Memperkirakan Pertumbuhan Ekonomi Dunia dan Regional Asia untuk 2023-2024

Memperkirakan Pertumbuhan Ekonomi Dunia dan Regional Asia untuk 2023-2024

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia

SAMPAI dengan akhir September lalu, beberapa lembaga internasional telah mengubah pandangan tentang outlook perekonomian dunia pada 2023 ini. Jika pada April dan bahkan Juli lalu mayoritas lembaga internasional memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh stagnan, maka pada September ini mereka sepakat memperbaiki outlook mereka.

Salah satu lembaga yang telah memperbaiki outlook perekonomian dunia di tahun ini adalah Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), September 2023, dari perkiraan sebelumnya di Juli sebesar 2,8% direvisi ke atas menjadi 3,0% alias membaik.

Lembaga riset lainnya, Fitch Ratings, juga telah merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 ini sebesar 0,1% menjadi 2,5%. Revisi ke atas ini ditopang oleh ketahanan ekonomi yang relatif baik di Amerika Serikat (AS), Jepang, dan pasar negara berkembang (emerging market/EM), kecuali Tiongkok. 

Fitch telah menaikkan outlook pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,8% menjadi 2,0%, Jepang sebesar 0,7% menjadi 2,0%, dan EM (tidak termasuk Tiongkok) sebesar 0,5% hingga 3,4%. Proyeksi yang membaik ini sudah mengimbangi pemotongan sebesar 0,8% untuk Tiongkok – menjadi 4,8% – dan juga pemotongan sebesar 0,2% untuk zona Euro menjadi 0,6%. 

Baca juga: LPS: Pemulihan Ekonomi Global Masih Dibayangi Risiko Ketidakpastian

Perkembangan Ekonomi 2023

Pandangan IMF dan Fitch di atas senada dengan pandangan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) yang mencatat pertumbuhan ekonomi global hingga paruh pertama tahun ini bergerak mengesankan. Demikian Laporan Interim Outlook Ekonomi OECD pada September 2023.

Produk domestik bruto (PDB) global meningkat pada laju tahunan sebesar 3,2% dalam enam bulan pertama 2023 dibandingkan dengan paruh kedua 2022. Kenaikan ini membawa perkiraan OECD untuk pertumbuhan PDB global pada 2023 menjadi 3%, naik dari estimasi 2,7% pada Juni lalu.

Capaian pertumbuhan ekonomi global pada paruh pertama 2023 bisa menjadi bukti sahih bahwa proyeksi sampai dengan akhir tahun akan tetap terjaga. PDB global menguat pada laju tahunan sebesar 3,2% pada paruh pertama 2023 dibandingkan dengan paruh kedua 2022, sekaligus mengindikasikan kondisi yang lebih kuat dari yang diperkirakan beberapa bulan sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi relatif kuat di AS dan Jepang, tetapi masih lemah di sebagian besar Eropa, khususnya Jerman. Jerman diperkirakan mengalami pukulan terberat dari perlambatan ekonomi dunia yang didorong suku bunga yang lebih tinggi dan perdagangan global lebih lemah. OECD telah memperingatkan ini.

Di tengah perkiraan suram untuk ekonomi dunia, OECD mengatakan ekonomi terbesar Eropa itu kemungkinan akan menjadi satu-satunya negara G20 – selain Argentina – yang menyusut tahun ini selama perlambatan internasional yang lebih luas.

OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Inggris untuk 2023 tidak berubah pada 0,3%, terlemah ketiga di G20 di luar Jerman dan Argentina. Ini memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Inggris pada 2024 dari 1% menjadi 0,8%, dengan hanya Argentina yang lebih lemah di G20.

Inggris diperkirakan memiliki inflasi tertinggi (7%) di G20 setelah Turki (58%) dan Argentina (115,5%), dengan tingkat rata-rata inflasi di G20 untuk 2023 sebesar 7,2%, sebelum turun lebih dekat ke tengah paket dengan tingkat 2,9% yang diharapkan pada 2024.

Setelah awal yang lebih kuat dari perkiraan hingga 2023, ditopang oleh harga energi yang lebih rendah dan pelonggaran pembatasan COVID-19 di Tiongkok, OECD mengatakan aktivitas di negara-negara terkemuka melambat menjelang akhir tahun sebelum 2024 yang lebih lemah. Harga minyak merambat naik mencapai US$95 per barel, yang menjadi perhatian serius bank-bank sentral di seluruh dunia karena kenaikan harga minyak berpotensi menahan pelandaian laju inflasi.

Pada pertemuan The Fed terakhir (September lalu), bank sentral AS membiarkan suku bunga acuan bertahan pada kisaran 5,25%-5,50%, tetapi The Fed mengatakan “tetap sangat memperhatikan risiko inflasi”. Perkiraan terbaru dari bank sentral menunjukkan ekonomi AS terbukti lebih kuat dari yang diharapkan (tumbuh sebesar 2,0% yoy pada kuartal pertama dan sebesar 2,1% yoy pada kuartal kedua tahun ini). Menariknya, pelaku pasar tidak berharap The Fed memulai pemangkasan suku bunga sampai menjelang akhir tahun depan paling cepat.

