Poin Penting
- Ancaman keamanan siber dan fraud masih tinggi, dengan phishing dialami 27,12 persen fintech dan fraud eksternal menjadi tantangan terbesar bagi 82,98 persen perusahaan.
- Pengguna fintech terkonsentrasi di Jabodetabek (73,77 persen), sementara literasi keuangan yang rendah serta akses masyarakat berpendapatan rendah masih menjadi hambatan inklusi.
- Industri memasuki fase maturing, ditandai fokus pada profitabilitas, efisiensi, dan tata kelola; pergeseran ke B2B (50 persen) serta ekspansi global yang semakin kuat.
Jakarta – Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) merilis hasil temuan terbaru dari Annual Members Survey (AMS) 2024–2025 menyoal isu keamanan siber dan penipuan (scam) yang menimpa industri fintech lending di Tanah Air.
Tercatat, phishing masih menjadi jenis serangan siber paling umum, dialami oleh 27,12 persen perusahaan fintech pada 2025, meskipun menurun dari 33,59 persen pada 2024.
Tantangan terbesar justru berasal dari luar perusahaan, dengan 82,98 persen responden melaporkan bahwa fraud eksternal menjadi ancaman dominan, baik yang berasal dari konsumen, sindikat kejahatan siber, maupun pihak ketiga.
Hasil temuan yang sama juga mengungkap, sebaran pengguna fintech masih sangat terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek, dengan angka mencapai 73,77 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa penetrasi layanan ke wilayah non-metropolitan masih terbatas. Mayoritas pengguna berasal dari kelompok berpendapatan menengah, yaitu Rp 5–10 juta.
Baca juga : Pendanaan Fintech Lending dari Lender Individu Masih Mini, Cuma Segini Nilainya
Sementara itu, masyarakat berpenghasilan rendah di kisaran Rp0–5 juta masih menghadapi hambatan akses terhadap layanan keuangan yang justru paling mereka butuhkan. Temuan ini menegaskan pentingnya perluasan inklusi keuangan digital secara lebih merata.
Sementara itu, edukasi dan literasi keuangan digital menunjukkan tren peningkatan, namun belum sepenuhnya sejalan dengan pesatnya ekspansi produk dan inovasi fintech.
Sebanyak 43,44 persen perusahaan menjadikan literasi sebagai program utama dalam perlindungan konsumen. Namun demikian, 59,02 persen pelaku industri masih menilai rendahnya literasi sebagai tantangan terbesar dalam mendorong inklusi keuangan.
Ketua Umum AFTECH, Pandu Sjahrir, menegaskan bahwa temuan AMS 2024–2025 menjadi cermin penting bagi arah perkembangan industri fintech nasional.
“Tantangan-tantangan ini bukanlah hambatan, melainkan peta jalan untuk memperkuat ekosistem. Kita telah memasuki fase maturing, dan fokus kita adalah memastikan inovasi tumbuh dengan tata kelola yang kuat, perlindungan konsumen yang kokoh, serta dampak nyata bagi sektor riil dan masyarakat luas,” ujarnya, dikutip Senin, 17 November 2025.
Baca juga : Laporan e-Conomy SEA 2025: 46 Persen Konsumen Belum Percaya Fintech Lending di RI
Di sisi lain, AMS 2024–2025 juga mencerminkan optimisme yang kuat dari pelaku industri. Mereka kini lebih fokus pada profitabilitas, efisiensi, dan tata kelola berkelanjutan, sekaligus menegaskan peran fintech sebagai penggerak inklusi keuangan dan produktivitas ekonomi nasional.
Perubahan ini tercermin dalam strategi bisnis dan pendanaan. Pada 2025, sebanyak 43,4 persen perusahaan fintech memilih untuk tidak lagi aktif mencari pendanaan eksternal, meningkat dari 38,9 persen pada 2024. Hal ini menandakan pergeseran fokus industri ke arah optimalisasi internal dan pencapaian profitabilitas.
Di saat yang sama, model bisnis fintech turut mengalami transformasi. Proporsi pengguna utama di segmen business-to-business (B2B) melonjak dari 27,48 persen pada 2024 menjadi 50 persen pada 2025.
Hal ini menunjukkan meningkatnya kepercayaan sektor korporasi terhadap fintech sebagai mitra transformasi digital.
Ekspansi global juga semakin menguat, dengan perusahaan yang melayani pengguna internasional meningkat dari 56 persen pada 2024 menjadi 64 persen pada 2025.
Sementara, Sekretaris Jenderal AFTECH, Firlie Ganinduto,menyampaikan bahwa AMS 2024–2025 memberikan gambaran yang jelas mengenai peluang dan tantangan industri fintech.
“Kita melihat progres besar dalam aspek tata kelola, keamanan, dan kapabilitas teknologi. Namun, masih terdapat sejumlah kesenjangan yang perlu dijembatani. Ke depan, salah satu fokus utama AFTECH adalah memperkuat governance untuk meningkatkan trust sehingga mendorong confidence di industri digital, khususnya fintech. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk mengatasinya,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama









