Dia meminta agar pemerintah terus mengampanyekan ke kancah internasional bahwa pengelolaan kelapa sawit Indonesia tidak menganggu stabilitas alam berdasarkan fakta dan data akurat. Selain itu, juga perlu disampaikan bahwa Indonesia siap berkerjasama dalam perdagangan kelapa sawit global guna kepentingan ekonomi nasional.
“Namun yang harus di catat bahwa tetap pasokan kebutuhan dalam negeri harus lebih besar daripada ekspor,” ucap Ferdiansyah.
Banyak bentuk yang dilakukan negara-negara global dalam kepentingan ekonominya di sektor kelapa sawit, khususnya Indonesia sebagai produsen. Fediansyah mencontohkan, tekanan mengubah kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) ke Rountabel for Suistanable Palm Oil (RSPO) adalah salah satunya.
“Kalau kebijakan diubah kan Indonesia akan terganggu industri kelapa sawitnya sehingga tidak mampu bersaing di level perdagangan global. Pada akhirnya, harus bernegosiasi ekonomi politik dengan negara asing kemudian membuat kita di bawah dominasi mereka,” kata Ferdiansyah.
Sebelumnya, Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) merilis data bahwa ekspor kelapa sawit nasional Januari hingga Agustus 2016 mencapai 28 juta ton ke sebanyak 26 negara. Jumlah tersebut semakin meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu hanya menembus ekspor ke 13 negara.
Diketahui, industri kelapa sawit Indonesia memang kerap di kampanyekan tidak ramah lingkungan oleh LSM asing. Tetapi berdasarkan data Kementerian Luar Negeri tentang daftar resmi LSM luar negeri yang beroperasi dan bekerjasama dengan pemerintah tahun 2016, isu dilontarkan LSM tersebut justru berasal dari lembaga tidak terdaftar.(*)