Lika-Liku Menuju Era Bunga Single Digit

Lika-Liku Menuju Era Bunga Single Digit

Pemerintah tengah sibuk tekan NIM perbankan melalui sejumlah insetif. Tingginya biaya perebutan dana  menjadi salah satu pemicu tingginya suku bunga. Ria Martati.

Jakarta– Permintaan Pemerintah agar bank mulai menurunkan suku bunga kreditnya hingga single digit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, nampaknya mulai dieksekusi. Beberapa hari terakhir pemberitaan dihebohkan dengan kabar pembatasan suku bunga deposito untuk simpanan pemerintah pusat/daerah dan deposan BUMN serta arahan Net Interest Margin (marjin bunga bersih) rendah oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Berita pembatasan NIM sempat memukul saham bank-bank yang biasanya kinclong. Pada penutupan perdagangan Jumat, 19 Februari lalu, saham sektor keuangan turun 3,33%. Sementara saham BBCA, BBRI, BMRI & BBNI (market kapitalisasi terbesar) masing-masing turun 2,61%, 4,58%, 4,37%, dan 6,42%.

Arahan penurunan NIM memang sedang disiapkan oleh OJK melalui beleid terbaru yang dijanjikan meluncur bulan depan. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad mengatakan, aturan itu dibuat untuk mengarahkan efisiensi perbankan menuju bunga kredit single digit. Regulasi baru tersebut nantinya akan memberikan kemudahan-kemudahan, tergantung besaran efisiensi yang bisa diraih perbankan.

Berdasarkan data Bloomberg 2015, jika dibandingkan dengan bank-bank di negara lain, NIM perbankan Indonesia bisa dikatakan yang tertinggi. PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) misalnya, tingkat NIM-nya mencapai 8,13%. Sementara itu, bank asal Thailand, Kaskornbank NIM-nya hanya mencapai 3,67%. Bank asal Malaysia, Public Bank NIM-nya mencapai 2,16%. Dan bank asal Singapura, DBS NIM-nya hanya mencapai 1,68%.

Pemerintah meyakini, daya saing Indonesia akan membaik jika perbankan berada dalam rezim suku bunga rendah. Suku bunga acuan Indonesia yang tinggi dinilai menjadi biang kerok daya saing rendah dan pertumbuhan ekonomi terhambat. Suku bunga acuan BI Rate sekarang adalah 7%, lebih tinggi dibanding suku bunga acuan Vietnam 6,50%, Filipina 4,00%, Malaysia 3,25%, Thailand 1,50%, dan Singapura 0,21%. Meskipun suku bunga acuan telah dipangkas 50 bps dalam dua bulan terakhir, namun perbankan masih menimbang-nimbang untuk mengikuti penurunan suku bunga tersebut dengan menurunkan suku bunga kreditnya. Pasalnya, penurunan suku bunga kredit sangat tergantung dengan biaya dana. Di tengah likuiditas yang ketat, bank terbebani oleh tingginya suku bunga dana.

Direktur Utama PT Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, langkah BI memangkas suku bunga sulit diikuti dengan penurunan bunga bank karena kondisi likuiditas bank yang ketat. Kebijakan Pemerintah yang mencari pembiayaan di pasar melalui mekanisme front loading Surat Berharga Negara (SBN) menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, penurunan suku bunga acuan sekaligus pemangkasan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 1% pada Februari cukup membantu likuiditas perbankan. Maka menurutnya, peluang untuk menurunkan suku bunga kredit pun terbuka.

Sementara, Presiden Direktur PT Bank Central Asia, Tbk,  Jahja Setiaatmadja mengaku tidak akan menurunkan suku bunga kreditnya lagi. Pasalnya per Februari, Perseroan telah menurunkan suku bunga 0,25% untuk kredit retail seiring dengan penurunan suku bunga acuan periode Januari 2016 yang dipangkas 0,25%. Berbeda halnya dengan Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia, Tbk Achmad Baiquni yang mengaku akan mengupayakan penurunan suku bunga kredit, kendati masih harus menghitungnya kembali.

Saat ini, biaya dana perbankan Indonesia masih relatif tinggi, tingginya biaya dana (cost of fund) perbankan saat ini bisa tercermin dari tingginya beban bunga bank yang per Desember mencapai Rp338,25 triliun. Beban bunga dari 118 bank umum konvensional itu dalam tren meningkat. Pada 2012, beban bunga bank umum konvensional tercatat Rp187,71 triliun, sementara pada 2013 tercatat Rp215,13 triliun, kemudian pada 2014 tercatat Rp293,84 triliun. Soal lainnya dalam penentuan NIM adalah tingginya premi risiko dan biaya overhead.

Jadi bagaimana bank bisa memperoleh dana dengan murah dan menekan marjinnya agar bisa melempar kredit dengan murah ? Selain pembatasan bunga deposito nasabah besar yang diupayakan Pemerintah melalui revisi Peraturan Pemerintah agar deposan besar yang disinyalir adalah perusahaan-perusahan milik negara (BUMN) tak sembarangan meminta bunga deposito tinggi. Bank juga harus mengupayakan efisiensi dengan menekan biaya overhead-nya, biaya pencadangan dan biaya lain seperti promosi, serta SDM. Pasalnya, menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon, tingginya komponen biaya overhead saat ini terutama dipicu oleh biaya perebutan dana.

Overhead kita cukup tinggi terutama karena biaya-biaya kita persaingan merebut dana. Sehingga masih harus ada biaya promosi, biaya SDM. Sekarang kan banyak bank sudah mulai menawarkan teknologi tepat guna. Itu pada waktunya bisa mendorong efisiensi,” kata Nelson di Jakarta, Senin 22 Desember 2016.

Teknologi perbankan nampaknya menjadi salah satu jalan keluar meningkatkan efisiensi. Studi Mc Kensey menunjukkan, prospek peningkatan penggunaan teknologi digital banking di Asia cukup tinggi. Pada 2020 nanti, pengguna digital banking diperkirakan menjadi 1,7 miliar orang dari 650 juta pada 2012. Sementara di Australia dan ASEAN (Malaysia, Indonesia, Singapura dan Vietnam) pengguna digital banking diperkirakan naik dari 60 juta orang pada 2012 menjadi 150 juta orang pada 2020.

Digital banking menjadi solusi mendorong efisiensi karena memungkinkan bank menekan biaya. Sebab, biaya penggunaan teknologi digital banking cenderung lebih murah. Misalnya, biaya per unit transaksi jika datang ke bank adalah US$4,25 untuk sekali datang, sementara jika menggunakan phone banking biaya transaksinya bisa ditekan menjadi US$1,3 per transaksi. Biaya paling murah adalah transaksi online banking yang hanya menelan ongkos US$10 sen per transaksi. (*) Ria Martati

Related Posts

News Update

Top News