Mengurai Kebuntuan Tapera

Mengurai Kebuntuan Tapera

Oleh Paul Sutaryono

WADUH, pekerja dan pengusaha menolak keras Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). PP itu mewajibkan pekerja dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta Tapera. Bagaimana mengurai kebuntuan Tapera?

PP itu merupakan turunan dari UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Tapera bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau peserta.

Mereka yang menolak seolah tak mengerti Tapera sudah berjalan sejak 4 tahun lalu atau pada 2020 sesuai dengan PP Nomor 25 Tahun 2020. Namun saat ini, Tapera baru berlaku bagi PNS (ASN). Kemudian segera berlaku bagi TNI/Polri, karyawan BUMN, BUMD, BUMDes, swasta dan pekerja mandiri.

Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Simpanan 3 persen dari gaji yang meliputi 0,5 persen dan 2,5 persen masing-masing ditanggung pemberi kerja dan pekerja. Tetapi, pekerja mandiri menanggung 3 persen dari upah minimum.

Awalnya, kredit pemilikan rumah (KPR) dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dikelola Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2021 tentang Mekanisme Pengalihan Dana FLPP dari PPDPP, pengelolaan dana FLPP dialihkan ke BP Tapera.

Dengan demikian, BP Tapera melayani 2 program pembiayaan perumahan yakni layanan pembiayaan perumahan bagi ASN peserta Tapera dan FLPP. Pembiayaan KPR Tapera bersumber dari iuran peserta Tapera dan FLPP bersumber dari APBN. Alhasil, terdapat 2 model bisnis (business model) dalam mengelola kedua program itu Model Bisnis Pengelolaan Dana Tapera dan Model Bisnis Pengelolaan Dana FLPP.

Baca juga: Bos BTN Berikan Solusi Atasi Backlog Perumahan, Lebih Baik dari Tapera?

Sejauh mana kinerja FLPP pada 2018-2023? Pada 2018 dengan target 58.612 unit rumah tercapai 57.939 unit (98,85 persen). Pada 2019 dengan target 68.858 unit rumah tercapai 77.835 unit (113,04 persen). Pada 2020 dengan target 102.500 unit rumah tercapai 109.253 unit rumah (106,59 persen).

Pada 2021 dengan target 157.500 unit rumah tercapai 178.728 unit (113,48 persen). Pada 2022 dengan target 200.000 unit rumah tercapai 226.000 unit rumah (113 persen). Pada pertengahan Desember 2023 dengan target 229.000 unit rumah telah tercapai 229.000 unit rumah (100 persen).

Data itu menegaskan realisasi FLPP pada 2018 sudah mendekati target (98,85 persen). Tetapi realisasi pada 2019-2022 sudah mencapai di atas target dengan rata-rata 111,53 persen. Walau baru pertengahan Desember 2023, realisasi 2023 sudah mencapai 100 persen dari target senilai Rp26,32 triliun. Kinerja yang menggembirakan!

Aneka Jurus Sakti

Lantas, apa saja jurus sakti untuk mengurai kebuntuan Tapera? Pertama, resistensi itu merupakan tantangan pemerintah dan Komite Tapera terutama Badan Pengelola (BP) Tapera yang dibentuk dengan UU Nomor 4 Tahun 2016. BP Tapera merupakan peleburan dari Badan Pertimbangan Perumahan Rakyat Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS). Karena itu, BP Tapera wajib melakukan sosialisasi yang lebih efektif kepada pekerja, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja.

Upaya itu dapat dilakukan melalui above the line (ATL), below the line (BTL) dan social media. Bahkan, sosialisasi dapat pula berupa artikel advertorial di koran, majalah dan media daring seprti infobanknews.com, kompas.com, detik.com yang pernah dilakukan pada September-Desember 2023.

Kedua, apa yang dikeluhkan? Potongan 3% itu akan menambah beban baru. Selama ini, gaji pekerja sudah dipotong untuk aneka iuran seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Karena itu-dalam sosialisasi-BP Tapera perlu membahas madu (manfaat) dan racun (potensi risiko) Tapera dengan ilustrasi yang sederhana tetapi jelas.

Bagaimana mungkin iuran 3 persen x Rp5 juta (contoh upah minimum) x minimal 12 bulan = Rp1,8 juta dapat menjadi uang muka KPR bersubsidi? Sebab, Tapera dikelola dengan asas gotong royong. Artinya, tabungan peserta lainnya dimanfaatkan bagi peserta lain untuk pembiayaan rumah pertama.

BP Tapera memiliki database kepesertaan Tapera. Hal itu menjadi output dalam membentuk Antrian Perumahan (Housing Queue) yakni pengumpulan hingga pengolahan data kelompok peserta. Data itu merupakan data preferensi kebutuhan hunian rumah tapak dan rumah susun.

KPR bersubsidi ditujukan kepada MBR dengan gaji maksimal Rp8 juta dan Rp10 juta di Papua dan Papua Barat. Harga rumah paling tinggi Rp166 juta di luar Papua dan Rp240 juta di Papua. KPR bersubsidi menawarkan uang muka 1 persen, suku bunga kredit 5 persen fixed hingga lunas dengan tenor 20 tahun dan cicilan terjangkau.

Ketiga, resistensi juga disebabkan trauma jangan-jangan Tapera bernasib sama dengan kasus Asuransi Jiwasraya yang diduga menelan risiko kerugian triliunan rupiah. Untuk itu, BP Tapera perlu memberikan ilustrasi mengenai pengerahan, pemupukan dan pemanfaatan dana Tapera. Hal itu amat mendesak dan penting agar pekerja dan pemberi kerja memahami pengelolaan Tapera.