Inggris, yang terus bergulat dengan inflasi tinggi, bank sentralnya yaitu Bank of England (BoE) juga mempertahankan suku bunga utamanya pada 5,25% atau mengakhiri 14 kali kenaikan suku bunga berturut-turut. Keputusan ini datang sehari setelah tingkat inflasi tahunan secara tak terduga turun menjadi 6,7%.

Namun, pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah kehilangan momentum, lantaran dorongan awal dari pembukaan ekonomi pascapandemi COVID-19 justru memudar dan masalah struktural di sektor properti terus membebani permintaan domestik.

Yang menarik, berlawanan dengan membaiknya output global, volume dan intensitas perdagangan justru terekspose melambat dari yang diharapkan pada paruh pertama tahun ini. Volume perdagangan barang dagangan sangat lemah, terutama di negara-negara maju utama, dengan perdagangan barang global turun 2,5% di semester pertama tahun ini. Sebaliknya, perdagangan jasa mampu bertahan lebih baik, dibantu sektor pariwisata yang terus pulih dengan kuat dari penurunan tajam pada awal pandemi COVID-19.

Pemerintah Inggris memahami bahwa suku bunga acuan yang lebih tinggi untuk mengatasi tingginya inflasi telah menambah tekanan pada rumah tangga dan bisnis, sementara sektor manufaktur juga tengah bergulat menghadapi volume perdagangan global yang melemah. Jerman pun terpukul dengan melemahnya aktivitas perdagangan global akhir-akhir ini.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok – mitra dagang Jerman yang penting – telah lebih lemah dari yang diantisipasi, sementara aktivitas ekonomi di seluruh Eropa berada di bawah tekanan dari inflasi yang membandel dan suku bunga yang tinggi.

Di antara ekonomi pasar berkembang dalam kelompok G20, sinyal perbaikan pertumbuhan sebagian besar positif sepanjang tahun ini, terutama di Brasil. Sementara, di India dan Afrika juga dibantu oleh terjaganya hasil pertanian karena cuaca yang menguntungkan.

Baca juga: Ekonom Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi RI Tahun Depan Capai 5,1 Persen

Perkiraan 2024

Setelah awal yang lebih kuat dari perkiraan hingga 2023, dibantu oleh harga energi yang lebih rendah dan pembukaan kembali ekonomi Tiongkok, pertumbuhan ekonomi global di sepanjang 2023 ini diperkirakan akan moderat. 

Namun, untuk 2024 nanti, dampak dari kebijakan moneter yang tetap cenderung ketat menjadi semakin nyata, kepercayaan bisnis dan konsumen telah menurun, dan pemulihan ekonomi Tiongkok telah memudar.

Secara keseluruhan, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia akan tetap di bawah standar tahun ini (2023) dan tahun depan (2024), dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 3% dan 2,7%. Hal itu lantaran tertahan oleh pengetatan kebijakan yang diperlukan untuk mengendalikan inflasi.

Pertumbuhan PDB tahunan di AS diperkirakan melambat dari 2,2% tahun ini menjadi 1,3% pada 2024, karena kondisi keuangan yang lebih ketat memoderasi tekanan permintaan. Di kawasan Euro, di mana permintaan sudah lemah, pertumbuhan PDB diproyeksikan turun menjadi 0,6% pada 2023, dan naik menjadi 1,1% pada 2024 karena dampak buruk dari inflasi tinggi terhadap pendapatan riil masyarakat. 

Pertumbuhan ekonomi di Tiongkok diperkirakan tertahan oleh permintaan domestik yang lemah dan tekanan struktural di sektor properti, berkurang menjadi 5,1% pada 2023 dan 4,6% pada 2024. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) juga memiliki perkiraan yang sama. Pertumbuhan negara berkembang di Asia telah optimistis, didorong oleh permintaan domestik yang sehat. 

Permintaan eksternal yang lemah dan kekhawatiran pasar properti di Tiongkok membebani prospek pemulihan ekonomi negara tersebut. Perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia direvisi turun menjadi 4,7% untuk 2023 dan bertahan pada angka 4,8% untuk 2024. 

Inflasi Asia diproyeksikan menurun dari 4,4% pada 2022 menjadi 3,6% pada 2023 dan 3,5% pada 2024, seiring dengan moderatnya harga energi dan pangan. Sebagian besar penurunan inflasi tahun ini akan didorong oleh Tiongkok dengan perkiraan inflasi direvisi turun menjadi 0,7%.

