Jakarta – Sejak awal berdiri, tugas utama PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) adalah menyewakan lahan untuk kawasan industri. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, sejak terjadinya pergantian direksi, banyak hal yang berubah dan KBN tidak lagi bekerja sesuai dengan tugas utamanya.
‘’Direksi yang sekarang ini, membangun rumah sakit, yang itupun sampai sekarang tidak beroperasi, utang semakin menumpuk sehingga mempengaruhi kinerja keuangan, padahal KBN itu tidak mengerti tentang pelabuhan. Karena itu KBN agar segera kembali ke core business-nya, yaitu penyewaan tempat dan lahan,” ujar salah satu pendiri KBN Yustian Ismail, seperti dikutip di Jakarta, Kamis, 4 Juli 2019.
Dirinya mengungkapkan, dalam perjalanannya, KBN terbilang sukses menyewakan tanah atau gedung pabrik kepada sekitar 150 perusahaan besar termasuk Adidas. Ketika itu, total jumlah karyawannya sekitar 400 orang, dan total jumlah buruh yang bekerja di kawasan tersebut pernah mencapai 150.000 orang.
Menurut Yustian, terkait sengketa antara KBN dan KCN, tidak ada hukum yang dilanggar oleh KCN dalam membangun pelabuhan. Sebaliknya, pembangunan tersebut justru akan sangat membantu kelancaran kegiatan lalu lintas barang, terutama ekspor, impor dan perdagangan dalam negeri, yang akhirnya menguntungkan perekonomian Indonesia.
“KCN tidak membangun pelabuhah di atas lahan KBN. Lahan yang dijadikan pelabuhan iru merupakan hasil reklamasi. Yang mana akses menuju ke sana harus melewati properti KBN,” ucapnya.
Dia menjelaskan, keberadaan pelabuhan Marunda dalam lima tahun terakhir cukup strategis menopang Tanjung Priok yang selama ini menjadi pusat bongkar muat barang. Sejak hadirnya pelabuhan Marunda, beban Tanjung Priok khususnya untuk bongkar-muat barang curah berkurang signifikan, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap kegiatan ekspor impor Indonesia.
“Jadi, bongkar muat barang dapat dilakukan di pelabuhan yang dibangun dan dikelola KCN, kemudian disimpan dalam gudang atau lahan yang disewa dari KBN sebelum diekspor atau didistribusikan dari dan ke pulau-pulau lain di Indonesia,” tegasnya.
Seperti telah diberitakan, dalam perjalanannya menopang keberadaan Tanjung Priok, Pelabuhan Marunda khususnya yang dikelola oleh KCN menghadapi masalah yang berasal dari pemegang saham minoritas yakni PT KBN, yang adalah Badan Usaha MIlik Negara (BUMN). Permasalahan ini berdampak pada kegiatan bongkar-muat barang curah di pelabuhan.
Menurut Yustian Ismail, kehadiran pelabuhan marunda yang dikelola oleh KCN dengan KBN yang memiliki akses jalan menuju pelabuhan, seharusnya bekerja sama karena keduanya saling membutuhkan. Pemerintah harus segera menyelesaikan sengketa di antara keduanya karena sengketa ini akan berdampak pada kegiatan ekspor-impor.
‘’KBN hanya memiliki akses jalan menuju pelabuhan yang sudah dibangun oleh KCN, KBN bukan pemilik lahan itu,’’ ungkap Yustian.
Kembali ditegaskannya, keberadaan KCN tidak melanggar hukum, bahkan dengan pembangunan pelabuhan yang dilakukan oleh KCN akan berdampak positif untuk mendorong ekspor Indonesia kedepannya. Hal ini sesuai dengan program kerja pemerintah, ungkap Yustian yang saat ini menjadi Pegiat Peduli Kawasan Berikat.
Dalam kinerja keuangan yang dipublikasikan oleh KBN terlihat, pada 2014 laba bersih perseroan sempat membukukan pencapaian sebesar Rp265,34 miliar. Pada 2015, laba bersih terjun bebas menjadi Rp56,63 miliar. Menurut laporan keuangan KBN 2015, penurunan yang tajam ini karena tidak terealisasinya pembangunan dermaga C-04 kawasan Marunda terkait perizinan.
Pada 2016, laba bersih naik menjadi Rp138,3 miliar dan meningkat menjadi Rp163,09 miliar, namun pada 2018, laba bersih KBN turun menjadi Rp149,78 miliar, atau hanya 74% dari target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2018. Penurunan laba bersih tentunya dipengaruhi oleh beban usaha perusahaan.
Dalam laporan keuangan KBN terlihat beban pokok usaha pada 2018, naik menjadi Rp296,42 miliar dari beban tahun sebelumnya tercatat sebesar Rp279,67 miliar, bahkan pada 2016, KBN membukukan beban pokok usaha mencapai Rp313,13 miliar. (*)