Mengulik Tiga Strategi Bisnis ala Bank Aceh Setelah Lima Dekade

Mengulik Tiga Strategi Bisnis ala Bank Aceh Setelah Lima Dekade

Jakarta – Setelah menunjukkan kinerja impresif sepanjang tahun lalu, kinerja apik yang dicetak Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) diyakini akan berlanjut hingga akhir 2023.

Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset bank syariah beserta UUS melesat 15,52% dengan pertumbuhan pembiayaan sebesar 14,69% secara tahunan (year on year/ yoy). Sementara bank konvensional masih mengekor di belakangnya dengan pertumbuhan aset 6,47% yoy dan kenaikan kredit 8,67% yoy per Mei 2023.

Demikian dengan tahun lalu, di mana aset perbankan syariah tumbuh mencapai 15,63% yoy atau lebih tinggi dibandingkan bank konvensional sebesar 9,50% yoy.

Kinerja impresif yang dibukukan perbankan syariah, salah satunya dicatatkan Bank Aceh. Sebagai bank kebanggaan rakyat Aceh, perseroan berhasil mengantongi laba bersih sebesar Rp195,4 miliar di semester I/2023, atau mengalami kenaikan sebesar 7% yoy dari periode sebelumnya di 2022, yakni sebesar Rp183,2 miliar.

Baca juga: Bank Sulselbar Siap Berikan Kejutan di Undian Nasional Tabungan Simpeda Periode 1 Tahun XXXIV 2023

Berkat capaiannya itu maka tidak meng­herankan Bank Aceh mendapatkan predikat “Sangat Bagus” yang masuk dalam jajaran Excellent Financial Performance Bank in 2022 di Kategori KBMI 1” dalam ajang 28th Infobank Banking Appreciation Appreciation 2023.

Direktur Utama Bank Aceh Muhammad Syah menyebut, melesatnya laba itu ditopang oleh realisasi pembiayaan sebesar Rp17,8 triliun, atau naik sebesar 6% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya Rp16,8 triliun.

Pembiayaan konsumtif masih menjadi captive market dengan porsi sekitar 70%. Tak main­-main, di tahun ini pihaknya bahkan menargetkan pertumbuhan pembiayaan sebesar Rp19 triliun atau tumbuh 10%.

“Target ini saya kira realistis jika merujuk pada pertumbuhan kredit perbankan nasional tahun 2022 lalu yang tumbuh di angka 11%,” ujarnya kepada Infobank di akhir Agustus 2023.

Di tengah momentum pemulihan saat ini, Bank Aceh terus berupaya meningkatkan portofolio pembiayaan produktif, terutama di sektor UMKM.

Di paruh kedua tahun ini, pembiayaan UMKM Bank Aceh tercatat tumbuh 35% atau menjadi Rp1,9 triliun yoy. Selain itu, jumlah nasabah juga tumbuh sebesar 70% menjadi 11.243 akun nasabah.

Hal ini tentunya menunjukkan kontribusi yang signifikan Bank Aceh terhadap sektor UMKM.

“Saat ini kami memfokuskan pembiayaan di sektor UMKM. Sektor ini tidak hanya menjadi penyokong bagi ekonomi daerah, tetapi juga nasional. Pengembangan kami lakukan di internal maupun eksternal bank,” terangnya.

Keseriusan perseroan memainkan peran untuk menumbuhkan UMKM dapat diamati dengan dibentuknya unit kerja internal dan eksternal tersebut. Di lingkup internal, Bank Aceh memiliki divisi UMKM, unit kerja yang kini fokus di optimalisasi penyaluran pembiayaan UMKM berkualitas.

Sedangkan di lingkup eksternal, perseroan berupaya mengejar dibukanya 31 gerai UMKM yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Aceh pada tahun ini.

Baca juga: 119 Bank Sudah Dilikuidasi, LPS Bayarkan Klaim ke 271.240 Rekening, Segini Besarannya

“Kami juga meningkatkan kerja sama dengan beragam pihak dalam penyaluran pembiayaan UMKM. Di samping itu, akselerasi terhadap pembiayaan KUR terus kami lakukan. Saat ini kami juga terus berkoordi­ nasi dengan Kemenkeu dalam hal peningkatan kuota KUR di tahun 2024,” sambungnya.

Tren positif dari penyaluran pembiayaan yang dibukukan perusahaan turut menyum­ bang kenaikan pada sisi yang lain. Tercatat, di semester I/2023 Bank Aceh berhasil meng­ himpun dana pihak ketiga (DPK) hingga Rp23,3 triliun disertai dengan meningkatnya total aset hingga menjadi Rp27,8 triliun.

Sejumlah rasio penting perusahaan juga naik, seperti return on asset (ROA) semakin baik di mana naik menjadi 1,86% dari periode yang sama di 2022 sebesar 1,7%. Di segi efisiensi, Perusahaan juga berhasil menekan BOPO menjadi 78,54% atau membaik secara yoy dari 2022 yakni sebesar 79,86%.

Rasio financing to deposit ratio (FDR) juga menunjukkan kenaikan positif dari 66,59% menjadi 76,52%. Tingginya rasio FDR menunjukkan bahwa Bank Aceh mampu menjadi bank likuid dan menjalankan perannya sebagai financial intermediary.

Tidak sampai di situ, perseroan juga tampil dengan modal yang semakin kokoh. Hal ini tercermin dari Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang mengalami kenaikan cukup signifikan dari 19,02% menjadi 22,53%.

