Jakarta – Ratusan Mahasiswa Aceh mendatangi lokasi penampungan pengungsi Rohingya yang dihuni oleh 137 etnis minoritas Myanmar tersebut, di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA), pada Rabu (27/12).
Mahasiswa pun memindahkan mereka secara paksa menggunakan mobil truk ke kantor Kemenkumham Aceh.
Dalam cuplikan video yang viral, para mahasiswa menerobos barikade basemen menuju ruang serba guna. Mereka pun lantang meneriakkan “usir mereka keluar” dan “tolak etnis Rohingya di Aceh”.
Gabungan mahasiswa dari sejumlah kampus seperti Al-Washliyah, Universitas Abulyatama, Bina Bangsa Getsempena, dan Universitas Muhammadiyah Aceh ini pun sempat terlibat perselisihan dengan polisi yang menjaga para pengungsi yang ketakutan.
Namun, pada akhirnya polisi mengizinkan massa untuk memindahkan mereka. Polisi pun turut membantu pengungsi Rohingya naik sebelum mereka dibawa ke kantor pemerintah lain di dekatnya.
Baca juga: Wapres Buka Opsi Tampung Pengungsi Rohingya di Pulau Galang
Menguji Keseriusan Dinilai
Dikutip VOA Indonesia, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Faudzan Farhana mengatakan, penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia selama ini seperti diserahkan kepada masyarakat. Bahkan, pemerintah terkesan tak peduli dan dinilai tidak serius menangani persoalan tersebut.
“Ya pasti akan ada risiko seperti yang terjadi belakangan ini, bahwa masyarakat biar bagaimanapun ketika memberikan bantuan sebisa mereka, sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara masyarakat di Aceh, kita tahu kondisi mereka seperti apa. Saya melihat reaksi penolakan belakangan ini semacam bara dalam sekam yang selama ini menunggu untuk terbakar,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia bukan hal baru dan pemerintah sebenarnya sudah memiliki Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi Rohingya yang datang dari laut.
Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa pada pelaksanaannya mulai tingkat pusat hingga daerah penanganan pengungsi Rohingya tidak berjalan baik.
“Kekurangannya di perpres itu hanya mengatur soal penanganan darurat. Kalau ada (pengungsi Rohingya) ditolong dulu, dikasih makan, dikasih baju, dikasih minum. Tapi setelah itu bagaimana, nggak diatur. Dibentuk satgas untuk mengerjakan itu. Namun, satgas tidak dibekali dengan dana khusus untuk memberi makan,” jelasnya.
Baca juga: WHO Laporkan Seluruh Layanan Rumah Sakit di Gaza Berhenti Beroperasi
Untuk menyelesaikan akar permasalahan itu, Farhana mengatakan, Pemerintah Indonesia sedianya mendesak Myanmar sebagai negara asal pengungsi Rohingya untuk duduk bersama negara-negara yang kini kedatangan pengungsi itu, yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Selain memperkuat pembahasan di tingkat pejabat senior ASEAN, perlu juga memperluas mandat dari Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN dalam Penanggulangan Bencana (Asean Coordinating Centre For Humanitarian Assistance/AHA Center) yang selama ini hanya memberikan bantuan kemanusiaan terhadap korban bencana alam.
AHA Center sedianya dapat juga menangani bencana akibat perang, termasuk penanganan pengungsi Rohingya.
Kemudian, pada level nasional Indonesia, pemerintah tidak bisa hanya melakukan penanganan darurat dan menyerahkan kepada IOM atau UNHCR, tetapi ikut juga membantu dana penanganan pengungsi ini. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra