Oleh Shobhit Awasthi, Eric Buntoro, dan Kevin Wibowo
SUDAH tidak perlu dipungkiri lagi bahwa Indonesia adalah salah satu pasar perbankan yang paling menarik saat ini di dunia. Pasar perbankan di Indonesia menghasilkan lebih dari Rp500 triliun (US$35 miliar) risk-adjusted revenue di 2022, dengan pertumbuhan sebesar 14% per tahun sejak 2020 saat pasar ini terdampak COVID-19. Indonesia diperkirakan akan terus memimpin pertumbuhan pasar di wilayah Asia bersama Vietnam.
Berdasarkan survei Bank Dunia di 2021, hanya 52% dari total orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening dari institusi keuangan ataupun penyedia jasa transaksi elektronik (mobile money), mengalami peningkatan hanya sekitar kurang dari 3% poin lebih tinggi dibandingkan survei serupa di 2017. Berarti, masih banyak sekali masyarakat yang underbanked atau unbanked.
Dari berbagai macam segmen, usaha mikro dan kecil merupakan dua segmen yang sangat menantang bagi para industri perbankan untuk dilayani secara efektif, dan tetap akan terus menantang bahkan di mata bank-bank yang telah mapan sekalipun. Terdapat empat alas an yang melatarbelakanginya, yakni, satu, besarnya jumlah pelaku usaha mikro dan kecil. Sekitar 99% jumlah usaha di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai bisnis mikro dan kecil. Dan seluruh bisnis tersebut memberikan pekerjaan kepada 97% tenaga kerja di Indonesia. Jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya di mana hanya mempekerjakan sekitar 50-70% saja.
Dua, usaha mikro di Indonesia jauh lebih ‘mikro’ dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Di Indonesia, pelaku usaha dengan pendapatan tahunan sebesar Rp250 juta (sekitar US$21.000) dianggap sebagai usaha mikro, sekitar satu pertiga dari definisi usaha mikro di Thailand — dengan kriteria pendapatan tahunan di bawah US$58.000. Jika dibandingkan dengan Malaysia dengan kriteria pendapatan tahunan sekitar US$72.000, maka perbedaannya lebih jauh lagi.
Tiga, sebagian besar usaha mikro dan kecil di Indonesia bersifat informal. Contohnya, diperkirakan sekitar 52% usaha mikro dan kecil tidak memiliki dokumentasi bisnis yang tepat. Dan empat, masih bergantung pada uang tunai sebagai metode pembayaran utama. Hampir 65% usaha mikro dan lebih dari setengah usaha kecil menyatakan bahwa mereka masih menggunakan uang tunai sebagai metode pembayaran.
Usaha mikro dan kecil juga sebagian besar berlokasi di wilayah rural, yang menjadi salah satu alasan sulitnya meyakinkan pelaku usaha tersebut untuk menjalankan usahanya lewat perbankan. Namun, terdapat tanda-tanda bahwa generasi baru pelaku usaha mikro dan kecil lebih terbuka terhadap jasa keuangan formal, bahkan terhadap layanan di luar jasa perbankan yang biasa diberikan oleh bank.
McKinsey’s Asia Micro & Small Business Banking Customer 360 Insights melakukan survei kepada lebih dari 2.700 pelaku usaha mikro dan kecil di sembilan negara Asia untuk memahami tantangan yang mereka hadapi, pandangan mereka mengenai teknologi, serta hubungan mereka dengan bank. Khususnya di Indonesia, ditemukan bahwa 90% pelaku usaha kecil dan mikro terbuka terhadap teknologi untuk mengelola usahanya. Adapun 60% dari populasi tersebut juga memperkirakan bahwa online channel akan menjadi jalur penjualan utamanya untuk 12 hingga 24 bulan ke depan. Perubahan besar menuju digitalisasi dan model bisnis online juga menciptakan fondasi terwujudnya inklusi keuangan untuk segmen ini di masa depan, dimana telah menjadi prioritas negeri ini.
Di antara pelaku usaha mikro dan kecil yang memiliki relasi dengan bank, sekitar 98% dari mereka merasa puas dengan bank utama yang saat ini mereka gunakan. Dari sisi loyalitas, nasabah-nasabah tersebut menggunakan 60-75% layanan dari relasi perbankan. Lebih tinggi dibandingkan hasil survei negara-negara Asia lainnya yang hanya berkisar 40-60%. Guna memanfaatkan basis nasabah yang menjanjikan ini, penting bagi bank untuk memahami cara memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha bisnis mikro dan kecil.
