Jakarta – Dalam Presidensi Indonesia G20 2022 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada titik krusial dalam proses pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, momentum ini perlu dimanfaatkan agar dapat mencapai target nasional, dengan memprioritaskan transformasi ekonomi yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih maju termasuk di industri asuransi.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) sekaligus Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Riswinandi menyampaikan bahwa, “Sangat penting bagi seluruh industri asuransi memahami pentingnya mendapat kepercayaan dari masyarakat dimasa pemulihan ekonomi nasional ini,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, di Konferensi 8th International Insurance Seminar yang digelar AAUI yang mengusung tema “Capturing Sustainability & Competitiveness: Response to Global Change”, CEO BRI Insurance (BRINS), Fankar Umran menyampaikan bahwa angka penetrasi dan densitas asuransi umum masih tergolong rendah.
Berdasarkan data tahun 2021 menunjukkan insurance penetration rate hanya 0,47% sedangkan angka densitas asuransi sekitar Rp1,82 juta. Hal ini menunjukkan bahwa white space bisnis asuransi umum masih terbuka lebar, suatu peluang pasar yang besar yang perlu mendapatkan perhatian pelaku industri asuransi.
Selain itu, seiring dengan perubahan consumer behavior dan meningkatnya risk awareness pada masyarakat, merupakan potensi untuk memperluas pasar sehingga industri asuransi pun turut berkembang dari waktu ke waktu dan dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.
Untuk mencapai hal tersebut, Fankar menyampaikan, kolaborasi menjadi kunci utama bagi industri asuransi umum, karena pasarnya sudah terbuka, perusahaan asuransi dituntut untuk melakukan market development
“Bagaimana kita menjangkau pasar lebih luas. Untuk menjangkau pasar lebih luas pilihan terbaik adalah kolaborasi. Maka saran saya adalah perkuat kolaborasi, baik kolaborasi dalam ekosistem asuransi maupun dengan ekosistem bisnis lainnya. kolaborasi adalah wujud dari berbagi bisnis sekaligus berbagi risiko,” ujarnya.
Perusahaan asuransi dapat melakukan penetrasi secara masif dan efektif dengan berbagai skema. Pertama adalah D2C (direct to customers) yaitu membuat aplikasi untuk kalangan digital native. Namun, karena model pertama memiliki keterbatasan, maka perlu model kedua yaitu B2B (business to business). Model ini merupakan kerjasama dengan institusi yang memiliki kanal supply chain yang memadai.
Selanjutnya, model B2B2C atau business to business to customers. model ini memungkinkan menjangkau customer lebih luas yaitu potensi customer yang merupakan bagian dari supply chain perusahaan atau institusi. Dengan model bisnis B2B2C customer dapat dijangkau baik secara konvensional maupun secara digital.
Fankar juga menegaskan bahwa pelaku industri asuransi juga perlu memiliki produk yang fit yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui produk yang customize, produk yang Adaptive, Affordable, dan Accessible (Triple A). “Jadi marketnya sangat luas, tetapi menjangkaunya tidak mudah, maka harus kolaborasi,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Fankar juga mengapresiasi langkah OJK karena program-program relaksasi yang dikeluarkan OJK sangat membantu industri asuransi melalui masa-masa sulit pandemi. (*)