“Alhamdulillah, selama ini pemerintah daerah selaku pemegang saham telah memberikan dukungan yang optimal bagi kinerja bank. Salah satu bentuk yang dirasa­ kan adalah perihal penempatan modal. Sejak Juli 2022 lalu, Bank Aceh telah memenuhi amanat POJK 12/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang mempersyaratkan modal inti sebesar Rp 3 triliun bagi bank daerah,” tandasnya.

Adapun, jika dilihat dari pembiayaan bermasalah, Bank Aceh ternyata mampu menjaga laju nonperforming financing (NPF) di level yang rendah. Terlihat, NPF gross di semester I/2023 masih terjaga sebesar 1,48%, atau turun secara tahunan dari yang sebelumnya 1,52%.

Angka tersebut berada di bawah rasio NPL perbankan, yakni sebesar 2.44% pada semester pertama tahun ini. Sebagai langkah mitigasi risiko, Bank Aceh terus memantau kualitas portofolio pembiayaan dan meng­ amati setiap perkembangan yang terjadi melalui penerapan early warning system (EWS).

“Selain itu, komunikasi secara aktif dengan nasabah serta regulator terus kami lakukan. Saat ini kami tetap mengutamakan prinsip kehati­hatian dan selaras dengan risk appetite di setiap pengambilan keputusan dalam menyalurkan pembiayaan,” jelasnya.

Baca juga: Bank Mega Syariah Sosialisasikan Inovasi QRIS Melalui Aplikasi M-Syariah

Digitalisasi & Tiga Strategi Bisnis

Memasuki usianya yang ke­-50 tahun, Muhammad Syah menyatakan akan terus meningkatkan intermediasi perbankan dan pengembangan produk. Digitalisasi layanan merupakan salah satu fokus perseroan dalam mengakselerasi pertumbuhan bisnis.

Hal ini Selaras dengan tren transaksi masyarakat di masa mendatang yang semakin terdigitalisasi seiring bonus demografi yang didominasi oleh Gen Z.

“Dalam konteks Aceh, dari data Badan Pusat Statistik di tahun 2022 mencatatkan sebanyak 41% penduduk Aceh berusia 14 ­ 40 tahun. Ini tentunya menjadi pasar yang potensial di saat ini dan di masa yang akan datang,” katanya.

Berangkat dari kebutuhan transaksi nasa­ bah yang memerlukan layanan yang dapat diakses dengan cepat, mudah dan aman pihaknya semakin memperluas kolaborasi dan integrasi dengan ekosistem digital.

Di samping hadirnya jaringan kantor Bank Aceh yang menyebar di 199 lokasi mulai dari Aceh, Sumatera Utara, dan Jakarta, Bank Aceh terus melakukan inovasi terhadap digitalisasi produk dan layanan. meningkat­ kan customer experience, dan mendorong produktivitas internal.

“Kami sediakan layanan kartu debit, QRIS, layanan CRM, CMS, E­Money Pengcard, EDC, Action Bisnis, dan layanan Laku Pandai ActionLink telah kami hadirkan untuk mendorong kemudahan akses finansial kepada nasabah,” imbuhnya.

Sebagai strategi utama dalam mengem­ bangkan bisnis, Bank Aceh juga konsisten menyematkan fitur tambahan pada Action Mobile Banking, di mana saat ini merupakan produk yang banyak diminati masyarakatLebih lanjut, untuk mendorong akselerasi bisnis, saat ini Bank Aceh tengah memper­ siapkan diri untuk menjadi bank devisa.

Muhammad Syah berujar, melalui status bank devisa, Bank Aceh berkesempatan besar melakukan ekspansi ke sejumlah sektor yang selama ini belum dapat dilakukan, seperti aktivitas ekspor impor, penanaman modal di luar negeri, pendapatan dari sejumlah aktivitas masyarakat dan lembaga di luar negeri dan transaksi cross border lainnya.

Untuk merealisasikan hal itu, perseroan akan akan fokus pada tiga strategi bisnis. Pertama, menyasar dana murah melalui pengembangan fitur transaksi untuk membangun ekosistem (close loop) dengan mengikuti aliran dana dari masyarakat yang didorong oleh belanja pemerintah, serta pengembangan layanan transaksi digital.

Kedua, melalui akselerasi pembiayaan produktif, mastering consumer, supply chain financing yang dimotori oleh belanja pemerintah, dan inventory based financing.

Baca juga: Bank Sehat Bukan Berarti Tak Memiliki Risiko, Ini Kata Bos Mandiri

Selanjutnya, ketiga, meningkatkan transaksi luar negeri dan simpleFX seiring dengan diperolehnya status devisa, dengan kontribusi minimal 3% dari total pendapatan operasional di 2027.

“Kami juga menjalankan transaksi digital melalui open API sebagai media dengan lembaga keuangan/fintech, BPRS atau multifinance syariah minimal menyumbang 8% dari total pendapatan operasional di akhir periode perencanaan. Fee yang berasal dari kerja sama dengan agen laku pandai, minimal menyumbang 3% dari total pendapatan operasional di 2027,” pungkasnya.

Sementara itu, untuk mendorong kolaborasi, Muhammad Syah menyatakan akan terus berupaya untuk memiliki ekosistem yang kuat, baik melalui integrasi digitalisasi, maupun secara offline dengan sejumlah lembaga yang dapat memberikan feedback bagi ekspansi bisnis perbankan. (*) Ranu Arasyki Lubis

Related Posts

News Update

Top News