Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membentuk Steering Committee untuk mengimplementasikan PSAK 74, dimana pada Februari lalu telah dilaksanakan rapat untuk membahas beberapa isu strategis terkait industri asuransi, diantaranya terkait High-Level Roadmap dan output persiapan implementasi PSAK 74.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan bahwa harapan dari penerapan PSAK 74 yang diadopsi dari IFRS 17 adalah dapat mengatasi isu asymmetric information yang menyulitkan para stakeholder terkait.
“Baik konsumen, investor, dan juga regulator, untuk mendapatkan gambaran yang benar dan lengkap mengenai kondisi keuangan dan kinerja operasional perusahaan asuransi,” ucap Ogi beberapa waktu lalu.
Keberadaan Steering Committee dimaksud diharapkan dapat memberikan solusi dan/atau kebijakan yang dibutuhkan untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi pada level teknis operasional.
Selain itu, disampaikan juga beberapa program kerja yang telah dijalankan oleh working group implementasi PSAK 74 yang telah berjalan selama tahun 2022, khususnya penyusunan gap analysis untuk mengidentifikasi kesiapan para pelaku industri asuransi nasional.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Bern Dwyanto mengatakan bahwa per Oktober 2022 sebanyak 22% anggota AAUI mulai menerapkan secara dini terkait dengan PSAK 74.
“AAUI menghimbau agar perusahaan multinasional yang akan mulai implementasi di tahun 2023 ini mengikuti induk perusahaannya, untuk dapat membagikan pengalaman dalam hal persiapan PSAK 74,” ucap Bern kepada Infobanknews dikutip, 15 Maret 2023.
Bern menambahkan bahwa, AAUI sudah mempersiapkan timeline dan roadmap menuju implementasi PSAK 74, sehingga diharapkan pada saat nantinya akan berlaku di tahun 2025 seluruh anggota sudah siap.
AAUI pun memberikan dukungan penuh kepada anggota untuk persiapan implementasi PSAK 74 dalam segala hal termasuk dalam melakukan berbagai program untuk mendukung implementasi PSAK 74, diantaranya dengan melakukan kegiatan sosialisasi dan pelatihan, serta pengembangan sistem bersama untuk mendukung kesiapan infrastruktur perusahaan asuransi.
“Ini diperlukan dalam mempersiapkan semua hal agar pada waktunya nanti, PSAK 74 dapat diterapkan dengan baik,” imbuhnya.
Meski begitu, Pengamat Asuransi Kupasi, Wahju Rohmanti, menilai bahwa perkembangan penerapan PSAK 74 di Indonesia terkesan lambat, dimana masih terdapat tiga masalah utama yang terjadi.
“Pertama, karena dalam tiga tahun terakhir industri asuransi masih menghadapi masalah-masalah defaultnya perusahaan-perusahaan asuransi, sebagian besar terkait produk-produk terkait investasi baik paydi,saving plan maupun bancassurance,” ucap Wahju kepada Infobanknews.
Ia menambahkan bahwa, kegagalan produk-produk tersebut dikarenakan perusahaan asuransi dalam pengelolaan produk-produk tersebut masih belum melakukan segregasi antara aset sendiri dengan aset milik nasabah. Sementara PSAK 74 mengharuskan segregasi baik di sisi aset maupun kewajiban.
Kemudian yang kedua adalah manajemen perusahaan asuransi masih belum siap menghadapi kenyataan turunnya nominal pendapatan dan aset. Padahal dalam PSAK 74, perusahaan asuransi dipaksa untuk menjadi fee base income company yang hanya boleh membukukan margin produk sebagai income.
“Padahal sebelumnya mereka bisa mengakui pendapatan premi dan hasil investasi sebagai income. Sebaliknya di sisi aset, perusahaan asuransi tidak bisa lagi memasukkan dana milik nasabah menjadi aset perusahaan asuransi, sehingga aset tentu akan turun drastis,” imbuhnya.
Adapun, hal terakhir yang menghambat adalah ketidaksiapan pemilik untuk menambah modal. Perusahaan asuransi tidak siap dengan konsekuensi biaya ataupun tambahan modal untuk mendevelope sistem otomasi.
“Karena PSAK 74 mengharuskan perusahaan asuransi mengupdate valuasi kewajiban secara periodik dan per klaster produk, per nasabah, yang tentu kalau dikerjakan manual sangat memakan waktu,” ujar Wahju.
Sehingga, perusahaan asuransi harus menyediakan sistem otomasi atau opsi lainnya dengan menambah skill dan kuantitas human resources atau SDM-nya untuk mendukung hal tersebut, terutama SDM di bidang akuntansi, aktuaria dan manajemen risiko, serta investasi.
“Namun demikian perusahaan asuransi terutama pemilik dan manajemennya mau tidak mau harus segera mengimplementasikan PSAK 74 ini karena di negara-negara lain bahkan di negara asia telah meratifikasi IFRS17 ini,” tambahnya.
PSAK 74 juga bertujuan dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi yang dalam beberapa tahun ini tersandung kasus-kasus, seperti kasus gagal bayar.
“Menurut pendapat saya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat maka dibutuhkan willingness dari pelaku dan regulator. Kedua, perusahaan asuransi harus kembali ke khittahnya, yaitu menjual proteksi murni. Jangan lagi menjual produk-produk yang merambah industri lain seperti paydi (industri manajemen investasi/dapen) dan bancassurance (perbankan),” kata Wahju.
Jika nantinya, perusahaan asuransi tetap ingin menjual paydi dan bancassurance, maka perlu menerapkan PSAK 74. Namun demikian implementasi PSAK 74 ini seharusnya menjadi tanggung jawab asosiasi dan regulator untuk mempunyai willingness yang kuat agar pelaku industri menaati. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra