Oleh Nimmi Zulbainarni, Ahli Ekonomi Kelautan dan Sumber Daya Alam
KASUS kontaminasi udang yang mencuat beberapa waktu lalu menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan pelaku industri dan pengamat ekonomi perikanan. Sebagai komoditas unggulan, udang selama ini menjadi primadona ekspor Indonesia dan penopang utama devisa sektor kelautan. Karena itu, kasus ini tidak bisa dipandang sebagai persoalan teknis semata, melainkan sebagai sinyal penting betapa rapuhnya sistem tata kelola mutu dan rantai nilai perikanan nasional.
Secara ekonomi, dampak dari kasus ini tidak main-main. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2024) serta Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), udang menyumbang sekitar 36 persen – 40 persen terhadap total nilai ekspor perikanan nasional. Pasar utama komoditas ini adalah Amerika Serikat (AS), yang menyerap sekitar 63,2 persen dari ekspor udang Indonesia dengan nilai mencapai USD477,29 juta pada semester pertama 2024. Artinya, bila seluruh volume ekspor ke AS terkena dampak pembatasan akibat kasus kontaminasi, potensi kerugian ekonomi bisa mencapai angka tersebut.
Selain bisa berdampak langsung, kasus udang ini bisa menimbulkan dampak tidak langsung, mulai dari biaya tambahan untuk pengujian keamanan, risiko import rejection, penundaan kontrak, hingga hilangnya kepercayaan jangka panjang dari pembeli internasional.
Berdasarkan data ITC Trade Map (2023), nilai ekspor udang Indonesia ke AS mencapai USD1,07 miliar per tahun. Jika kasus ini menimbulkan penurunan ekspor sebesar 20 persen-30 persen, potensi kerugian bisa mencapai USD200 juta-USD300 juta per tahun.
Dalam jangka panjang, persoalan ini dapat menurunkan trust index terhadap produk perikanan Indonesia, memberi peluang bagi negara pesaing seperti India, Vietnam, dan Ekuador untuk mengambil alih pangsa pasar. Dari sisi teori bioekonomi, gangguan seperti recall atau pembatasan impor dapat menciptakan shock ekonomi yang langsung dirasakan di tingkat petambak.
Dalam jangka pendek, kelebihan pasokan di pasar domestik akibat turunnya ekspor akan menekan harga udang lokal. Data KKP (2023) menunjukkan bahwa setiap 10 persen penurunan ekspor berpotensi menurunkan harga domestik sebesar 6 persen-8 persen. Penurunan harga ini menggerus margin keuntungan, terutama bagi petambak kecil yang beroperasi dengan biaya tetap tinggi untuk pakan, benih, dan energi.
Selain itu, tuntutan penerapan standar keamanan pangan internasional seperti HACCP dan Best Aquaculture Practices (BAP) meningkatkan biaya produksi hingga 10 persen-20 persen (World Bank, 2024). Dalam kondisi harga turun, peningkatan biaya ini menjadi tekanan ganda bagi petambak.
Tanpa dukungan pemerintah melalui subsidi input, pelatihan mutu, dan perluasan pasar alternatif, risiko farm exit di kalangan petambak kecil akan meningkat, menyebabkan underutilization lahan tambak dan penurunan efisiensi ekonomi nasional (FAO, 2022).
Kasus kontaminasi ini pada dasarnya mencerminkan persoalan struktural dalam tata kelola rantai nilai perikanan Indonesia. Ada tiga akar masalah utama yang saling terkait: lemahnya pengawasan mutu, rantai pasok yang belum efisien, dan minimnya insentif kepatuhan terhadap standar internasional.
Menurut KKP (2024), hanya sekitar 45 persen unit pengolahan ikan yang memiliki sertifikat keamanan pangan seperti HACCP atau BAP. Di tingkat tambak rakyat, lebih dari 70 persen belum memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan mutu nasional masih terfragmentasi dan tidak merata.
Rantai pasok udang Indonesia juga cenderung panjang, melibatkan banyak perantara, mulai dari petambak hingga eksportir. Struktur ini meningkatkan risiko degradasi mutu karena penanganan pascapanen tidak seragam dan belum sepenuhnya menerapkan cold chain management yang ketat (World Bank, 2024).
Di lain sisi, biaya tinggi untuk sertifikasi dan inspeksi rutin menjadi hambatan bagi pelaku usaha kecil. Tanpa insentif fiskal dan nonfiskal yang memadai, mereka cenderung mengutamakan efisiensi biaya jangka pendek ketimbang kepatuhan mutu jangka panjang.
Dampak reputasi kasus udang juga tidak berhenti pada satu komoditas saja. Dalam perdagangan internasional, reputasi adalah modal yang rapuh. Jika satu produk dianggap bermasalah, persepsi negatif dapat meluas ke seluruh komoditas dari negara yang sama.
Laporan FAO (2023) mencatat bahwa insiden penolakan satu produk perikanan sering kali diikuti oleh peningkatan inspeksi lintas komoditas. Hal ini pernah terjadi ketika audit EU Food and Veterinary Office (FVO) menemukan kelemahan dalam pengawasan residu perikanan Indonesia (Wahidin et al., 2018), yang kemudian memicu pengetatan ekspor secara menyeluruh.
Untuk mengembalikan kepercayaan pasar global, langkah pemulihan harus bersifat menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan berbasis risiko, mempercepat digitalisasi sertifikasi mutu, dan mendorong penerapan sistem traceability lintas komoditas. Transparansi publik atas langkah korektif juga penting agar mitra dagang memahami komitmen Indonesia terhadap keamanan pangan dan keberlanjutan.
Krisis ini seharusnya menjadi momentum refleksi nasional untuk memperkuat fondasi industri perikanan kita. Dengan tata kelola mutu yang transparan, rantai pasok yang efisien, serta dukungan kebijakan yang berpihak pada petambak kecil, Indonesia tidak hanya mampu memulihkan reputasi ekspor udang, tetapi juga meneguhkan posisinya sebagai pemasok utama produk perikanan tropis yang aman, berkualitas, dan berkelanjutan di pasar global. (*)









