Memilih Kabinet Ekonomi Jokowi-Mar’uf

Memilih Kabinet Ekonomi Jokowi-Mar’uf

Oleh : Eko B. Supriyanto
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank.

PASANGAN Joko Widodo (Jokowi) dan Mar’uf Amin diputuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang dalam Pilpres 2019. Pasangan Jokowi Mar’uf memperoleh 55,50% suara dan pasangan Prabowo Subianto Sandiaga Uno 44,50% suara. Kini, presiden dan wakil presiden terpilih tinggal merealisasikan janji janjinya ketika kampanye. Salah satunya menyangkut kartu-kartu. Tidak hanya Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat, tapi juga ada tambahan Kartu Sembako, Kartu Prakerja, dan Kartu Kuliah.

Mungkinkah kartu-kartu itu bisa berjalan dengan baik di tengah tekanan ekonomi global? Itulah tantangan terberat, karena kartu-kartu sakti semua itu butuh subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Belum lagi subsidi untuk energi, termasuk untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Susunan Kabinet Ekonomi periode 2019 2024 menjadi sangat relevan saat ini karena isu penting Indonesia menyangkut pemerataan ekonomi dan kesempatan berusaha. Hiruk pikuk yang terjadi tidak hanya dilihat dari soal politik inteloransi, tapi juga menyangkut perut. Jika rakyatnya kenyang dengan pemerataan, tentu isu politik bisa teredam.

Sementara itu, kinerja APBN pada April 2019 terlihat menurun dalam penerimaan. Sri Mulyani Indrawati (SMI), Menteri Keuangan, pun sempat berucap. “Ekonomi mengalami tekanan dan melemah, tetapi tidak masuk zona negatif. Kita harus mulai waspada,” katanya dalam konferensi pers tentang kinerja APBN April 2019, awal bulan lalu.

Perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang berlarut larut merambat ke perdagangan dunia. Dampaknya ekonomi global diprediksi melambat. Proses pemulihan ekonomi global diperkirakan akan lebih lama dari perkiraan sebelumnya akibat ketidakpastian pasar keuangan. Kecemasan menjalar ke seluruh dunia.

Di lain sisi, kabar buruk lainnya datang dari Neraca Perdagangan Indonesia yang mengalami defisit pada April 2019. Itu adalah defisit terparah sepanjang sejarah Indonesia (US$2,564 miliar). Tanda tanda perekonomian mengalami penurunan terefleksi dari penerimaan pajak yang tumbuh melemah. Kondisi ini mengingatkan pada 2014-2015, situasinya mirip, tekanan global menyebabkan kinerja ekspor dan impor tumbuh negatif sehingga berimbas pada penerimaan negara.

Tekanan global mulai terasa sejak awal bulan lalu. Pasar modal malah sudah lebih dulu terkena imbasnya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok. Kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah kempis lebih dari Rp400 triliun. Nilai tukar rupiah sedikit tertekan. Bisa saja merembet ke sektor keuangan. Apalagi, tiga kerawanan sektor keuangan masih ada, seperti soal utang luar negeri, likuiditas yang terasa kering, dan saving gap antara tabungan dan kebutuhan investasi yang masih menganga lebar.

Pemerintah harus waspada akan efek tekanan global ini, setidaknya agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga pada angka 5%, dan diperlukan antisipasi, karena diperkirakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) membengkak dari 2,S% menjadi pada kisaran 2,5% 3%. Defisit transaksi berjalan inilah yang menjadi penyakit menahun yang tidak terselesaikan.

Selama ini hanya Bank Indonesia (BI) yang tampak bekerja menekan defisit transaksi berjalan, karena ini bisa jadi berkaitan dengan nilai tukar. Sementara, Menteri Ekonomi yang harusnya bekerja tak pernah melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Tim ekonomi pemerintah yang bertanggung jawab lebih banyak mengurus partainya ketimbang pekerjaan sebagai menteri. Kita masih beruntung punya SMI, Darmin Nasution, Thomas Lembong, serta Rini Soemarno. Kita juga beruntung punya Perry Warjiyo, Gubernur BI sekarang iniyang kokoh menjaga stabilitas dan sekaligus ikut memikirkan pertumbuhan ekonomi dengan tetap independen.

Pada periode kedua harusnya Jokowi Iebih ”plong”, tidak ada kepentingan untuk terpilih lagi. Jadi, dalam melakukan reshuffle kabinet paling tidak harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas-tumbuh dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak. Hal ini diperlukan agar Indonesia tidak menjadi negara gagal yang tidak dapat memanfaatkan bonus demografi.

Karena itu, untuk menjalankan kartu-kartu dan mengurangi kesenjangan setidaknya penting mencari tim ekonomi yang mampu meningkatkan ekspor serta meningkatkan pendapatan negara. Jika perlu, untuk tim ekonomi dihindarkan dari unsur partai, termasuk Jaksa Agung dan Kementerian Hukum dan HAM. Kesan bagi bagi kue tidak semencolok kabinet sebelumnya. Reshuffle menjadi sangat urgen.

Jokowi setidaknya harus mampu menyusun “dream team”, meski jujur harus diakui ekonomi Indonesia tergantung pada harga komoditas dan kondisi global. Namun, setidaknya, inilah momen kedua yang tidak boleh dilewatkan, karena kartu kartu yang diprogramkan membutuhkan uang. Dari mana uangnya jika penerimaan negara menurun seperti kinerja APBN April 2019 dengan kondisi ekonomi global yang menekan ekonomi Indonesia?

Jokowi adalah orang baik, tapi apakah kabinet sekarang ini juga dapat disebut berkinerja baik? Juga, apakah orang orang sekitarnya baik? Pemerintahan Jokowi ke depan tidak hanya sukses mengguyur masyarakat dengan kartu kartu, tapi lebih pada masalah kesempatan berusaha, keadilan ekonomi, dan pemerataan serta mengurangi kesenjangan tanpa ”doping” kartu-kartu. Untuk itu, diperlukan kabinet yang tangguh dan tidak membiayai partai-partai untuk merencanakan pemilihan presiden pada periode berikutnya.

Selamat atas terpilihnya Joko Widodo-Mar’uf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019 2024. Waktunya bekerja dan merealisasikan janji janji kampanye. Tantangan ke depan tidak ringan dengan kondisi global yang slowdown seperti sekarang ini. Tidak cukup dengan optimistis, tapi diperlukan Kabinet Ekonomi yang tangguh, berpihak pada kualitas pertumbuhan, dan market friendly. Pemerintahan terpilih harus dapat mensejahterakan rakyatnya, bukan bagi bagi untuk partai yang akan menyiapkan kandidat presiden 2024 mendatang. (*)

Related Posts

News Update

Top News