Jakarta — Djohan Emir Setijoso, Presiden Komisaris PT Bank Central Asia Tbk (BCA) merupakan salah satu bankir legendaris yang telah lama meneggak asam dan garam di dunia keuangan.
Namanya dikenal luas sebagai salah satu tokoh yang menyelamatkan BCA dari hantaman krisis moneter yang terjadi di tahun 1998.
Kala itu, BCA hampir berada di ujung nasibnya. Rasa ketidakpercayaan dari nasabah menghantui BCA sampai beredar rumor kepailitan dan diiringi rush atau penarikan dana secara besar-besaran.
Emir mengisahkan tahun 1998 adalah momen di mana industri perbankan diliputi oleh suasana ketidakpastian. Di tahun itu, Emir yang menjabat sebagai direktur BRI ditugaskan untuk memimpin Tim Kuasa Direksi (TKD) di BCA. Penunjukannya itu tidak lain melaksanakan tugas dan fungsi direksi BCA seiring beralihnya status BCA menjadi Bank Take Over (BTO) oleh pemerintah.
Sejurus kemudian, Emir melakukan tahapan due diligence. Ini dilakukan guna meneliti kekuatan dan kelemahan dari BCA. Proses due diligence memegang peranan krusial dalam menginformasikan keputusan strategis seperti akuisisi, penggabungan, atau investasi.
Baca juga: Djohan Emir “BCA” Setijoso: Jaga Selalu Passion sebagai Bankir
“Jadi menurut saya pada waktu itu BCA basicly merupakan bank yang baik, set up nya bagus, business modelnya bagus. Hanya memang karena kepemilikian saham dan asosiasi dengan penguasa pada waktu itu yang ada pergantian maka terjadi kehilangan kepercayaan atas keberlangsungan bank ini. Dan karena itu terjadi rush,” ujar Emir dalam acara Top 100 CEO & The Next Leader Forum 2023 yang digelar Infobank dan Ikatan Bankir Indonesia(IBI) dikutip 14 Desember 2023.
Rush yang melanda BCA ini tidak lain disebabkan merosotnya rasa kepercayaan nasabah, sehingga banyak di antara mereka yang merasa dana yang ditempatkan di BCA sudah tidak lagi aman. Aksi tarik dana yang dilakukan beruntun itu perlahan membuat BCA kelimpungan. Di satu sisi, likuiditasnya semakin menipis dan di sisi lain kredit bermasalah terus mengancam.
“Jadi yang pertama harus dikembalikan adalah turst. Mengembalikan kepercayaan dari nasabah dan jangan dilupakan kepercayaan dari karyawan-karyawan bank itu sendiri terhadap lembaganya. Jadi dua hal itu yang harus kita kembalikan. Dan hal pertama harus dikenbalika adalah kepercayaan dan ketenagan kerja dari karyawan di bank yang bersangkutan. Tanpa itu tidak mungkin kita mengembalikan kepercayaan dari nasabah,” sambung Emir.
Di tahun itu, Bank swasta terbesar yang didirikan oleh Sudono Salim ini menerima bantuan dari Badan Penyehatan Bank Perbankan Nasional (BPPN). Sejumlah bank seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI) juga ikut mendampingi BCA.
Alhasil, setahap demi setahap, BCA kembali mendapatkan kepercayaan di mata masyarakat. Likuiditasnya berangsur normal dan bergerak dengan cepat.
Sejalan dengan penyehatan itu, Emir Cs memutar otak untuk menjadikan BCA sebagai bank yang profitable dan kuat. Ia kemudian mempelajari business model yang dijadikan penopang. Menariknya, saat itu bisnis model BCA bertumpu pada jaringan untuk menjadi payment settlement agent untuk nasabah-nasabahnya.
“Dan itu kita refocusing kembali. This is our business model yaitu payment settlement agent. Kalau sekarang istilahnya payment settlement platform. Hanya waktu itu kami diluruskan oleh MC Kenzie mengatakan payment settlement agent itu nggak ada yang ada payment transaction banking. Jadi terpaksa kita memakian istilah transaction banking. Kalau waktu itu sudah ada digitalisasi maka kita katakan payment settlement paltform, jadi saya dekat dengan masa sekarang daripada MC Kenzie,” terang Emir.
Di bawah tangan dingin Emir, BCA kembali meraksasa. Statusya BCA yang dulu dijatuhi BTO berbalik menjadi bank yang sehat.
Pada Mei tahun 2000 BCA melakukan pelepasan saham perdana (initial pubic offering/IPO) sedangkan di saat itu ada banyak bank swasta yang masih melakukan restrukturisasi.
“Kita sudah bisa mengembangkan business banking, sedangkan yang lain masih bergulat dengan reorganisasi dan restrukturisasi. Jadi kita bisa mencuri start untuk mengembangkan payment settlement platform,” katanya dengan bangga.
Baca juga: The Art of Leadership in Crisis, Kisah DE Setijoso Selamatkan BCA dari Jurang Krisis 1998
Emir menggunakan 3 jurus jitu dalam upaya menyelamatkan BCA. Pertama, mengembalikan likuiditas. Kedua make the bank profitable again. Ketiga, menjaga profitabilty bank dengan melakukan institution building.
Ia berharap, BCA dapat meraup meraup profit secara berkesinambungan, bukan hanya sesaat (seasonal happening).
“Untuk hal itu harus dilakukan institution building, salah satunya kiblat dari shareholder oriented menjadi stakeholders oriented. Stakeholders lebih luas daripada shareholders,” imbuh Emir.
Sejatinya, bank memang bertanggung jawab terhadap shareholders, namun tanggung jawab lebih besar ada pada nasabah yang menempatkan dana mereka di bank. Oleh sebab itu, kepercayaan nasabah menjadi skala prioritas yang tak boleh disalahgunakan.
Sebagai institusi besar, BCA harus menjaga kepercayaan regulator dengan patuh kepada aturan, termasuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).
“Dan terakhri semua ini bisa [berhasil] jika kita memiliki operational excellence, terutama human resource dan human capital policy itu harus baik. Semua akan percuma kalau human capital kita tidak dimanage secara baik. Kira-kira dengan melaksanakan 3 hal itu yang dapat mengantar BCA mebgatasi krisis dan sampai sekarang dapat bertahan menjadi pilar bagi perekonomian Indonesia dan selalu berada disamping nasabahnya,” tutupnya. (*) Ranu Arasyki Lubis