Mendorong Efisiensi Anggaran, Memperbaiki APBN

Mendorong Efisiensi Anggaran, Memperbaiki APBN

Oleh Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), UPDM dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI), Unika Atma Jaya

PADA pertengahan tahun, akhirnya pemerintah merevisi APBN 2025 dengan memangkas pertumbuhan ekonomi dari 5,2 persen menjadi 4,7-5,0 persen. Defisit APBN diproyeksikan membengkak dari Rp 616,2 triliun (2,53 persen dari PDB) menjadi Rp 662 triliun (2,78 persen dari PDB) karena target penerimaan yang tak tercapai dan kenaikan belanja negara.

Padahal Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan efisiensi anggaran. Target efisiensi anggaran Rp 306,7 triliun yang meliputi anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah Rp 50,6 triliun. Di mana salahnya? Bagaimana seni mendorong efisiensi anggaran K/L?

Aturan efisiensi anggaran itu tertuang pada Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Efisiensi anggaran itu bertujuan untuk membiayai program makan bergizi gratis (MBG) dan menambah modal Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang dibentuk pada 24 Februari 2025. Danantara adalah super holding BUMN yang mirip sovereign wealth funds (SWF) seperti Temasek, Singapura.

Aneka Faktor Kunci Keberhasilan

Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan (key success factors) untuk mendorong efisiensi anggaran K/L? Pertama, jumlah kementerian pada Kabinet Merah Putih naik dari 34 kementerian dan 4 pejabat setingkat menteri pada era Presiden Jokowi menjadi 48 kementerian dan 8 lembaga (jumlah penduduk 283 juta jiwa per 2024).

Bandingkan dengan China yang memiliki 31 kementerian plus 5 lembaga padahal jumlah penduduk jauh lebih banyak 1,42 miliar jiwa. Pun India: 63 kementerian (penduduk 1,45 miliar jiwa) dan AS: 15 kementerian (345 juta jiwa). Kabinet yang gendut tentu mendorong biaya tinggi. Hal itu bertentangan dengan spirit efisiensi anggaran.

Sebaliknya, Vietnam justru mengurangi K/L dari 30 menjadi 22 sehingga tinggal 14 kementerian, 3 lembaga setingkat kementerian dan 5 badan pemerintahan. Hal itu dilakukan dengan menggabungkan sejumlah kementerian.

Padahal, ekonomi Vietnam tumbuh tinggi 7,1 persen (yoy) per 2024 dan 6,93 persen (yoy) per triwulan I-2025 di atas Indonesia 5,03 persen dan 4,87 persen di bawah target APBN 5,2 persen pada 2025 (sebelum revisi). Presiden Prabowo memasang target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 di tengah penebalan ketidakpastian ekonomi global. Inilah tantangan berat Presiden Prabowo!

Karena itu, Indonesia semestinya meniru Vietnam dengan merampingkan K/L. Perampingan kabinet termasuk staf khusus akan menjadi sumber utama efisiensi anggaran K/L.

Kedua, efisiensi anggaran wajib mengacu pada skala prioritas. Efisiensi yang berbasis pukul rata bisa mendorong munculnya pemutusan hubungan kerja (PHK) terlebih di sektor pariwisata. Lho? Lantaran perjalanan dinas dan rapat di hotel menjadi amat terbatas.

Akibatnya, sektor MICE (meeting, incentives, conventions, exhibitions) sebagai salah satu katalis pengembangan sektor pariwisata menjadi loyo untuk tidak disebut lumpuh. Lebih dari itu, Kementerian Pariwisata yang sudah dipisah dari Kementerian Ekonomi Kreatif juga mengalami pemangkasan anggaran hingga 37 persen dari Rp 1,48 triliun menjadi Rp 884,94 miliar. Sungguh, hal itu merupakan tantangan serius bagi Kementerian Pariwisata.

Ketiga, jangan sampai sektor pariwisata yang seharusnya mendulang devisa justru melakukan PHK seperti yang dilakukan PT Sri Rejeki Isman, Tbk (Sritex) yang resmi tutup dan melakukan PHK terhadap sekitar 10.000 karyawan mereka pada 1 Maret 2025.

Artinya, pemerintah kurang berhasil dalam menekan laju PHK di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Jangan sampai efisiensi anggaran justru menjadi faktor pendorong PHK di sektor lain seperti sektor pariwisata.

Baca juga: Danantara Kelola Dividen BUMN, Ini Dampaknya terhadap APBN

Anggaran sebagai Alat Pengendalian Manajemen

Keempat, penyusunan anggaran K/L sudah sepatutnya menganut fungsi anggaran itu sendiri. Apa itu anggaran? Anggaran adalah rencana manajemen dengan asumsi bahwa langkah-langkah positif akan diambil oleh pelaksana anggaran untuk merealisasikan rencana yang telah disusun.

 Intinya, anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian manajemen. Pengendalian manajemen adalah proses yang dilakukan manajemen untuk memastikan bahwa organisasi melaksanakan strategi-strateginya. Pengendalian manajemen diarahkan ke segi yang lebih positif. Pengendalian ini bertujuan untuk mendorong, membantu dan memotivasi manajer dan karyawan untuk melaksanakan strategi organisasi dan untuk memenuhi kebijakan organisasi dalam pelaksanaannya.