Salah satu pendekatan penting yang dapat dilakukan bank adalah untuk menjadi ‘mitra holistik’ bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang membantu mengembangkan usaha mereka lebih jauh lagi. Untuk mewujudkannya, setiap bank bisa membangun aset dan kapabilitasnya di lima dimensi utama berikut. Satu, membangun model distribusi online-to-offline Pelaku usaha mikro dan kecil masih memerlukan model bisnis yang melibatkan interaksi fisik sekaligus digital. Digital channel biasanya lebih berguna untuk tugas-tugas sederhana, seperti mengelola saldo rekening dan transfer dana, sesuai preferensi separuh dari para pelaku usaha yang berpartisipasi dalam survei ini. Namun, untuk interaksi yang lebih kompleks, misalnya pengajuan pinjaman, hampir 70% dari partisipan survei memilih interaksi fisik.
Dua, berinvestasi dalam bentuk tenaga penjualan yang ‘selalu hadir’ untuk membantu pelaku usaha mikro dan kecil. Relationship manager merupakan sumber daya yang benar-benar dihargai oleh sebagian besar pelaku usaha mikro dan kecil. Nasabah-nasabah tersebut menyukai tatap muka langsung, bisa menghubungi relationship manager kapan pun saat dibutuhkan, serta interaksi atau kontak yang cukup sering. Sehingga, bank perlu membentuk tim penjualan yang bisa menjalin relasi dengan pelaku usaha tersebut serta mampu mendampingi mereka dalam mengembangkan usahanya. Walaupun preferensi terhadap digital banking di segmen ini diperkirakan terus meningkat, Bank dihimbau untuk memulai perubahan digital dengan melengkapi tim penjualan dengan teknologi digital alternatif seperti chatbots dan remote advisory (konsultasi jarak jauh).
Tiga, merancang produk digital banking yang aman dan sederhana. Jika terus bergantung pada model bisnis fisik, bank dapat mengalami pembengkakan biaya operasional. Namun, pelaku usaha mikro dan kecil masih membutuhkan waktu untuk memahami cara memanfaatkan teknologi digital dalam kegiatan usahanya sehari-hari, Sehingga bank perlu mengingat bahwa transformasi akan berjalan secara perlahan untuk segmen ini. Solusi sederhana yang dirancang untuk memberikan kecepatan dan keamanan dapat meyakinkan para pelaku usaha tersebut bahwa penerapan digital banking dalam keseharian usahanya itu lebih mudah dan bermanfaat, serta tidak serumit yang dibayangkan.
Empat, memberi nilai tambah selain jasa perbankan. Sebagian besar pelaku usaha mikro dan kecil tidak terlalu meminta layanan bernilai tambah dari bank yang mereka gunakan. Namun, penawaran layanan tambahan yang terarah dapat membantu bank mengakuisisi lebih banyak nasabah dan memperkuat relasinya dengan nasabah tersebut. Contohnya, Bank Rakyat Indonesia (BRI) banyak berinvestasi dengan membangun berbagai layanan baru, seperti LinkUMKM dan Pasar.ID, yang membantunya memperluas jaringan usaha mikro dan kecil serta mengembangkan relasi dengan nasabah-nasabah eksisting.
Dan lima, bermitra dengan pemerintah dalam pendistribusian layanan. Inklusi keuangan merupakan prioritas utama bagi Indonesia. Pemerintah telah berkomitmen sebesar Rp460 triliun (sekitar US$30 miliar) untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) di 2023, dengan kenaikan sekitar 37% per tahun sejak 2020. Program ini membantu bank menawarkan kredit murah kepada nasabah, sekaligus mendapatkan subsidi suku bunga dari pemerintah. Kerja sama dengan pemerintah dapat membantu bank memperluas penawaran produknya ke segmen usaha mikro dan kecil sekaligus menjaga model bisnisnya agar tetap berkelanjutan untuk jangka panjang.
Usaha mikro dan kecil memiliki potensi besar yang membentuk masa depan Indonesia serta untuk pasar perbankan di negeri ini. Bank yang bisa memberikan layanan dan membantu pertumbuhan para pelaku usaha tersebut akan meraup banyak manfaat di tahun-tahun mendatang. Persaingan di pasar ini diperkirakan terus menguat dan kesuksesan akan hanya diraih oleh bank dengan model bisnis yang tepat.
*) Tentang penulis; Shobhit Awasthi adalah Partner dari McKinsey & Company Singapore Office, Eric Buntoro adalah Associate Partner dan Kevin Wibowo adalah Engagement Manager, keduanya berasal dari McKinsey & Company Jakarta Office.