Keempat, namun PP itu perlu direvisi. Tapera hendaknya tidak wajib bagi pekerja yang telah dipotong iuran Jaminan Hari Tua (JHT). Mengapa? Karena potongan JHT oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) menyebutkan peserta memperoleh manfaat layanan tambahan berupa fasilitas pembiayaan perumahan dan/atau manfaat lain.

Hal itu tertuang pada pasal 25 PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT efektif 30 Juni 2015. Pasal itu menegaskan fasilitas itu berupa pinjaman uang muka perumahan KPR, rumah susun sederhana sewa dan pinjaman renovasi perumahan. Sarinya, tujuan JHT dan Tapera ternyata sama yakni iuran yang dapat dimanfaatkan untuk uang muka KPR.

Kelima, Tapera pun hendaknya tak wajib melainkan suka rela bagi pekerja mandiri. Mengapa? Karena target pekerja mandiri wajib menjadi peserta Tapera itu bagai menembak burung di langit. Sulit bin sukar.

Namun, BP Tapera dapat menjaring pekerja migran Indonesia (PMI) dahulu TKI untuk menjadi peserta mandiri Tapera. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan penempatan PMI naik 135,68 persen dari 25.977 orang pada Mei 2023 menjadi 30.116 orang pada Mei 2024. Hal itu merupakan pasar yang luas (emptive market).

Keenam, selain wajib mengerek kinerja unggul, BP Tapera wajib meningkatkan penerapan tata kelola yang tersirat pada pengelolaan Tapera secara transparan. Pun transparansi pada pengerahan, pemupukan dan pemanfaatan dana Tapera. Ini mutlak.

Ketujuh, selama ini BP Tapera telah diawasi Komite Tapera dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (pasal 69 UU Nomor 4 Tahun 2016). Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat melakuan pemeriksaan atas penyelenggaraan Tapera sesuai dengan kewenangannya (pasal 71). Pengawasan yang berlapis-lapis itu diharapkan dapat menjamin keamanan dana Tapera dari potensi risiko fraud.

Kedelapan, apa kontribusi BP Tapera kepada negara? Sebut saja, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Rp289,6 miliar pada 2022 dan Rp560 miliar per November 2023.

Selain mampu menyerap banyak tenaga kerja, penyaluran FLPP mampu menekan pengangguran terutama tenaga kerja yang memiliki pendidikan dan keterampilan rendah. Bahkan, penyaluran FLPP mampu meningkatkan PDB 2,8 persen.

Kesembilan, bagaimana tantangan BP Tapera dengan Komisioner baru periode Maret 2024-2029? Kian berat pada 2024. Mengapa? Karena alokasi anggaran untuk program rumah bersubsidi dengan FLPP bagi MBR dipangkas 24 persen.

Bagaimana target pembangunan rumah bersubsidi pada 2024? Kemenkeu memangkas bantuan rumah bersubsidi atau FLPP pada 2024 menjadi 166.000 unit rumah (turun 24,55 persen dari 220.000 unit rumah) senilai Rp13,72 triliun turun 45,51 persen dari Rp25,18 triliun pada 2023.

Pada 2024, pemerintah mengalokasikan (a) subsidi bantuan uang muka untuk 166.000 unit rumah senilai Rp680 miliar turun 23,60 persen dari Rp890 miliar pada 2023.

Baca juga: Ngeri! Begini Dampak Negatif jika Tapera Tetap Dilanjutkan

Kemudian, (b) subsidi selisih bunga untuk 751.735 unit rumah turun 0,30 persen dari 754.004 unit rumah senilai Rp3,64 triliun naik 26,37 persen menjadi Rp4,6 triliun serta (c) dana Tapera untuk KPR Tapera dengan target 7.251 unit rumah (turun 39,94 persen dari 12.072 unit rumah) senilai Rp830 miliar turun 20,95 persen dari Rp1,05 triliun pada 2023.

Semula, Kementerian PUPR telah mengusulkan alokasi FLPP 220.000 unit rumah untuk 2024. Tetapi Kemenkeu menyetujui 166.000 unit rumah. Lho? Karena Kemenkeu mengacu pada target total FLPP dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 sebesar 900.000 unit rumah. Target itu akan terpenuhi dengan alokasi 166.000 unit rumah pada 2024.

Jangan sampai backlog 9,9 juta unit rumah pada 2023 jalan di tempat sebab kebutuhan rumah terus naik sekitar 800.000 unit rumah per tahun. Inilah tantangan serius BP Tapera! Pencapaian target 166.000 unit rumah itu akan menambah kontribusi 1,3% pengurangan backlog sesuai dengan Nota Keuangan Rencana APBN 2024.

Meski subsidi selisih bunga turun 0,30 persen dari 754.004 unit rumah pada 2023 menjadi 751.735 unit rumah pada 2024, namun nilainya justru naik 26,37 persen dari Rp3,64 triliun menjadi Rp4,6 triliun. Kenaikan itu diharapkan dapat mendorong kenaikan pencapaian KPR FLPP.

Nah, ketika aneka jurus sakti dapat dimainkan dengan jitu, resistensi dapat ditekan serendah mungkin sehingga Tapera dapat berjalan mulus. (*)

Penulis adalah Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), UPDM dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI), Unika Atma Jaya

Related Posts

News Update

Top News