Jakarta – Dalam industri pembiayaan, keberadaan debitur bermasalah bagaikan duri dalam daging yang menghambat kelancaran operasional perusahaan. Bukannya memenuhi kewajiban pembayaran, sejumlah debitur justru mencari perlindungan melalui organisasi masyarakat (ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) guna menghindari tanggung jawab mereka. Di lapangan, ada istilah “surat sakti” yang dikeluarkan kelompok tertentu untuk melindungi debitur bermasalah itu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, mengungkapkan bahwa praktik semacam ini masih marak terjadi di berbagai daerah dan terus menjadi ancaman bagi industri pembiayaan.
Salah satu modus yang sering dilakukan adalah menghalangi upaya penyitaan kendaraan oleh perusahaan pembiayaan. Saat perusahaan hendak menarik kembali kendaraan dari debitur yang menunggak pembayaran, kelompok-kelompok ini kerap turun tangan dengan berbagai cara.
“LSM atau ormas ini sering kali menghambat proses penyitaan, bahkan menggunakan ancaman fisik dan tekanan sosial di lingkungan sekitar. Akibatnya, perusahaan sulit mengambil kembali aset yang masih menjadi jaminan kredit secara hukum,” ujar Suwandi kepada Infobank, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Perkuat Pembiayaan UMKM, KB Bank Kucurkan Kredit Rp500 Miliar ke Danamas

Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga telah menyebar ke berbagai wilayah lain, bagaikan api yang menjalar di padang ilalang. Keberadaan kelompok-kelompok yang membela debitur bermasalah ini menciptakan tantangan tersendiri bagi industri pembiayaan dalam menjalankan bisnis mereka.
Dampak dari fenomena ini tidak hanya menyulitkan operasional perusahaan pembiayaan, tetapi juga memengaruhi kebijakan pemberian kredit. Perusahaan pembiayaan kini lebih berhati-hati dalam menyalurkan dana dan memperketat persyaratan bagi calon debitur.
“Kami tidak ingin mengambil risiko besar. Proses persetujuan kredit kini lebih ketat, hanya mereka yang memiliki riwayat kredit baik yang bisa mendapatkan pinjaman,” lanjut Suwandi.
Tingginya risiko dalam penarikan aset membuat banyak perusahaan multifinance akhirnya memilih untuk menurunkan target penyaluran kredit. Daripada memperluas bisnis, mereka kini lebih fokus pada menjaga kesehatan portofolio keuangan agar tidak terjerumus dalam lubang hitam kerugian.
Selain itu, meningkatnya perlawanan dari debitur bermasalah juga membuat perusahaan pembiayaan lebih selektif dalam menggunakan jasa debt collector. APPI dan anggotanya memastikan bahwa hanya pihak profesional yang bekerja sesuai prosedur hukum yang akan digunakan. Namun, di lapangan, tantangan tetap ada, terutama ketika harus menghadapi kelompok dengan jaringan luas dan pengaruh besar di daerah tertentu.
Baca juga: Womenomics: Banyak PHK, Wanita Lebih Resilien dan Harus Diberdayakan
Dalam menghadapi permasalahan ini, APPI terus menjalin koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk memastikan hak perusahaan pembiayaan tetap terlindungi. Sayangnya, banyak perusahaan enggan menempuh jalur hukum karena prosesnya yang panjang dan berliku, bak menapaki jalan berbatu.
APPI berharap pemerintah dapat mengambil langkah lebih tegas dalam menangani persoalan ini. Regulasi yang lebih jelas mengenai perlindungan hukum bagi perusahaan pembiayaan dalam mengeksekusi aset jaminan kredit sangat diperlukan. Tanpa dukungan kuat dari pihak berwenang, fenomena ini akan terus menjadi hantu yang menghantui industri multifinance di Indonesia.
Di sisi lain, APPI mengimbau perusahaan pembiayaan untuk meningkatkan mitigasi risiko sejak awal. Selain memperketat seleksi calon debitur, perusahaan disarankan untuk lebih proaktif dalam memantau pembayaran cicilan. Dengan demikian, indikasi gagal bayar dapat terdeteksi lebih dini, sehingga langkah pencegahan dapat segera dilakukan sebelum debitur bermasalah kembali memanfaatkan perlindungan dari ormas atau LSM. (*) Alfi Salima Puteri
Baca laporan selengkapnya di Majalah Infobank No 564 edisi April 2025