Jakarta – Kenaikan BI 7-day reverse repo rate di tahun 2019 dipresiksi berpotensi berakhir, seiring arah Fed rate yang menjadi lebih dovish serta tekanan pada nilai tukar rupiah yang mulai mereda.
Kendati demikian, kata Doddy Ariefianto, Direktur Group Surveilans dan Stabilitas Sistem Keuangan LPS, arah kebijakan moneter diperkirakan masih tightening bias dan belum terindikasi melonggar dalam waktu dekat di tengah masih adanya risiko volatilitas di pasar keuangan dan risiko persistensi defisit neraca berjalan.
“Lebih lanjut, suku bunga antar bank
(JIBOR) diperkirakan juga akan stabil, dipengaruhi oleh dinamika kondisi
likuiditas antar bank dalam penyaluran kredit serta recovery pertumbuhan
di sisi simpanan,” kata Doddy, Kamis, 25 April 2019.
Sebelumnya, Kepala Ekonom BNI, Ryan Kiryanto juga memprediksi Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI7DRRR di level 6%. Hal tersebut mempertimbangkan beberapa faktor baik eksternal dan internal.
Dari faktor eksternal, kata Ryan diyakini arah gerak fed fund rate (FFR) semakin longgar atau dovish dimana The Fed tidak lagi agresif menaikkan FFR (bahkan FFR akan bertahan di level 2,25-2,50% hingga akhir 2019) mengingat sudah ada indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi AS di bawah 3% (tahun ini berkisar 1,9-2,1%) disertai laju inflasi mendekati 2% (tepatnya 1,9%).
“Pilihan The Fed ada dua, antara menahan FFR di level saat ini yg 2,25%-2,50% hingga akhir tahun 2019 atau menurunkan FFR hanya sekali sebesar 25 bps menjadi 2,0%-2,25% hingga akhir tahun 2019. Banyak ekonom di AS menghendaki FFR turun 25 bps menjadi 2,0%-2,25% hingga akhir tahun 2019 untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi AS menuju 3% lagi. Sejumlah bank sentral di dunia juga sudah menurunkan suku bunga acuannya (BOJ, PBOC, BNM, ECB),” jelas Ryan di Jakarta, Rabu, 24 April 2019.
Sementara dari faktor internal, lanjutnya BI dan pemerintah memiliki stance yang sama, yakni stability over growth (memprioritaskan stabilitas seraya menjaga momentum pertumbuhan) sehingga pilihan paling rasional dan strategis adalah RDG BI tetap menahan BI7DRRR di level 6%. Juga deposit facility dan lending facility di level yang tetap.
Level bunga acuan yang 6% saat ini sesungguhnya ujar dia sudah priced in atau factored in dimana level 6% ini sudah mempertimbangkan peluang FFR bertahan di level sekarang ini hingga akhir 2019 ini.
Lebih jauh tambahnya, langkah BI yang tahun 2018 lalu secara agresif menaikkan BI7DRRR sebesar 175 bps dari 4,25% ke 6% merupakan langkah preemptive dan ahead the curve yang tepat mengiringi kenaikan FFR 100 bps pada saat itu, sehingga jika RDG BI saat ini tidak menaikkan BI7DRRR alias tetap 6% sebagaimana RDG 21-22 Maret 2019 lalu adalah langkah tepat.
“Keputusan ini bisa membantu penguatan daya tahan ekonomi Indonesia terhadap tekanan eksternal (trade war, risiko geopolitik, perlambatan ekonomi global, melemahnya harga komoditas dan Brexit), menjaga stabilitas makro ekonomi, khususnya rupiah, dan mempertahankan daya tarik investor asing untuk memegang aset dalam rupiah karena lebih atraktif. Juga membantu masuknya dana asing atau capital inflows yang dapat menguatkan kurs rupiah, IHSG di BEI serta memperkecil defisit transaksi berjalan (CAD) mendekati 2% dari PDB. Momentum pertumbuhan pun masih bisa dikelola dgn baik,” terangnya. (*)