Jakarta – Musim kemarau berkepanjangan di tahun ini sudah menyebabkan kekeringan di beberapa wilayah Nusantara. Kondisi ini telah mengganggu produktivitas hasil tanaman pangan, khususnya padi yang masa tanamnya bisa mencapai tiga kali setahun.
Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus mengatakan, musim kemarau panjang yang tengah melanda Indonesia pada tahun ini sangat mungkin mengancam kedaulatan pangan. Pasalnya, kemarau panjang telah membuat paceklik di banyak tempat di Pulau Jawa. Padahal, salah satu pulau utama di Indonesia menyumbang sekitar 60% dari total luas lahan pertanian di Indonesia.
“Ada risiko gagal panen yang lebih besar. Kekeringan itu akan menyebabkan harusnya produksinya satu ton, ini jadi setengahnya. Makin jauh dari optimal,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 11 Oktober 2018.
Berdasarkan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko kekeringan di Indonesia mencapai 11,77 juta hektare tiap tahunnya. Di mana kekeringan tersebut sangat mungkin menimpa 28 provinsi yang ada di Nusantara.
Terpisah, Akademisi dari Fakultas Pertanian UGM Andi Syahid Muttaqin mengatakan, kondisi musim kemarau di Indonesia pada tahun ini memang sangat unik. Bagian utara Khatulistiwa memang tidak mengalami musim kemarau berkepanjangan. Bahkan saat ini sudah memasuki musim hujan. Namun, daerah selatan Indonesia yang dekat dengan Australia justru mengalami musim kemarau dengan tingkat yang parah dan lama.
Kondisi ini, kata dia, tidak terlepas dari fenomena alam berupa Munson India. “Munson India itu pengaruhnya ke musim kemarau Indonesia. Saya pantau, indeks Munson India itu tahun ini lebih kuat dari normalnya. Normalnya 10 mps, tahun ini mencapai 15 mps, bahkan ada yang sampai 17 mps,” tutur pakar agroklimatologi ini.
Musim kemarau yang panjang di 2018 ini, pada akhirnya berimbas ke produksi tanaman pangan, khususnya padi. Soalnya, kemarau berimbas mulai dari mengeringnya sumber air yang tampak hingga berkurang drastisnya kandungan air dalam tanah. Diperkirakan musim kemarau panjang karena Munson India ini bisa berakhir di 10 harian pertama bulan November.
Namun sayangnya, di saat bersamaan, pada waktu yang sama sudah muncul siklus El Nino yang mengurangi intensitas curah hujan, dibandingkan musim-musim hujan yang lalu. “Hujannya akan lebih tipis. Ada El Nino yang kira-kira terjadi November sampai Maret 2019 nanti,” ungkapnya.
Untuk itulah, dirinya meminta pemerintah bisa mengantisipasi kondisi ini. Dengan rentetan musim kemarau yang dilanjutkan El Nino, pertanian pangan bisa makin terdampak. Di mana, pada bulan November hingga Maret biasanya merupakan masa tanam hingga panen raya pertama untuk padi. Selain faktor cuaca, produksi pangan sebenarnya juga masih harus mengahadapi risiko kurangnya sarana dan prasarana yang bisa menunjang produktivitas pertanian.
Salah satu sarana dan prasarana yang belum menunjang produktivitas pertanian adalah saluran irigasi yang memadai di Indonesia. Adapun, sampai tahun 2014 saja, luas lahan pertanian yang memiliki sumber air dari irigasi hanya sekitar 797,97 ribu hektare. Angka ini hanya 11% dari total lahan pertanian di Indonesia yang mencapai 7,23 juta hektare.
Bahkan sampai 2019, diproyeksikan luasan lahan pertanian yang bisa teraliri air dari irigasi hanya 20% dari total luas lahan pertanian nasional. Padahal sambung Heri, irigasi menjadi salah satu infrastruktur yang urgen dalam pembangunan pertanian. Hal ini khususnya untuk tanaman pangan seperti padi dan jagung yang memiliki beberapa masa tanam dan panen dalam setahun. Sebab, sangat mungkin masa tanam tiba ketika bukan musim penghujan.
“Jadi memang posisi irigasi stanby bisa digunakan setiap saat. Tapi kalau cuma 20% adanya, ini bisa menganggu produktivitas,” tutupnya. (*)