Melawan Pembobolan Bank

Melawan Pembobolan Bank

oleh Paul Sutaryono

KASUS perbankan kembali muncul. Pada awal Maret 2017 Bareskrim Mabes Polri mengungkapkan bahwa kasus pembobolan terjadi di tujuh bank (dua bank pemerintah dan lima bank swasta). Kemudian, menyusul kasus deposito bodong alias palsu di bank pemerintah lainnya pada minggu ketiga Maret 2017. Bagaimana kiat melawan kasus perbankan?

Kasus pertama yang potensi kerugiannya mencapai Rp846 miliar itu, berkaitan dengan pemalsuan dokumen pengajuan kredit. Sementara, kasus kedua berkaitan dengan deposito bodong yang memiliki potensi kerugian Rp258 miliar.

Akibat kasus kedua tersebut, bank pemerintah itu terkena kartu kuning atau sanksi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Yakni, kantor kas bank pelat merah itu tidak boleh melayani pembukaan semua jenis rekening baru, baik tabungan, giro, maupun deposito, untuk sementara waktu. OJK juga melarang bank pemerintah tersebut memanfaatkan tenaga kerja alih daya dan tidak membolehkannya membuka kantor cabang baru hingga risiko operasional kembali normal.

Lantas, alternatif solusi apa saja yang patut diambil untuk mengatasi kasus perbankan? Pertama, pertanyaan yang paling sering muncul di permukaan adalah mengapa terjadi kecurangan (fraud). Ada teori segitiga kecurangan (fraud) menurut Donald Cressey, yang terdiri atas motif, kesempatan, dan rasionalisasi.

Motif adalah alasan seseorang melakukan fraud. Motif itu bisa berupa keserakahan, balas dendam, tekanan keluarga, kecanduan judi dan minuman, kebutuhan yang mendesak, dan utang selangit. Untuk itu, bisa saja pejabat tinggi yang sudah mandi harta setiap hari, tetapi masih juga melakukan fraud. Itu terjadi bukan lantaran mempunyai utang banyak, melainkan karena serakah.

Sementara itu, kesempatan merupakan lingkungan yang mendukung dalam melaksanakan fraud. Pada umumnya, kesempatan itu bersumber dari tingkat jabatan, posisi, kewenangan, atau otoritas seseorang. Audit internal yang kurang baik akan makin memperlonggar lahirnya kesempatan bagi seseorang untuk berbuat fraud.

Adapun, yang dimaksud dengan rasionalisasi adalah bagaimana pelaku fraud melakukan justifikasi (pembenaran) perilaku yang tidak layak tersebut. Dengan bahasa lebih bening, rasionalisasi merupakan sebab yang menjelaskan perilaku seseorang yang berbeda motif satu orang dengan orang lain. Oleh karena itu, ketika pelaku fraud telah melakukan rasionalisasi perbuatannya, ia tetap merasa tidak bersalah, sekalipun tertangkap basah. Bahkan, pelaku berani menyatakan bahwa ia tidak pernah menerima uang. Satu sen pun tidak. (Bersambung ke halaman berikutnya)

Related Posts

News Update

Top News