Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Penting untuk Ekonomi Berkelanjutan

Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Penting untuk Ekonomi Berkelanjutan

Jakarta – Pandemi Covid-19 telah mengubah tren dan arah bisnis perekonomian di Indonesia, di mana perekonomian Indonesia menjadi berfokus akan sustainable finance atau ekonomi hijau.

Melihat tren tersebut, PT Bank DBS Indonesia melalui Asian Insights Conference 2021 mengangkat tema ‘Reimagining the Future of Indonesia’, yang salah satunya membahas tentang sustainability agenda bersama dengan Analis Eksekutif Senior Departemen Internasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ahmad Rifqi, Chief Sustainability Officer Bank DBS, Mikkel Larsen dan Kepala Studi Lingkungan, LPEM FEB UI, Dr. Alin Halimatussadiah dalam panel diskusi berjudul ‘The Collaborative Effort in Driving Sustainability Agenda’.

Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna menilai, Indonesia merupakan pasar yang menarik bagi investor dikarenakan demografinya, sumber daya alam, dan populasi umur produktif yang tinggi.

“Indonesia juga mampu mendapatkan keuntungan dari perbaikan ekonomi global, terutama kebutuhan akan sumber daya alam yang tinggi. Kendati demikian, Indonesia masih belum bisa keluar dari ekonomi berbasis sumber daya alam. Oleh sebab itu, kami mengajak para ahli di bidang perekonomian untuk berdiskusi akan peran pemerintah dan swasta dalam berkolaborasi untuk mendorong agenda keberlanjutan atau sustainability,” kata Paulus melalui video conference di Jakarta, Senin 22 Maret 2021.

Dalam kesempatan tersebut Analis Eksekutif Senior Departemen Internasional OJK Ahmad Rifqi juga mengatakan OJK sebagai regulator mendukung sepenuhnya sektor jasa keuangan yang menggabungkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dengan industri keuangan. Namun, hal ini masih belum bisa terlaksana dengan mulus.

Menurut Ahmad Rifqi, mengubah pola pikir para pelaku industri untuk menjalankan ekonomi berkelanjutan ternyata tidak semudah itu. Tantangan yang paling dirasakan dalam mengembangkan ekonomi berkelanjutan adalah awareness yang rendah dari para pelaku industri.

“Berbagai respon cukup bagus, juga dari dunia internasional mendapat sambutan yang positif. Evaluasi masih ada yang harus disempurnakan. Untuk itu kami tetap berharap sektor sektor jasa keuangan berupaya mengadaptasi keuangan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan risiko dari perubahan iklim,” sambung Ahmad Rifqi.

Terkait pelaksanaan perekonomian hijau, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah mengeluarkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan di tahun 2014. Kerangka tersebut berfokus akan keuangan berkelanjutan yang ingin dicapai oleh Indonesia dalam jangka pendek, menengah, dan panjang melalui OJK.

Selain itu, kerangka tersebut dapat menjadi acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Komitmen pemerintah untuk menciptakan perekonomian yang berkelanjutan semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan OJK (POJK) No.60/POJK.04/2017 tentang penerbitan dan persyaratan efek bersifat utang berwawasan lingkungan (green bond).

Setidaknya sudah ada dua roadmap yang sedang dijalankan saat ini, di mana roadmap tahap kedua baru diresmikan pada awal Januari tahun ini oleh presiden. Regulator setidaknya sudah menyiapkan beberapa sub ekosistem pada roadmap tahap kedua ini yang akan dijalankan sampai 2025.

“Kami sudah menyiapkan regulasi produk, market infrastructure, kemudian koordinasi antara kementerian dan lembaga. Sektor yang menjadi arah OJK juga mengikuti sektor yang sudah menjadi prioritas oleh pemerintah,” tambah Ahmad Rifqi.

Melengkapi pernyataan OJK tersebut, Kepala Studi Lingkungan, LPEM FEB UI, Dr. Alin Halimatussadiah juga mengatakan kondisi pandemi seperti yang terjadi sekarang justru membuat regulator dan para pelaku industri semakin gencar untuk melakukan transisi ke ekonomi berkelanjutan. Beberapa negara sudah memulai untuk menjalankan ekonomi hijau, seperti Korea Selatan dan Uni Eropa.

“Kita harus mengarah ke pathway yang lebih green dan sustain. Bukan hanya untuk mendapatkan manfaat lingkungan tapi juga ekonomi yang nantinya bisa menurunkan poverty di Indonesia,” kata Alin.

Menurut dia, langkah green recovery ini akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Untuk itu, setiap pelaku harus lebih jeli melihat sektor apa saja yang bisa dikembangkan termasuk juga dengan caranya. Tentunya ini harus dilakukan dengan studi yang lebih komprehensif.

Alin menjelaskan, beberapa sektor yang bisa disasar untuk green recovery ini adalah renewable energy, pertanian, perhutanan, dan perikanan. Sektor tersebut banyak digeluti oleh masyarakat miskin, ketika sektor tersebut bisa lebih berkembang, maka nilai tambah yang diangkat akan lebih besar.

Sebelumnya, pemerintah telah menyusun green taxonomy sebagai acuan dan kriteria bagi pihak di jasa finansial untuk mendukung ekonomi hijau di Indonesia. Kendati demikian, Chief Sustainability Officer Bank DBS, Mikkel Larsen mengatakan bahwa dalam pelaksanaan green taxonomy, setiap bank harus memiliki sistem yang menunjang perekonomian hijau agar pelaksanaannya dapat diterapkan secara jangka panjang.

Sebagai lembaga keuangan yang kian mendukung agenda pemerintah Indonesia dalam menciptakan perekonomian berkelanjutan, Bank DBS Indonesia sadar bahwa krisis perubahan iklim terus terjadi jika lembaga keuangan tidak ambil bagian dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan dan sosial.

Untuk itu, Bank DBS Indonesia telah mengimplementasikan sustainability dalam praktik bisnisnya sejak tahun 2014. Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Bank DBS Indonesia ialah memperkenalkan Kerangka Kerja dan Skema Keuangan Taksonomi Berkelanjutan yang merupakan kerangka keuangan berkelanjutan pertama di dunia serta telah diimplementasikan di seluruh pasar DBS.

Related Posts

News Update

Top News