Oleh Pengamat Perbankan, Paul Sutaryono
STATISTIK Ekonomi Keuangan Indonesia yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) menunjukkan, kredit properti naik secara tahunan sebesar 13,05% dari Rp713,42 triliun per Desember 2016 menjadi Rp806,51 triliun per Desember 2017. Pertumbuhan itu menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat 13,79%.
Total kredit properti sebesar Rp806,51 triliun itu meliputi kredit konstruksi yang juga naik 20,05% dari Rp214,26 triliun menjadi Rp257,22 triliun. Kredit real estate pun naik 6,35% dari Rp130,82 triliun menjadi Rp139,13 triliun.
Adapun, kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) naik 11,35% dari Rp368,34 triliun menjadi Rp410,16 triliun.
Meski pertumbuhan KPR dan KPA masih kalah dibandingkan dengan kredit konstruksi, secara kuantitatif telah memberikan kontribusi tertinggi, yakni 50,86%, dari total kredit properti.
Bandingkan dengan kontribusi kredit konstruksi dan kredit real estate yang masing-masing 31,89% dan 17,25%.
Sektor properti, terutama subsektor KPR, diprediksi akan makin bergairah pada 2018.
Lantas, faktor kunci keberhasilan (key success factors) apa saja yang dapat mendukungnya?
Satu, KPR bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan suku bunga tetap 5% untuk tenor hingga 20 tahun dan uang muka 1% telah menyuburkan pertumbuhan properti. KPR dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) itu juga membantu mendorong daya beli (purchasing power) masyarakat bawah.
Dengan bahasa lebih bening, harga hunian yang terjangkau (affordable) akan mengerek daya beli masyarakat, terutama tingkat menengah-bawah. Sepanjang 2017 konsumsi rumah tangga tumbuh 4,95%, tapi memberikan kontribusi paling tinggi, sekitar 56%, terhadap produk domestik bruto (PDB).
Karena itu, sungguh penting dan mendesak bagi pemerintah untuk terus mendorong program padat karya tunai melalui berbagai kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Demikian pula dengan dana desa yang makin banyak mengucur ke 74.000 desa di seluruh Tanah Air. Semua itu amat diharapkan dapat mendongkrak konsumsi rumah tangga yang ujungnya akan menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pembangunan properti juga mampu mendorong tak kurang dari 170 bisnis terkait lainnya untuk ikut bergairah. Katakanlah, arsitektur, pasir, semen, besi (rangka besi, terali, pagar), baja ringan, batu (batu kali, batu bata), kayu (pintu, kusen, jendela, kursi, meja, lemari), cat, gorden, sampai dengan lampu dan listrik.
Ketika begitu banyak bisnis terkait lainnya ikut bergerak, pastilah sektor properti dapat menyerap ribuan tenaga kerja. Artinya, hal itu dapat menekan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang mencapai 5,50% per Agustus 2017, turun dari 5,61% per Agustus 2016. Bandingkan dengan TPT negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) lainnya, yakni Thailand 1,00%, Singapura 2,10%, Vietnam 2,20%, Malaysia 3,30%, dan Filipina 5,00%.
Bandingkan pula dengan TPT Tiongkok yang tercatat 3,90% dengan pertumbuhan ekonomi 6,80% dan TPT India yang berada di level 3,46% dengan pertumbuhan ekonomi 6,30%. Itulah mengapa, sekarang ini pertumbuhan ekonomi dunia dikatakan berada di Asia, termasuk Indonesia.
Dua, pemangkasan loan to value (LTV) dari 80% menjadi 85% tentu saja akan menjadi motor pendorong kebangkitan properti. Perubahan LTV itu berarti uang muka makin tipis, dari 20% menjadi 15% dari nilai rumah. Penurunan LTV itu membantu masyarakat menengah ke bawah untuk memiliki rumah layak huni.