Sementara, inflasi di negara-negara G20 diproyeksikan turun menjadi 6% pada 2023 dan 4,8% pada 2024, dengan inflasi inti di negara-negara maju G20 menurun dari 4,3% tahun ini menjadi 2,8% pada 2024. Secara umum, bagaimanapun tekanan harga tetap kuat dan inflasi inti tinggi di Kaukasus, Asia Tengah dan Asia Selatan, terutama di Pakistan.

Catatan Penutup

Pada akhirnya, risiko tetap condong ke sisi negatifnya. Ketidakpastian tentang kekuatan dan kecepatan transmisi kebijakan moneter dan persistensi inflasi menjadi perhatian utama. Efek buruk dari suku bunga yang lebih tinggi terbukti lebih kuat dari yang diharapkan, dan persistensi inflasi yang lebih besar memerlukan pengetatan kebijakan tambahan atau lanjutan yang dapat mengekspose kerentanan keuangan.

Perlambatan ekonomi yang lebih tajam dari perkiraan di Tiongkok adalah risiko utama tambahan yang akan memukul pertumbuhan output di seluruh dunia. Kebijakan moneter perlu tetap restriktif sampai ada tanda-tanda yang jelas bahwa tekanan inflasi yang mendasari telah mereda selama ini. 

Suku bunga kebijakan tampaknya berada pada atau mendekati puncaknya di sebagian besar negara maju, termasuk AS dan kawasan Euro, selaras dengan inflasi yang bergerak turun meskipun perlahan-lahan.

Pesannya nyata, yakni suku bunga The Fed akan tetap tinggi lebih lama dari yang diperkirakan. Secara efektif, bank sentral AS sekarang berada di Tahap III pengetatannya. Fase I adalah “seberapa cepat,” dan Fase II – seperti yang dicatat November lalu – adalah “seberapa tinggi”.

Sekarang, di Fase III, pertanyaannya adalah “berapa lama”. Secara teknis, Fase II belum selesai –sebagian besar pembuat kebijakan masih mencatat kenaikan seperempat poin atau 25 basis points (bps) terakhir pada akhir tahun (yakni November).

Apakah sudah saatnya The Fed mengawali penurunan suku bunga acuan? Tidak ada yang bisa menjawab pasti. Meskipun The Fed sekali lagi menghentikan suku bunga pada pertemuan September, tetapi tetap membuka peluang untuk setidaknya satu kenaikan tambahan pada 2023 ini.

Pastinya, tidak ada yang tahu kapan The Fed akan berhenti menaikkan suku bunga. Namun, baik pasar maupun The Fed sendiri memproyeksikan suku bunga utamanya mencapai puncaknya mendekati level saat ini dan kemudian turun sekitar 100 bps pada akhir 2024.

Tekanan pada perekonomian global menjelang 2024 ini membuat sejumlah pemerintahan dihadapkan pada tekanan fiskal yang meningkat, yakni meningkatnya beban utang dan pengeluaran tambahan untuk populasi yang menua, transisi iklim, dan pertahanan. Peningkatan upaya jangka pendek untuk membangun kembali ruang fiskal dan rencana fiskal jangka menengah yang kredibel diperlukan untuk lebih menyelaraskan kebijakan makro-ekonomi jangka pendek dan membantu memastikan keberlanjutan utang yang hati-hati.

Maka, OECD mendorong pemerintah untuk mempertahankan langkah-langkah kebijakan moneter yang ketat sambil menangani masalah jangka menengah seperti kebutuhan pengeluaran dan meningkatkan ekonomi. Upaya kebijakan struktural perlu diperkuat untuk memperkuat prospek pertumbuhan. 

Baca juga: Kemenkeu ‘Pede’ Ekonomi RI Tembus 5,2 Persen di 2024, Ini Penopangnya

Prioritas utama adalah menghidupkan kembali perdagangan global, yang merupakan sumber penting kemakmuran jangka menengah-panjang bagi negara-negara maju dan pasar berkembang. Paralel dengan itu, peningkatan kerja sama internasional atau multilateral diperlukan untuk memastikan koordinasi yang lebih baik dan kemajuan yang lebih cepat dalam upaya membangun momentum pemulihan ekonomi global.

Dalam konteks ini, ADB memberikan catatan kritis, bahwa risiko stabilitas keuangan di tengah pemulihan ekonomi global yang disruptif membutuhkan kewaspadaan berkelanjutan di negara-negara rentan karena “easy money policy” mudah berakhir. ADB mencatat, penurunan inflasi di AS yang signifikan dan lebih cepat dari perkiraan dapat meningkatkan prospek global.

Inilah yang juga mendasari outlook pertumbuhan ekonomi global tahun ini direvisi ke atas, dan sebaliknya untuk 2024 nanti dikoreksi sedikit ke bawah lantaran pemulihan ekonomi Tiongkok yang lemah dan sangat jauh dari yang diekspektasikan sebelumnya. Sebagai salah satu episentrum ekonomi global, posisi Tiongkok menjadi sangat sentral dalam memengaruhi perbaikan ekonomi global dan regional Asia. (*)

Related Posts

News Update

Top News