Melihat Asumsi Makro 2016 Dari Kacamata Parlemen

Melihat Asumsi Makro 2016 Dari Kacamata Parlemen

Pemerintah harus bekerja lebih keras untuk mencapai asumsi-asumsi makro dalam RAPBN 2016 yang sudah disampaikan ke DPR-RI. Rezkiana Nisaputra

Jakarta–Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah mengajukan asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016 kepada Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Dalam asumsi yang diajukan tersebut Komisi XI DPR-RI menyetujuinya.

Komisi XI DPR-RI menyepakati asumsi untuk pertumbuhan ekonomi 2016 sebesar 5,3% dari sebelumnya yang sebesar 5,5%. Sementara untuk nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS diasumsikan berada pada level Rp13.900 per USD setelah direvisi dari asumsi sebelumnya yakni Rp13.400 per USD.

Selain itu Komisi XI DPR-RI juga menyepakati asumsi untuk inflasi 2015 sebesar 4,7%, suku bunga SPN 3 bulan 5,5%, tingkat pengangguran 5,2%-5,5%, tingkat kemiskinan 9%-10%, Indeks Gini Rasio 0,39, dan Indeks Pembangunan Manusia‎ (IPM) 70,1 dan Indonesia Crude Price (ICP) USD50 per barel.

Adanya kondisi tersebut, Wakil Ketua I Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI, Said Abdullah mengungkapkan, bahwa asumsi makro merupakan tugas berat bagi pemerintah dan Bank Indonesia yang sudah menyampaikan asumsi-asumsi makro tersebut. Pasalnya, asumsi makro tersebut menjadi extra effort bagi pemerintah.

“Banggar melihatnya sederhana, kalau pertumbuhan ekonomi dari 5,5% menjadi 5,3%, dan kemudian ICP dari USD60 menjadi USD50 per barel maka pertumbuhan ekonomi kita akan relatif dengan 5,3%. Itu menjadi extra effort bagi pemerintah,” ujar Said kepada Infobank, di Jakarta, Senin, 28 September 2015.

Sedangkan dari sisi Rupiah yang diasumsikan Rp13.900 per USD. Said menambahkan, BI telah memberikan garansi bahwa Rupiah akan dijaga di level tersebut sejalan dengan kemampuan dan tugas BI untuk menstabilisasi Rupiah. Dia berharap, agar asumsi Rupiah di Rp13.900 per USD bagian dari ekspektasi pasar.

“Apakah Rupiah di Rp13.900 per USD ini berdasarkan estimasi yang kuat dari BI atau bagian dari harapan pasar. Kalau dari pasar barat analisa atau katakanlah dari BI ke timur, maka celaka kita. Kalau China masih mendevaluasi, maka kita akan jebol, akan porak-poranda postur APBN kita. Asumsi makronya akan porak-poranda,” tukasnya.

Tantangan pemerintah di 2016 masih berat, terutama dari sisi penerimaan seperti ekspor, pajak dan investasi yang selama ini belum maksimal, meski pemerintah sudah mengeluarkan deregulasi. Saat ini,  deregulasi yang dikeluarkan pemerintah tidak bisa untuk jangka pendek namun untuk jangka panjang yang diperkirakan baru efektif dalam enam bulan kedepan.

“Deregulasi ini kan tidak bisa dalam jangka waktu pendek kita perlu waktu 6 bulan baru akan keliatan. Maka akan ada investasi langsung datang ke kita, karena kalau bukan dari investasi langsung maka defisit transaksi berjalan kita akan semakin membengkak,” ucap Said.

Di tempat yang sama Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara Kepala BKF mengatakan, bahwa asumsi-asumsi makro dalam RAPBN 2016 yang ditetapkan pemerintah sudah mempertimbangkan dampak dari kondisi perekonomian di 2015 dan perkiraan perekonomian di 2016 mendatang.

“Memang ada faktor-faktor yang perlu kita waspadai di 2016, laju inflasi, bisa cukup dipahami, sehingga di 2015 4,2%, dan di 2016 kesepakatannya menjadi 4,7%. Yang perlu kita waspadai itu seperti gangguan iklim elnino di awal tahun 2016. Untuk suku bunga SBN 5,5%, masih cukup dengan kondisi inflasi di angka 4,7%. Ini merupakan kesepakatan bersama,” paparnya.

Sebelumnya Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo perna mengungkapkan, pihaknya sepakat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar Rupiah yang di sepakati masing-masing 5,3% dan Rp13.900 per USD di 2016 mendatang. Menurutnya, BI sangat nyaman Rupiah berada di level tersebut.”Kami sepakat, kami nyaman dengan angka itu (Rp13.900 per USD). Suku bunga SPN juga sudah oke,” ujar Agus.

Menurut Agus, pada kuartal I 2016, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan berada pada level Rp14.000 per USD, atau sama dengan kuartal IV 2015. “Ini didukung persepsi pasar yang makin positif, terutama realisasi pertumbuhan ekonomi yang naik dibanding kuartal sebelumnya,” ungkap Agus.

Dia menilai, pada Semester II 2016 persepsi positif Indonesia akan kuat karena sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik dan terjaganya laju inflasi. Sementara dari sisi eksternal juga didukung oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi global. Dengan begitu, maka capital inflow (arus modal asing masuk) akan membaik, sehingga neraca pembayaran Indonesia akan positif.

“Prospek ekonomi domestik membaik, maka capital inflow akan membaik, sehingga neraca pembayaran Indonesia akan positif itu akan mendorong nilai tukar, sehingga kurs diperkirakan akan berada pada Rp 13.700-13.900 per USD,” tutup Agus. (*)

Related Posts

News Update

Top News