Porsi Simpanan Orang Kaya Makin Besar
Oleh: Eko B Supriyanto
Jakarta – Kesenjangan ada dimana mana. Tak hanya pada penguasaan tanah, aset, pendapatan, tapi juga kesenjangan simpanan masyarakat.
Dana masyarakat setahun terakhir ini (2017) hanya tumbuh sekitar 11 persen. Namun mencermati kelompok penabung, ternyata simpanan orang kaya secara rata-rata meningkat dan simpanan masyarakat bawah makin cekak. Itulah yang membuat simpanan makin senjang.
Apa yang terjadi? Orang-orang kaya yang punya simpanan di atas Rp2 miliar makin tajir saja, walau beberapa diantaranya secara cash flow terkena dampak pembayaran tax amnesty yang menguras simpanan.
Sejatinya, kesenjangan ini bukan baru sekarang terjadi, tapi sudah sejak sebelum krisis tahun 1998. Namun pada tiga tahun terakhir ini, penguasaan simpanan kelompok pemilik simpanan besar makin jumbo dengan porsi 47,9 persen — yang sebelumnya tahun 2014 masih 45 persen.
Data yang dihimpun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diolah oleh Biro Riset InfoBank (birI) ini menunjukan bahwa simpanan kelompok pemilik dana di bawah Rp100 juta makin mengecil, sementara pemilik rekeningnya makin banyak.
Secara jumlah rekening, tiga tahun sejak 2015, program inklusi keuangan yang digagas OJK periode sebelumnya jujur saja berhasil, yakni dengan menambah 61,7 juta rekening menjadi 224,8 juta rekening dari 164,1 juta rekening.
Namun penambahan jumlah rekening tidak berpengaruh pada porsi simpanan, bahkan sedikit turun. Pada September 2017 dari 224,8 juta rekening dengan jumlah simpanan Rp723,336 triliun dengan porsi 13,84 persen, (porsinya) menurun dari dua tahun sebelumnya sebesar 13,95 persen.
Sementara pemilik simpanan dengan saldo Rp2 miliar ke atas makin membesar menjadi 57,46 persen dari 55,05 persen di tahun 2015. Jumlah rekening pemilik dana jumbo ini hanya 249.325 ribu rekening dengan penguasaan dana Rp 3.002 triliun.
Sementara jika dirata-ratakan, saldo masing masing kelompok makin miris. Untuk kelompok pemilik rekening di bawah Rp100 juta ini sesungguhnya saldo rata-rata nya Rp3,2 juta. Lebih miris lagi saldo itu mengecil jika dibandingkan dengan periode tahun 2015 yang rata rata saldo mencapai Rp3,8 juta.
Jangan bandingkan dengan pemilik rekening diatas Rp2 miliar sampai Rp5 miliar. Rata-rata saldonya mencapai Rp3,13 miliar. Angka ini naik tipis jika dibandingkan dengan angka tahun 2015 yang mencapai Rp3,10 miliar.
Nah, kalau disandingkan dengan pemilik rekening di atas Rp5 miliar tentu makin bikin geleng-geleng kepala karena rata rata angkanya per rekening Rp27,7 miliar. Dua tahun sebelumnya angka itu masih Rp26,9 miliar.
Jika demikian halnya, angka-angka tersebut menyimpan bom waktu yang daya ledaknya besar. Problem likuiditas menjadi laten karena penguasaan yang penuh kesenjangan. Orang-orang kaya makin kaya dan pemilik rekening di bawah Rp100 juta pun saldonya makin mengecil.
Jika saldo makin mengecil, maka bisa jadi banyak yang dibelanjakan. Tapi, karena konsumsi masyarakat melambat bisa jadi masyarakat sedang menguras tabungannya.
Sementara sisi lain, jika terjadi kegocongan terhadap bank-bank, maka akan terjadi fligt to quality — dana berpindah ke bank-bank yang dinilai lebih baik — bisa terbang ke luar negeri. Dan, dalam hitungan 5 hari, jika terjadi krisis, bank-bank akan dihauskan likuiditas karena dana-dana akan cepat terbang. Apalagi, orang orang kaya umumnya mempunyai lebih dari tiga rekening. Jadi, kalau jumlah rekening di atas Rp5 miliar sebanyak 90.356 rekening, sejatinya hanya 20 ribu nama dengan penguasaan Rp2.090 triliun atau 47,9 persen
Kesenjangan ini mudah-mudahan menjadi signal kita semua. Sesungguhnya masalah kita adalah masalah likuiditas, masalah kesenjangan ekonomi dan sudah bukan lagi masalah politik yang membuat ekonomi “lelah” sendiri.
Lampu merah terhadap kesenjangan tanah, jurang kaya miskin dan disparitas simpanan yang makin lebar. Dan, semua itu adalah bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Indonesia perlu strategi pembangunan yang berbeda agar tidak terjadi kesenjangan yang makin lebar.(*)