Jakarta – Kisruh perbedaan data terkait pangan antara Badan Pusat Statistika (BPS) dan Kementerian Pertanian tengah ramai diperbincangkan. Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mendorong agar pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan bisa ikut mengusut persoalan tersebut.
Direktur PUKAT UGM Zaenal Arifin Mochtar dalam keterangannya di Jakarta, yang dikutip, Jumat 26 Oktober 2018 mengatakan, jika memang ini tindakan memanipulasi data, maka sudah menjadi kewajiban bagi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan untuk turut andil menginvestigasi permasalahan tersebut, kalau memang kuat terindikasi adanya praktik korupsi dibadan kementerian itu.
“Sedeharanan begini, memang ini mengarah ke perilaku korupsi, wajar dalam hal ini KPK harus ikut campur,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, dalM melihat kasus ini sebelumnya harus betul-betul mengkaji bersama-sama dengan saksama, bahwa ada kemungkinan Kementerian Pertanian memanipulasi data atau memang ada indikasi perilaku koruptif dalam masalah tersebut. Menurutnya, semuanya bisa saja terjadi karena memang sektor pangan sangat potensial untuk dimainkan.
“Saya tidak memperhatikan begitu dalam sebetulnya isu ini. Tapi kalau melihat kasusnya, ada dua kemungkinan dapat terjadi,” ucapnya.
Hal senada jug dikemukakan oleh Koordinator Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas. Dirinya mengatakan, bahwa kejadiannya ini harus diivestigasi secara komprehensif. Hal ini sejalan dengan data yang sempat diklaim Kementan berbanding terbalik dengan data yang absah dari BPS. Apa yang terjadi sekarang merupakan sebuah masalah dalam konteks kebijakan nasional.
Hal ini telah menandakan bahwa data yang digaungkan sebelumnya memang tidak komprehensif. “Kalau dikatakan metodenya yang berbeda, kan yang di-sampling dan disurvei itu sama. Apalagi untuk data nasionala, BPS itu kan dibentuk oleh Undang-Undang (UU), memiliki kewenangan untuk mengumpulkan data per instansi dan menjadi pusat data untuk nasional. Data BPS data official loh,” tegas dia.
Untuk itu ICW mendorong pihak yang memiliki wewenang dalam penindakan korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menidaklanjuti. KPK didorong untuk melakukan kroscek menyeluruh secara objektif berdasarkan dua data. Secara umum Kementan juga harus memastikan apakah betul data BPS menunjukkan angka itu, atau memang harus mengakui kesalahan.
Kemudian, di sisi lain, pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat juga sebetulnya bisa mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) untuk melakukan audit komprehensif terkait neraca pangan Indonesia dan bagaimana kinerja penangan pangan Indonesia sehingga dapat didapatkan gambaran awal persoalan. (*)