Jakarta – Peneliti Ekonomi Syariah INDEF, Fauziah Rizky Yuniarti menilai, industri perbankan syariah di Indonesia membutuhkan pemain besar selain Bank Syariah Indonesia (BSI). Bank syariah lain bermodal besar tersebut diharapkan dapat berkompetisi untuk memberikan layanan jasa dan produk perbankan syariah yang terbaik bagi nasabah.
Kasus peretasan data perbankan yang terjadi pada paruh pertama tahun ini menjadi pengingat berharga akan perlunya bank syariah lebih dari satu. “Dari sisi supply, hal tersebut akan menciptakan persaingan sehat karena para pemain berusaha berkompetisi memberi yang terbaik untuk nasabah dari berbagai sisi, produk, dan jasa,” ujar Fauziah dikutip 13 Agustus 2023.
Sedangkan dari sisi demand, adanya bank syariah besar yang setara BSI juga akan berdampak dari sisi layanan. Nasabah memiliki pilihan yang lebih banyak, membandingkan secara rasional dari berbagai sisi, seperti misalnya fasilitas, harga, aksesibilitas, digitalisasi, dan lainnya. Namun demikian, hal ini juga diperlukan kejelasan dari regulator dalam pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Bank Umum Syariah (BUS).
Baca juga: Jika Tidak Ada Persaingan, Bank Syariah di Indonesia Tak Akan Berkembang
Namun, tambahnya, yang perlu dibahas lebih lanjut adalah tujuan dari POJK 12 tahun 2023 tentang UUS. Apakah tujuannya diasumsikan dapat membantu mendorong supaya ada BUS besar seperti BSI, karena POJK ini tidak memiliki batas waktu bagi UUS untuk wajib menjadi BUS.
“Maka, apakah UUS diharapkan akan secara sukarela bersiap diri menjadi BUS? Atau memang tujuan POJK UUS adalah supaya UUS tetap dibiarkan tumbuh dengan posisinya sebagai UUS dengan aset dijaga di bawah Rp50 trillun atau aset kurang dari 50 persen dari induk, dan selamanya menjadi pemain kecil di kancah nasional,” kata Fauziah.
Lebih lanjut kata dia, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan industri perbankan syariah agar membentuk permodalan yang kuat seperti BSI. Pertama, Unit Usaha Syariah melakukan spin off menjadi BUS, kemudian melakukan strategi penguatan modal supaya bisa menjadi BUS KBMI (Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti) 3.
Kedua, beberapa UUS melakukan konsolidasi untuk menjadi satu BUS dengan KBMI 3 atau KBMI empat. Ketiga, beberapa BUS dengan KBMI 1 dan/atau KBMI 2 konsolidasi menjadi satu BUS dengan KBMI 3 atau bahkan KBMI 4 yang bisa bersaing menjadi top 10 bank terbesar di Indonesia, mendampingi BSI yang menjadi satu-satunya bank syariah di top 10 bank terbesar nasional.
Namun, tambah Fauziah, kembali lagi pada OJK sebagai regulator perlu membuat regulasi yang tepat. Regulator harus mengkaji ulang aturan terkait spin-off dalam memberikan insentif bagi UUS yang secara sukarela untuk menjadi BUS.
“Regulasi yang tepat perlu carrot-and-stick yang seimbang. Melihat UUS selama ini nyaman menjadi UUS, maka regulator perlu juga mengkaji ulang regulasi yang ada, mungkin perlu ada perbaikan dalam memberi insentif jika menjadi BUS, sehingga UUS berkeinginan secara organik berubah menjadi BUS,” jelasnya.
Baca juga: Belajar dari Kasus Bank Syariah Indonesia (BSI)
Di sisi lain, di saat UUS tidak lagi diultimatum batas waktu untuk segera spin-off, maka kebijakan spin-off akan sangat tergantung dari sisi pelaku. Apakah tujuan awal UUS dibentuk oleh perbankan adalah untuk tumbuh secara organik meningkatkan market share, serta memperkuat industri perbankan syariah nasional dan mengarah ke independensi menjadi BUS.
“Atau memang hanya ingin mengambil sedikit porsi perbankan syariah nasional dan selamanya bergantung kepada bank induk (parent),” ungkapnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, OJK menginginkan adanya bank-bank syariah besar sekelas BSI. Menurutnya, OJK tidak ingin hanya BSI yang menjadi satu-satunya bank syariah di Indonesia karena hal itu tidak sehat dari segi persaingan. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra