Jakarta – Kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas kebijakan ini dalam mengatasi pemborosan APBN dan APBD.
Seperti diketahui, kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Presiden Prabowo telah tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Keuangan No. S-37/MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja K/L dalam Pelaksanaan APBN 2025
Baca juga: Sri Mulyani Pangkas Anggaran K/L Rp256,1 T Respons Inpres Prabowo, Ini Detailnya
Pengamat Kebijakan Publik dari The PRAKARSA, Ah Maftuchan, menilai bahwa penggunaan APBN dan APBD selama ini memang boros, kurang efektif, tidak akuntabel, kurang transparan, dan belum memberikan dampak optimal bagi kesejahteraan rakyat dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
Dampak Positif bagi Pengelolaan Anggaran Negara
Ah Maftuchan, menilai bahwa agenda efisiensi anggaran yang digagas oleh Presiden Prabowo membawa sejumlah manfaat. Menurutnya, kebijakan ini dapat memberikan dampak positif bagi pengelolaan anggaran negara.
Pemerintah menyadari bahwa pemborosan anggaran tidak dapat terus berlanjut. Hal ini penting agar seluruh tingkatan pemerintahan memiliki kehendak yang sama dalam mengelola keuangan negara secara lebih efisien.
Selain itu, agenda efisiensi ini juga menjadi salah satu bukti konkret bahwa pemerintah berupaya meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara.
Baca juga: Komisi X DPR Apresiasi Strategi 3 Kementerian Ini dalam Hadapi Efisiensi Anggaran
“Jika dilihat dari persentase efisiensi anggaran yang terdiri dari anggaran Kementerian/Lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan anggaran daerah sebesar Rp50,59 triliun, maka hal ini memperlihatkan bahwa Presiden Prabowo masih mempertimbangkan pentingnya menjaga stabilitas daerah di mana selama ini sebagain besar daerah masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat,” tambahnya
Catatan Kritis dari Agenda Efisiensi Anggaran
Meski demikian, Maftuchan juga menyoroti potensi dampak negatif dari kebijakan ini, terutama pengurangan alokasi anggaran untuk rakyat, baik melalui program kegiatan maupun subsidi atau bantuan langsung.
Artinya, jika pemerintah tidak berhati-hati dalam melakukan budget refocusing, program pemenuhan hak rakyat justru berisiko tidak mendapatkan alokasi yang memadai. Misalnya, potensi penurunan kepesertaan BPJS Kesehatan melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI), pengurangan subsidi energi, dan pemangkasan subsidi kesehatan.
Baca juga: Usai Pecat Karyawati Viral Hina Honorer Pakai BPJS, PT Timah Tegas Bilang Begini
Lebih lanjut, ia menilai bahwa pemerintah perlu mengantisipasi dampak langsung dari kebijakan efisiensi terhadap pelaku UMKM. Efisiensi anggaran bisa menyebabkan stagnasi ekonomi di sektor-sektor usaha yang terdampak, seperti pengadaan alat tulis kantor (ATK), percetakan, dan pembuatan souvenir.
Misalnya, pemangkasan pengadaan ATK sebesar 90 persen dan percetakan-souvenir sebesar 75,9 persen. Pemerintah perlu mengintervensi dampak negatif terhadap sektor ekonomi yang terhubung dengan bidang ATK (alat tulis kantor), usaha percetakan dan usaha pembuatan souvenir. Apalagi pembuatan souvenir biasanya merupakan sektor UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja.
“Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah antisipatif agar tidak terjadi eksternalitas negatif pada kegiatan ekonomi yang terhubung dengan agenda efisiensi,” imbuhnya.
Pemangkasan Anggaran di Sektor Strategis
Beberapa kementerian terkena pemangkasan anggaran cukup besar, antara lain:
- Kementerian Pekerjaan Umum (PU): Pemangkasan sebesar 73,35 persen atau Rp81,38 triliun.
- Kementerian Kesehatan (Kemenkes): Pemangkasan sebesar Rp19,63 triliun.
- Kemendikbudristek, Kemendikdasmen, Kementan, dan Kementerian Perumahan juga terkena pemotongan besar.
Baca juga: Efisiensi Anggaran Bisa Lebih Optimal, Ini Saran CELIOS
Kementerian-kementerian tersebut memiliki peran strategis dalam pemenuhan hak-hak dasar warga, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertanian, dan perumahan. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi lebih lanjut untuk memastikan bahwa pemotongan anggaran tidak berdampak buruk pada kesejahteraan rakyat.
Selain itu, kebijakan efisiensi ini juga menyasar kegiatan kajian dan analisis hingga 51,5 persen. Maftuchan menilai hal ini berisiko menghambat pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making).
“Padahal, kajian dan analisis merupakan kegiatan penting untuk memastikan suatu program atau kebijakan didasarkan pada bukti-bukti empirik. Jika tidak ada kajian dan analisis, maka kebijakan-program akan lebih ditentukan oleh intuition dan political preferences,” ucap Maftuchan.
Anggaran Pertahanan Tidak Terkena Pemotongan
Di sisi lain, pemerintah tidak memangkas anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Mahkamah Agung (MA). Bahkan, Kemenhan justru mendapatkan anggaran terbesar, yakni Rp166,26 triliun.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat mengutamakan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista). Padahal, Presiden Prabowo telah menetapkan arah kebijakan luar negeri Indonesia sebagai “good-neighbour policy” atau kebijakan bertetangga baik.
Baca juga: Buntut Efisiensi, Anggaran KPK 2025 Rp1,127 T Kena Pangkas Jadi Sisa Segini
Menurutnya, Presiden Prabowo perlu mempertimbangkan efisiensi anggaran di sektor pertahanan agar sebagian dana dapat dialokasikan ke program pro-rakyat. Selain itu, anggaran Polri, Kejagung, dan MA juga perlu ditinjau ulang (scrutiny) guna menghindari inefisiensi di lembaga penegak hukum.
“Seperti yang kita ketahui, performance penegakan hukum masih belum memuaskan. Pemotongan anggaran untuk lembaga penegak hukum diperlukan agar ada semangat pembenahan yang mendasar,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra