Oleh Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
PADA 27 September 2023, Infobank Media Group mengundang saya menjadi salah satu pembicara dalam forum yang mengangkat tema Boosting Up Sustainable Business Through GRC And ESG. Menurut saya topik ini sangat tepat untuk dihadiri para direksi badan usaha milik negara (BUMN) dan lembaga keuangan syariah. Sebab, sebagian BUMN memiliki kinerja yang sangat baik, tapi sebagian bermasalah, merugi, bahkan tak mampu membayar kewajibannya.
Buruknya kinerja keuangan sejumlah BUMN bukan semata-mata karena melaksanakan proyek pemerintah, namun tidak diterapkannya governance, risk, and compliance (GRC) dengan baik.
Baca juga: Sri Mulyani Usulkan Suntikan Modal untuk BUMN Dipercepat, Apa Alasannya?
Saya ambil contoh BUMN karya yang pernah melewati tahun-tahun sebelumnya dengan kinerja yang selalu cemerlang. Namun, sejak tahun 2000 semua kesulitan. Misalnya Waskita Karya yang sejak tahun 2020 merugi dengan akumulasi kerugian hingga 2022 mencapai Rp12,80 triliun.
Begitu juga dengan Pembangunan Perumahan (PP) yang merugi sejak 2019 mencatat akumulasi kerugian sampai 2022 sebesar Rp1,61 triliun. Bahkan, Hutama Karya yang merugi sejak 2020 dengan total kerugian sampai 2022 sebesar Rp5,91 triliun. Padahal, perusahaan BUMN ini selalu diinjeksi dana PMN dengan jumlah yang besar. Total suntikan PMN selama 10 tahun pemerintahan Jokowi mencapai lebih dari Rp80 triliun.
Betul bahwa pandemi COVID-19 membuat dunia bisnis sulit. Selain di sektor konstruksi, BUMN di sektor lain juga banyak yang tetap tumbuh sehat seperti perbankan. Jadi faktanya banyak perusahaan lain yang survive melewati pandemi, baik swasta maupun BUMN. Pandemi COVID-19 bukan penyebab utama kegagalan perusahaan, karena sebelum pandemi pun banyak BUMN yang kinerjanya morat-marit karena tidak menerapkan GRC secara efektif. Misalnya Asuransi Jiwasraya yang sampai saat ini menjadi beban keuangan negara.
Sebab, Indonesia Finance Group (IFG) yang menjadi holding dari IFG Life yang menampung puluhan triliun rupiah polis dari nasabah Jiwasraya terus mengajukan Permodalan Modal Negara (PMN) yang besar. Dari Rp92 triliun PMN pada 2021, sebanyak Rp20 triliun mengalir ke IFG. Pada 2022, IFG kembali mendapatkan PMN Rp2 triliun, tahun ini Rp3 triliun, tahun 2024 diajukan kembali sebesar Rp3,5 triliun. Pertanyaannya, sampai kapan permasalahan di BUMN asuransi tersebut selesai?
Apa yang terjadi di Jiwasraya disebabkan oleh tidak diterapkannya praktek GRC. Ini juga dialami di BUMN sektor lain. Misalnya Waskita Karya yang kinerjanya ambruk bukan karena semata-mata proyek penugasan, tapi karena faktor GRC sehingga anak usahanya yaitu Waskita Beton Precast ketahuan KPK telah melakukan proyek fiktif antara 2016-2020. Dari dulu sekarang, lingkungan BUMN juga masih diwarnai perusahaan-perusahaan yang merugi karena salah kelola.
Baca juga: Bentuk Pansus BUMN Karya Bermasalah, Erick Thohir Bakal Penjarakan Oknum Terkait
Agar negara tidak terus-terus menginjeksi PMN ke BUMN, menurut saya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Satu, BUMN-BUMN harus melaksanakan praktek GRC seperti seperti halnya lembaga perbankan yang saya lihat melakukannya secara disiplin. Dua, Kementerian BUMN harus menempatkan direksi-direksi BUMN secara selektif beradasarkan kemampuan dan integritasnya yang teruji, bukan karena pertemanan semata.
Ketiga, pembangunan infrastruktur sudah secara masif dilakukan selama 10 tahun dengan menguras keuangan negara yang besat termasuk BUMN. Barangkali hal tersebut bisa dikurangi dengan melibatkan sektotr swasta dan pemerintah fokus mengoptimalkan utilisasi infrastruktur yang telah dibangun dan membangun sumber daya manusianya. (*)