Jakarta – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa A. Amanta mengungkapkan penelitiannya soal tingkat ketahanan pangan yang dinilai masih rendah meskipun pertumbuhan ekonomi terhitung pesat dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, ketahanan pangan tak hanya sebatas soal ketersediaan, namun juga soal kualitas dan keterjangkauan.
Felippa menambahkan, isu keterjangkauan pangan masih sering luput dari perhatian ketika berbicara soal pangan. Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (Indeks Ketahanan Pangan Global) 2018 dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di posisi 65 dari 113 negara. Jika diselidiki lebih dalam pada tiap indikator, Indonesia berada di posisi 58 untuk indikator ketersediaan, namun berada di posisi 63 untuk indikator keterjangkauan.
Memang, berdasarkan data BPS 2014-2019, jumlah PDB untuk sektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian mencapai Rp880,4 triliun pada tahun 2014 dan terus meningkat. Jumlah ini meningkat pada 2015 hingga 2018 dengan rincian sebesar Rp906,8 triliun pada 2015, Rp936,4 triliun pada 2016, Rp969,8 triliun pada 2017 dan mencapai Rp1.005,4 triliun pada tahun 2018.
Tapi di sisi lain, berdasarkan data dari Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian 2019, masyarakat masih menghadapi harga pangan yang tidak bersahabat. Pengeluaran untuk bahan makanan terus meningkat sebesar 10% sejak 2016 hingga 2018. Hal ini dapat diatribusikan ke dua faktor, yaitu peningkatan konsumsi masyarakat dan peningkatan harga,” jelasnya.
Penelitian CIPS yang berdasarkan data harga BPS dan World Bank menunjukkan harga beras di Indonesia terus meningkat 26% sejak 2014 hingga sekarang. Padahal peningkatan harga di pasar internasional hanya mencapai 12%. Walaupun tersedia, rupanya pangan di Indonesia masih kurang beragam, tidak merata dan tidak terjangkau.
“Tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin. Mereka bisa menghabiskan 50% hingga 70% dari pendapatannya hanya untuk membeli makanan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga memengaruhi pola konsumsi,” jelas Felippa.
Berdasarkan hasil penelitian CIPS, kenaikan harga beras sebesar Rp1.000 dapat mengurangi konsumsi beras sebesar 0,67 kg. Hal ini menyebabkan risiko tidak terpenuhinya Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebesar rata-rata 2.150 kilo kalori. Tidak tercukupinya nilai AKG yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2013 ini dikhawatirkan berkontribusi terhadap tingginya risiko malnutrisi dan stunting di Indonesia.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya harga pangan. Beberapa di antaranya adalah tantangan-tantangan produksi pertanian, seperti perubahan iklim dan cuaca, infrastruktur irigasi yang belum memadai, kurangnya sumber air bersih, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, kurangnya SDM dan rendahnya produktivitas pertanian.
Jelas masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk meningkatkan ketahanan pangan kita, terutama dari segi keterjangkauan. Untuk meningkatkan ketahanan pangan, Felippa berpendapat bahwa perlu adanya sinergi kebijakan dari berbagai pemangku kebijakan.
“Tidak ada satu kebijakan yang dapat menghasilkan ketahanan pangan begitu saja. Dibutuhkan serangkaian kebijakan dari beberapa sektor, seperti pertanian, perdagangan, perindustrian dan sosial untuk mencapainya. Ketahanan pangan hanya bisa dicapai melalui kerja sama menuju satu visi yang selaras,” tegasnya. (*) Evan Yulian Philaret