Moneter dan Fiskal

Kenaikan PPN Digugat, Begini Kata Bos Pajak

Jakarta – Pasal 7 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) digugat oleh pemohon ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon menilai, Pasal 7 ayat 3 UU HPP tersebut perlu diubah bunyinya agar batas minimum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diturunkan menjadi 0 persen dan batas maksimal tidak lebih dari 10 persen.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan, aturan mengenai perubahan tarif PPN dalam rentang 5 persen hingga 15 persen sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat 3 UU PPN bukanlah hal baru.

Bimo menjelaskan, ketentuan tersebut telah ada sejak UU PPN 1983 yang terus mengalami penyempurnaan dengan keterlibatan Dewan Perwakilan rakyat (DPR), melalui perubahan pertama dalam UU HPP Nomor 11 tahun 1994.

“Dengan menambahkan pasal 7 ayat 4 justru memberikan penegasan pentingnya akuntabilitas dan keterwakilan rakyat melalui representasi DPR,” kata Bimo di Sidang Pleno Perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025, dikutip pada Senin, 30 Juni 2025.

Baca juga: Sri Mulyani Perpanjang Insentif PPN Rumah Tapak dan Satuan Rusun, Ini Keuntungannya

Bimo menyebutkan, setiap perubahan tarif PPN akan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Selain itu, perubahan juga wajib dibahas bersama DPR untuk disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang menunjukkan adanya mekanisme kontrol fiskal dan akuntabilitas yang jelas.

“Artinya perubahan tarif PPN tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu tanpa mempertimbangkan dinamika ekonomi nasional dan atau evaluasi kebutuhan dana fiskal yang meningkat untuk pembangunan,” ungkapnya.

Risiko Kekosongan Hukum dan Dampaknya

Bimo menekankan, penolakan terhadap pasal-pasal yang mengatur tarif PPN justru berisiko besar terhadap stabilitas hukum dan perekonomian.

Jika uji materi terhadap Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) dikabulkan, maka akan terjadi kekosongan hukum mengenai tarif PPN, sehingga negara tidak memiliki dasar hukum untuk memungut PPN atas Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). 

Baca juga: Penerimaan Pajak 2025 Berpotensi Shortfall hingga Rp140 Triliun

Bimo menilai, hal tersebut berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan negara dalam jumlah besar dan berdampak sistemik terhadap keuangan negara.

“Apabila permohonan uji materi pasal 7 ayat 3 ayat 4 UU PPN aquo dikabulkan maka akan mengurangi fleksibilitas pemerintah dan DPR dalam mengatur tarif PPN yang tepat untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika ekonomi sosial dan lingkungan karena penyesuaian tarif PPN harus dilakukan melalui mekanisme perubahan undang-undang yang lebih kompleks,” tandasnya. (*)

Editor: Yulian Saputra

Irawati

Recent Posts

Diduga Sebar Data Debitur, Komdigi Minta Google Hapus 8 Aplikasi “Mata Elang”

Poin Penting Komdigi ajukan delisting delapan aplikasi yang diduga menyalahgunakan data nasabah pembiayaan kendaraan bermotor… Read More

2 hours ago

Jasa Armada Indonesia (IPCM) Bagikan Dividen Interim Rp23,25 Miliar, Catat Tanggalnya!

Poin Penting IPCM bagikan dividen interim tahun buku 2025 sebesar Rp4,40 per saham atau total… Read More

11 hours ago

Transfer ke Daerah Capai Rp795,6 T hingga November 2025, Turun 0,3 Persen

Poin Penting TKD hingga November 2025 terealisasi Rp795,6 triliun atau 91,5 persen dari pagu APBN,… Read More

12 hours ago

RUPSLB Geoprima Solusi (GPSO) Setujui Susunan Baru Direksi, Komisaris, dan Remunerasi

Poin Penting RUPSLB GPSO menyetujui perubahan susunan direksi dan dewan komisaris, termasuk pengunduran diri empat… Read More

12 hours ago

Sepak Terjang Zulkifli Zaini yang Diangkat Jadi Komut Bank Mandiri

Poin Penting RUPSLB Bank Mandiri pada 19 Desember 2025 resmi mengangkat Zulkifli Zaini sebagai Komisaris… Read More

12 hours ago

RUPSLB Bank Mandiri Rombak Komisaris, Ini Susunan Lengkapnya

Poin Penting RUPSLB Bank Mandiri (BMRI) 19 Desember 2025 memutuskan perombakan jajaran dewan komisaris, sementara… Read More

13 hours ago