Jakarta – Ekonomi global masih dihantui ketidakpastian. Hal ini bisa dilihat dari kualitas pertumbuhan ekonomi pada sejumlah negara kekuatan ekonomi global, seperti Tiongkok, yang masih menunjukkan perlambatan. Tiongkok sendiri adalah mitra dagang utama banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, Febrio Kacaribu, menyampaikan bahwa negara-negara kekuatan ekonomi dunia sangat berpengaruh bagi dinamika perekonomian Indonesia, termasuk di antaranya yang paling sering dipantau adalah kondisi ekonomi di Tiongkok.
“Pertumbuhan ekonomi di Tiongkok tahun ini, kemarin baru sidang dari partai, katanya kalau bisa mencapai 5 persen itu sudah optimistik untuk 2024. Namun, 2025 tampaknya tak akan sebaik 2024 untuk Tiongkok. Jadi, ini merupakan poin bagi kita untuk antisipasi,” ujar Febrio saat menghadiri acara Market Outlook 2nd Half 2024 yang diadakan oleh KISI Asset Management di Jakarta, Rabu (17/7).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, Indonesia yang adalah negara utama pengekspor batubara, crude palm oil (CPO), dan iron ke Tiongkok, harus memerhatikan kondisi perlambatan ekonomi Tiongkok secara serius dan lebih detail. Misalnya, seperti sektor manufaktur apakah ikut terdampak atau tidak.
Baca juga: BKPM Sebut Hilirisasi Mesin Pendongkrak Ekonomi, Ini Alasannya
“Kalau pertumbuhan ekonominya melambat itu sisi mananya, apakah sektor manufakturnya juga akan melambat atau tidak. Tampaknya tidak, kalau sektor manufakturnya tetap bisa lanjut, maka produk-produk yang bisa kita kirim ke sana, di mana harapannya bukan lagi produk mentah, namun produk jadi atau hilirisasi. Sehingga, nilai tambahnya lebih besar,” jelasnya.
Ia mencontohkan beberapa produk yang telah dihilirisasi secara sukses seperti produk nikel dan turunannya yang juga sudah diekspor, yakni nickel iron dan nickel martin, serta beberapa aloi (logam campuran) dari iron yang dicampur. Ia terangkan, bila dibandingkan dengan 10 tahun lalu, nilai ekspor RI untuk produk nikel dan turunannya, itu hanya sekitar USD1 juta sampai USD2 juta.
10 tahun kemudian, nilai ekspor produk nikel dan turunannya adalah sekitar USD20 juta. Ia mengatakan, itulah manfaat dari produk hilirisasi yang pemerintah Indonesia dorong secara porsi. Hal yang sama juga diterapkan pada produk tembaga, di mana tembaga selama ini diekspor dalam bentuk konsentrat.
Konsentrat itu diekspor ke Jepang maupun Tiongkok dengan nilai USD9 miliar setahun. Namun, pemerintah Indonesia lalu meminta untuk dibuatkan smelter untuk memproduksi katoda, yang mana nilai katoda dengan konsentrat bernilai tambah tak jauh beda dengan produk mentahnya.
“Tetapi good news dari konsentrat tembaga kita banyak kandungan emas dan peraknya, sehingga ketika kita minta supaya smelter katoda dibangun di Indonesia, mereka juga sadar bahwa mereka juga harus bangun smelter untuk emas dan peraknya. Maka, diharapkan dari estimasi kita, kalau tadi USD9 miliar per tahun untuk konsentrat saja, dengan di-smelting dan menghasilkan produk emas serta perak, totalnya bisa mencapai dua kali lipat dalam setahun,” papar Febrio.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Maluku Utara Tumbuh Double Digit, Berkat Hilirisasi Jokowi?
“Inilah bentuk konkret dari policy yang kita desain supaya menghasilkan nilai tambah yang sebanyak-banyaknya diproduksi di Indonesia dan tentunya menghasilkan stabilitas makro at the end,” pungkas Febrio.
Ke depannya, bahkan pihaknya berencana untuk menggalakkan investasi terhadap proyek data center, listrik, dan energi hijau. Mengingat, kapitalisasi market di sektor terkait menjadi yang terbesar, dan terus meningkat pesat dewasa ini. (*) Steven Widjaja