Jakarta – Per 20 Maret 2023, pemerintah telah resmi memberlakukan insentif kendaraan listrik, khususnya motor listrik. Di mana setiap pembelian motor listrik baru maupun konversi listrik, akan mendapatkan bantun insentif sebesar Rp7 juta.
Program insentif bertujuan menggenjot keberadaan kendaraan listrik di Tanah Air. Namun di sisi lain, program ini berdampak pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ada potensi nilai PNBP yang hilang dan jumlahnya bisa mencapai triliunan rupiah.
Seperti yang diungkapkan, Direktur PNBP Kementerian/Lembaga Kementrian Keuangan Wawan Sunarjo mengungkapkan, program konversi motor listrik pada 2023 ditargetkan mencapai 50.000 unit. Sedangkan untuk nilai Sertifikasi Registrasi Uji Tipe (SRUT) per unit sebesar Rp25 juta.
“Jika ditotalkan maka nilai PNBP yang hilang di 2023 sebesar Rp1,25 triliun. Untuk 2024 pemerintah merencanakan target konversi motor listrik sebanyak 200.000 unit dengan perkiraan pungutan PNBP yang dibebaskan sebesar Rp5 triliun. Dalam 2 tahun saja, potensi nilai PNBP yang hilang mencapai Rp6,25 triliun,” kata Wawan dalam media gathering di Hotel Discovery, Jakarta, 22 Maret 2023.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak CITA, Fajry Akbar mengatakan bahwa kebijakan insentif kendaraan listrik ini sebagai industrial policy yang setengah-setengah. Berbeda dengan di negara lain, yang memberikan sokongan penuh ke industri dari hulu ke hilir.
“Kalau di Indonesia, hanya hilirnya saja. Jadi, saya sendiri agak ragu dengan efektivitas kebijakan ini,” ungkap Fajry ketika dihubungi infobanknews, Selasa, 28 Maret 2023.
Menurutnya, ada beberapa catatan yang harus menjadi perhatian pemerintah dari program ini. Sebagai contoh, demand dari mobil listrik sebenarnya cukup tinggi. Tapi, permasalahannya supply kendaraan listrik masih kurang.
“Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) sudah banyak sekali produksinya masih terbatas. Sedangkan untuk motor listrik, belum banyak after sales service bagi motor listrik sehingga konsumen enggan untuk membeli,” ungkapnya.
Diakuinya, setiap pemberian insentif memiliki risiko berupa hilangnya penerimaan pajak. Pemerintah pun tentunya sudah mengetahui konsekuensi tersebut.
“Namun apakah benar akan mendorong industrialisasi, itu yang perlu dijawab oleh pemerintah melalui studi,” ungkapnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptoni mengatakan penerimaan PNBP di UU APBN 2023 ditargetkan sebesar 17,92%. Sedangkan untuk porsi penerimaan pajaknya mencapai 82,06%.
“Dengan perbandingan seperti ini, pemerintah lebih mengandalkan penerimaan pajak untuk menutupi pembiayaan negara, termasuk subsidi,”ungkap Prianto.
Oleh karenanya, meski ada potential loss PNBP, lanjut Prianto, pemerintah telah melakukan strategi dalam menggenjot pemasukan negara yang terlihat dari pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang memperluas basis pemajakan di sektor PPh dan PPN, termasuk peningkatan tarif PPN dari 10% menjadi 11%.
“Penambahan pelaku ecommerce yang menjadi pemungut PPN PMSE juga terus dilakukan. Jadi, penerimaan PPN digenjot karena basis ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi dalam negeri,” ungkapnya.
Terkait dengan periode insentif kendaraan listrik, menurut Prianto, pemerintah mematok insentif tersebut berlaku selama dua tahun (2023-2024). Durasi pemberlakuan insentif fiskal ini dirasa cukup untuk memastikan bahwa kegagalan pasar di industri kendaraan tidak terjadi.
“Kalaupun ternyata pada akhir tahun kedua belum terlihat memadai, pemerintah masih punya cukup waktu untuk memperpanjang pemberian insentif tersebut,” pungkasnya.(*)