunya. Tekanan harga tetap relatif tinggi, dengan indeks harga konsumen (IHK) inti naik 5,5% dari tahun ke tahun pada Februari dan inflasi jasa masih meningkat. 

Risikonya adalah inflasi tetap lebih tinggi dan lebih lama, bahkan ketika ekonomi melambat – resep untuk stagflasi yang kemungkinan akan membuat konsumen mengalami penurunan daya beli setelah pendapatan mereka disesuaikan dengan inflasi.

Pada akhirnya, meskipun gejolak perbankan di Eropa dan AS bukanlah kabar baik, hal itu belum tentu akan mendorong ekonomi dunia ke jurang resesi. Masalahnya, bank-bank kreditur membutuhkan waktu untuk membangun kembali neraca banknya. Kenaikan suku bunga akan terus menghambat pertumbuhan sampai bank sentral menilai pekerjaan mereka (yakni melandaikan inflasi ke target sasaran) telah selesai. 

Namun, dunia berucap syukur, pada saat yang sama ada “kekuatan lain” yang bekerja ke arah lain juga. Yakni, pemulihan ekonomi Tiongkok setelah dibekukannya kebijakan nol COVID-19. 

Para ekonom memperkirakan ekonomi terbesar kedua di dunia itu akan tumbuh lebih dari 7% year on year (yoy) pada kuartal kedua tahun ini. Sementara itu, kemacetan rantai pasokan global sebagian besar telah mereda dan harga energi telah jatuh. Maka, jangan heran jika penguatan ketahanan ekonomi dunia akan terus berlanjut.

Menjaga Kepercayaan 

Dikutip dari website Wells Fargo (https://wellsfargo.bluematrix.com), kalangan konsumen bank di AS tidak menyukai kondisi saat ini, tetapi terdapat pandangan yang lebih optimistis tentang arah yang lebih baik sudah cukup untuk memberikan kepercayaan diri secara keseluruhan. Dengan kata lain, krisis perbankan di AS dinilai masuk kategori tidak tinggi dalam daftar kekhawatiran konsumen AS saat ini.

Pada Maret 2023, bulan di mana sistem keuangan terguncang di tengah kegagalan bank dan kekhawatiran tentang sistem keuangan, kepercayaan konsumen sebenarnya naik tipis ke level 104,2. Sebagian alasan kepercayaan konsumen bertahan adalah pandangan tentang pasar tenaga kerja yang tetap mendukung secara luas.  

Meskipun kenaikan suku bunga The Fed tercepat sejak 1980-an, namun pasar tenaga kerja terjaga kuat. Prospek tenaga kerja jangka pendek membaik, dengan 15,0% konsumen melaporkan bahwa mereka berharap lebih banyak pekerjaan tersedia dalam enam bulan ke depan dibandingkan dengan 14,5% pada Februari. 

Optimisme itu diterjemahkan ke prospek untuk neraca rumah tangga, dengan 14,9% konsumen mengharapkan pendapatan mereka meningkat selama enam bulan ke depan, lebih tinggi daripada Februari yang sebanyak 14,4% konsumen. Data ini sangat kontras dengan gejolak pasar yang terjadi selama beberapa minggu terakhir karena turbulensi di sektor perbankan, yang menunjukkan prospek jangka pendek konsumen tidak rusak secara signifikan oleh peristiwa tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa krisis perbankan di sebagian negara Eropa dan AS saat ini berpotensi menekan prospek pertumbuhan ekonomi global. Sejauh mana dampak tersebut akan menjadi kenyataan, semuanya bergantung pada efektivitas penanganan bank-bank bermasalah, baik di Eropa maupun di AS. 

Data terkini, harga saham Deutsche Bank (DB) melonjak 6,15% pada perdagangan 27 Maret 2023 setelah sebelumnya anjlok hingga 8,5% dalam sepekan akibat turbulensi perbankan di AS hingga Eropa. 

Sejak kegaduhan SVB dan Credit Suisse, harga saham DB merosot 21,3% ke 9,07 euro per saham. Kejatuhan tersebut buah dari kepanikan para pelaku pasar terhadap kondisi perbankan di AS dan Eropa. Padahal, kondisi likuiditas DB masih terbilang solid dengan kinerja keuangan mengesankan.

Tahun lalu, DB memperoleh laba 5,66 miliar euro (Rp92,51 triliun), perolehan tertinggi sejak 2007. Bank juga telah membangun penyangga modal yang kuat, dengan rasio ekuitas inti (common equity tier 1/CET 1) sebesar 13,4%. Selain sangat menguntungkan, saat ini DB memiliki rasio modal terkuat sejak akhir 1990-an, dan memiliki risiko suku bunga yang lebih rendah daripada beberapa bank regional AS.

Dari segi likuiditas, DB memiliki tingkat liquidity coverage ratio (LCR) sebesar 145%. LCR sendiri memiliki batas risiko 100%, artinya saat ini tingkat likuiditas DB solid. 

Bank satu ini sejatinya tidak asing dengan masa-masa sulit. Selama bertahun-tahun setelah krisis keuangan global, bank tersebut mengalami kerugian, restrukturisasi besar-besaran, pergantian eksekutif dan denda besar, hingga akhirnya mampu melewati krisis kepercayaan investor yang akut pada 2016.

Pemerintah Jerman bahkan terbuka akan potensi merger gaya UBS-Credit Suisse, dalam hal ini DB akan disandingkan dengan pesaing domestik, yakni Commerzbank AG. Sejak 2018, DB dipimpin oleh CEO Christian Sewing, seorang pria dengan latar belakang mendalam di bidang audit, pengendalian risiko, dan perbankan ritel. Di bawah kendalinya, DB berhasil dipoles menjadi lebih menguntungkan. 

Jadi, sebenarnya yang membuat saham DB sempat jatuh murni digerakkan oleh persepsi investor terhadap kondisi perbankan global saat ini. Investor gelisah tentang kesehatan sektor perbankan setelah kegagalan mendadak SVB, Silvergate Capital Corp, dan Signature Bank di AS, serta pengambilalihan darurat Credit Suisse Group AG Swiss oleh saingan domestik UBS Group AG. 

Rentetan krisis tersebut akhirnya menyoroti betapa rentannya bank terhadap perubahan kepercayaan yang tiba-tiba, di era perbankan online dan media sosial yang hiperaktif, dan beberapa pemberi pinjaman tidak siap menghadapi kenaikan suku bunga yang cepat.

Maka, menjaga kepercayaan seluruh pemangku kepentingan – utamanya konsumen bank sebagai basis penopang sumber pendanaan bank – menjadi kata kunci melanjutkan kegiatan usaha bank yang berdaya tahan tinggi, produktif, berprofit, dan berkontribusi bagi perekonomian. (*)

Related Posts

News Update

Top News