Bukan hanya itu, pada 2018 akan lahir LTV spasial. Kelak LTV akan berbeda-beda menurut wilayah, bahkan menurut segmen, seperti KPR dan KPA. Kemungkinan besar, LTV spasial akan berubah-ubah setiap periode tertentu. Hal itu memungkinkan, mengingat perbedaan tingkat inflasi antar daerah.
Lahirnya LTV spasial juga akan menggugah pemerintah daerah (pemda) untuk ikut aktif dalam mengendalikan inflasi. Itu penting dilakukan karena selama ini seolah-olah pengendalian inflasi hanya berada di pundak BI. Sarinya, pemerintah daerah (pemda) juga dapat mengendalikan inflasi melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Tiga, kini pembangunan yang fokus pada infrastruktur meliputi jalan tol, rel kereta api, bandara, pelabuhan, irigasi, dan energi telah mendorong pertumbuhan properti. Banyak pengembang menggenjot pengembangan kota yang berorientasi pada pemanfaatan angkutan massal (transit oriented development atau TOD).
TOD merupakan ancangan (approach) pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan memaksimalkan penggunaan angkutan massal, seperti TransJakarta, mass rapid transit (MRT), dan kereta ringan (light rail transit atau LRT).
Ancangan itu lebih menitikberatkan pada angkutan massal. Konsekuensi logisnya, tingkat ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi menjadi berkurang. Pasalnya, seperti di beberapa kota besar dunia, memang dirancang untuk menciptakan angkutan massal yang lebih cepat, murah, aman, dan mudah dijangkau. Inilah tantangan serius bagi pemda, terutama Jakarta sebagai Ibu Kota.
Empat, kini bank berlomba menggarap kredit konsumsi (consumer banking) sehingga kredit konsumsi akan makin berkibar. Karena, ekonomi masih belum akan bersinar terang, yang berarti penyaluran kredit komersial belum akan mencapai grafik puncaknya. Sepanjang 2017 kredit perbankan hanya tumbuh 8%.
Kemudian, bank-bank melirik kredit konsumsi untuk menyeimbangkan pendapatan dari kredit komersial (net off).
Kredit konsumsi itu ditujukan untuk perorangan, seperti KPR, KPA, kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Oleh sebab itu, bank-bank, terutama papan atas, mulai memangkas suku bunga KPR-nya, seperti Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan sudah tentu Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai pemimpin pasar (market leader) sektor properti.
Lima, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Tapera bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan guna memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Peserta Tapera bukan hanya pekerja formal, melainkan juga pekerja informal atau pekerja mandiri. Pekerja mandiri adalah setiap warga negara Indonesia yang bekerja dengan tidak tergantung pada pemberi kerja untuk mendapatkan penghasilan.
Sejalan dengan UU Tapera, Badan Pengelola (BP) Tapera yang dibentuk Komite Tapera harus sudah beroperasi selambat-lambatnya dua tahun setelah UU Tapera diundangkan, yang berarti Maret 2018.
Komite Tapera merupakan komite yang berfungsi merumuskan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolaan Tapera. BP Tapera berfungsi mengatur, mengawasi, dan melakukan tindak turun tangan terhadap pengelolaan Tapera untuk melindungi kepentingan peserta.
Anggota Tapera akan diawali oleh aparatur sipil negara (dulu pegawai negeri sipil atau PNS) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Menurut Menteri PUPR, alokasi anggaran berupa penanaman modal negara sebesar Rp2,5 triliun pada 2018 sebagai modal awal. Karena itu, Tapera akan menjadi ujung tombak utama dalam membantu aparatur sipil negara untuk memiliki rumah sekaligus menjadi faktor pendorong bergairahnya sektor properti.
Dengan mencermati aneka faktor kunci keberhasilan demikian, sektor properti, terutama hunian, akan kian bergairah pada 2018. Ringkas tutur, pemerintah wajib menggeber program tak hanya padat modal, tapi juga padat karya. Hal itu akan sangat bermanfaat untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka pada 2018. (*)