Adanya ketidakseimbangan pada sektor rill telah menyebabkan harga komoditas terjun kebawah yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya sektor rill. Rezkiana Nisaputra
Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, kondisi perekonomian Indonesia saat ini memang belum berada dalam kondisi krisis. Namun, jika Pemerintah tidak bisa mengambil langkah yang tepat, maka krisis ekonomi bakal menerpa Indonesia.
Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati mengungkapkan, bahwa krisis menjadi indikator yang sangat jelas, dimana suatu perubahan telah berdampak pada sendi-sendi kehidupan di masyarakat. Hal ini sejalan dengan harga bahan makan yang melonjak sangat tinggi yakni 9,26%.
Menurutnya, kondisi perekonomian nasional yang saat ini memasuki tahap kritis memang berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pada 1998 silam. Krisis yang terjadi di 1998, bermula pada sektor keuangan yang tidak sanggup memberikan pembiayaan ke sektor rill, sehingga saat itu tingkat konsumsi rendah dan pengangguran pun merajalela.
“Jadi ketika dulu di krisis 1998, itu karena ketika krisis menjalar ke sektor keuangan sehingga sektor keuangan tidak bisa memberikan pembiayaan, maka berdampak juga ke sektor rill dalam pembiayaan, dan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” ujar Enny, di Jakarta, Rabu, 2 September 2015.
Lebih lanjut dia menilai, jika kondisi perekonomian nasional yang saat ini mengalami perlambatan tidak segera di antisipasi, maka krisis ekonomi akan berpotensi kembali dan bermula dari sektor rill. Adanya ketidakseimbangan pada sektor rill telah menyebabkan harga komoditas terjun bebas kebawah.
“Kalau sekarang, lebih dahulu di sektor riil, seperti ayam dan telur dan sebagainya. ketidakseimbangan sektor rill akhirnya harga komoditas jatuh, itu yang akhirnya menyebabkan runtuhnya sektor rill, inikan jatuh karena ketika sektor komoditas turun, pendapatan daya beli masyarakat ikut turun,” tukas Enny.
Oleh sebab itu, agar sektor riil dapat terjaga maka, pemerintah harus ada upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok dengan memperkuat lembaga buffer stock serta memberikan sanksi yang tegas terhadap praktik-praktik persaingan yang tidak sehat.
“Harus mempercepat dan mengefisienkan jalur distribusi kebutuhan pokok dari produsen ke konsumen dengan memotong rantai distribusi, dapat dioptimalkan dengan pemberdayaan gudang-gudang Bulog dan kerjasama dengan pemerintah daerah,” ucap Enny.
Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan skema social safety net yang komprehensif untuk mengantisipai perlambatan ekonomi secara cepat. Terutama jika negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Tiongkok, kembali melakukan kebijakan-kebijakan yang dapat mengguncang perekonomian global.
Menurutnya, pemerintah juga harus melakukan optimalisasi program-program jaminan sosial yang tepat sasaran, karena yang mengalami penurunan daya beli terparah adalah kelompok menengah ke bawah. “Harus ada relaksasi perpajakan, utamanya untuk mendorong daya beli masyarakat melalui penurunan tingkat pajak PPh,” tutupnya. (*)