Dengan demikian, pengendalian manajemen memanfaatkan pengendalian tugas untuk memastikan unjuk kerja yang efektif dan efisien. Pengendalian tugas adalah proses untuk memastikan bahwa tugas-tugas tertentu telah dilakukan secara efektif dan efisien.

Efektivitas adalah kemampuan suatu unit untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Efisien menunjukkan berapa banyak masukan yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit keluaran tertentu (Robert N. Anthony, John Dearden & Norton M. Bedford, 1992).

Kelima, selain itu, akan lebih strategis lagi ketika laporan keuangan K/L memuat rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dengan ambang batas 70-80 persen. Hal itu bertujuan untuk menakar seberapa jauh tingkat efisiensi K/L dalam periode tertentu.

Pada industri perbankan terdapat dua rasio untuk mengukur tingkat efisiensi yakni BOPO dan rasio biaya terhadap pendapatan (cost to income ratio/ CIR). Apa bedanya? BOPO berasal dari beban operasional (operational expenses/opex) ditambah cadangan dan beban bunga lalu dibagi pendapatan bunga plus pendapatan non bunga (fee-based income). CIR bersumber dari beban operasional dibagi pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) plus fee-based income.

Kedua rasio itu mirip tetapi tidak sama persis. Perbedaan terletak pada pembilangnya. BOPO mempunyai pembilang lebih banyak daripada CIR sehingga hasilnya pun berbeda. Alhasil, BOPO akan jauh lebih besar daripada CIR.

Nah, ketika laporan keuangan semua K/L memuat rasio tingkat efisiensi tersebut, Kementerian Keuangan akan mengetahui dengan mudah apakah K/L itu efisien atau tidak. Itulah pedoman utama dalam melakukan efisiensi anggaran.

Keenam, APBN semestinya menjadi katalis pertumbuhan ekonomi. Efisiensi anggaran yang tidak proporsional justru bisa menjadi kontra produktif bagi pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, saatnya bagi Presiden Prabowo untuk memberantas habis korupsi. Ketika berpidato di hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat kampanye pemilihan presiden beberapa bulan lalu, Prabowo menyampaikan komitmennya untuk memberantas korupsi dan tak akan melakukan kompromi dalam memberantas korupsi

Terakhir, di beberapa media sosial beredar rekaman pidato Prabowo di hadapan pimpinan dan kader Gerindra. Dengan berapi-api, ia meminta kadernya untuk tidak korupsi, tidak mengkhianati bangsa, tidak mengkhianati pejuang-pejuang bangsa. Kepada mereka yang akan menjadi gubernur dan bupati, Prabowo mengatakan, kalau korupsi, mereka akan dikejar ke mana pun (Todung Mulya Lubis, Kompas.id, 13 September 2024).

Tengok saja, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 mencapai 37 dari 100 atau naik dari 34 pada 2023. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) dengan 340 tersangka pada 2016-2021. Sebanyak 51 di antaranya adalah direktur BUMN dan 83 adalah pimpinan menengah di perusahaan BUMN.

Ketujuh, karena itu, pemerintah perlu segera mengajak DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset menjadi UU Perampasan Aset.

Mengingat UU itu dianggap penting dan mendesak, Presiden Prabowo dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). UU Perampasan Aset adalah suatu pengaturan baru yang memungkinkan untuk dilakukan pengembalian aset tindak pidana tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana.

Selama ini, di Indonesia hanya dikenal adanya perampasan aset dalam sistem hukum pidana dan hanya dapat dilaksanakan melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, aset hasil tindak pidana hanya bisa dirampas setelah rampungnya pengadilan (Tempo.co, 24 November 2024).

Dalam pidato peringatan Hari Buruh di kkompleks Monumen Nasional, Jakarta pada 1 Mei 2025, Presiden Prabowo menyatakan dukungannya terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset. Kita boleh gembira walau belum ada tindak lanjutnya.

Baca juga: Kemenkeu Klaim Efisiensi Anggaran Sejak 2020 Hasilkan Pengelolaan APBN Lebih Baik

Dengan demikian, pemerintah akan mampu melakukan “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui”. Ringkas tutur, melakukan satu pekerjaan tetapi mendapatkan beberapa hasil sekaligus yakni tindak pidana korupsi akan tertekan lebih rendah dan memperoleh dana triliunan dari hasil perampasan aset terhadap hasil tindak pidana tersebut. Dana itu dapat dimanfaatkan untuk menambal APBN yang sedang tidak baik-baik saja.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pun bakal lebih baik. Danantara juga diharapkan untuk mampu menggenjot investasi global. Kini publik menanti bukti.

Kedelapan, lebih dari itu, perlambatan ekonomi saat ini membutuhkan stimulus moneter. Katakanlah, pemangkasan giro wajib minimum (GWM) untuk melonggarkan likuiditas yang ketat sehingga bank bisa bernafas lebih leluasa.

Lantaran penurunan suku bunga acuan BI belum berdampak signifikan bagi sektor riil. Alhasil, kredit perbankan yang hanya tumbuh 8,43 persen (yoy) per Mei 2025 menipis dari 8,88 persen per April 2025 dan 9,16 persen per Maret 2025 itu dapat terangkat lebih tinggi.

Dengan demikian, efisiensi anggaran K/L dapat berjalan mulus sehingga dapat mendorong perbaikan APBN. Roda ekonomi pun akan bergerak lebih kencang!

Related Posts

News Update

Netizen +62