Jakarta – Keputusan Presiden Prabowo Subianto melakukan relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dinilai sebagai langkah realistis dalam menanggapi tarif impor AS kepada Indonesia sebesar 32 persen.
Anggota Komisi VII DPR RI Rycko Menoza mengatakan, tidak semua barang yang diproduksi dari dalam negeri bisa digunakan untuk produk-produk tertentu.
“Jadi ini ya tantangan mudah-mudahan bisa semakin mendewasakan produk-produk lokal. Terutama kita jangan tergantung dengan pasar Amerika, sehingga ini tantangahn kita hdapai bersama,” ujar Rycko, dikutip Senin, 14 April 2025.
Karena itu, ia berharap, meskipun AS memutuskan penundaan kenaikan tarif BMI tersebut hingga 90 hari mendatang, namun hal itu dapat menjadi tantangan untuk Indonesia agar mampu bersaing dengan produksi negara, misalnya China, yang berkualitas relatif baik dengan harga lebih terjangkau.
Baca juga : Prabowo Usul TKDN Diganti Insentif untuk Jaga Daya Saing
“Jadi, saya kira ini masih berjalan (dinamis). Kita juga akan meminta solusi dari pemerintah. Karena ini kan tentu akan terjadi banyak PHK, karena dengan kondisi sekarang akan banyak perusahaan terkena imbas. Sehingga, kita menunggu bagaimana perkembangan presiden kembali ke Indonesia, sehingga kita berharap ini bisa diatasi secara cepat,” pungkas Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Dalam acara Sarasehan Ekonomi yang diselenggarakan pada Selasa (8/4/2025) lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan mengubah aturan terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Menurut Presiden, kebijakan ini membuat Indonesia menjadi tidak kompetitif dalam lanskap ekonomi internasional.
Baca juga : 6 Alasan DPR Tolak Relaksasi Kebijakan TKDN
Secara singkat, di bawah rezim TKDN, produk-produk yang dijual di Indonesia sebagian harus diproduksi di Indonesia. Saat ini, batas minimal yang ditetapkan oleh pemerintah ialah 25 persen. Bahkan, di beberapa produk, seperti kendaraan listrik roda dua, tingkat TKDN ditarget mencapai 80 persen.
Dalam perspektif yang lebih luas, aturan TKDN ini bisa dilihat sebagai hambatan dagang non-tarif (non-tariff barrier/NTB).
Data dari World Bank menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki sejumlah batasan perdagangan, termasuk ketatnya aturan terkait dengan otorisasi, lisensi, perizinan, dan inspeksi untuk kepentingan ekspor impor. Jika dihitung, sejumlah aturan ini menghambat perdagangan dengan nilai sekitar Rp 8 triliun tiap tahunnya. (*)
Editor: Galih Pratama