Potongan pajak deposito valas berpotensi menambah devisa parkir di bank dalam negeri sebesar USD12 miliar setahun. Ria Martati.
Jakarta– Bank Indonesia (BI) kembali mengeluarkan kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah. Setelah paket kebijakan 9 September lalu, yang berfokus pada lima pilar. Bank Sentral kali ini mengeluarkan paket lanjutan yang berfokus pada tiga pilar, yang mendapat bobot paling besar adalah melancarkan pasokan valas dan menekan permintaan Dollar.
Pelemahan nilai tukar saat ini semakin jauh dari nilai fundamentalnya, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, seharusnya nilai tukar Rupiah sesuai fundamentalnya pada triwulan ketiga adalah Rp13.300, sementara di triwulan keempat adalah Rp13.700 per USD. Namun nyatanya, nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Paman Sam hari ini saja semakin mendekati Rp15.000, yaitu Rp14.657 per USD. Sumbernya adlah kurangnya pasokan valas, padahal permintaan valas tinggi.
Melihat ini, Bank Sentral sebagai otoritas moneter menurut Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara harus mengendalikan pasokan valas dan menekan permintaan valas. “Suplai valas dari eksportir yang dikonversi menjadi rupiah itu hanya sekitar 10% jadi sudah hasil ekspornya turun karena ada komoditas jatuh, yang dikonversi jadi rupiah juga hanya sekitar 10% maka dari itu maka dibuat kebijakan bersama pemerintah, bahwa kalau DHE itu ditaruh di Indonesia, di perbankan sistem Indonesia, kemudian stay maka diberikan insentif pajak. Kalo mau diconvert jadi rupiah malah lebih baik lagi, insentif pajaknya malah jadi besar. Gitu kan. Jadi itu kebijakan dari insentif pajak dari pemerintah untuk menambah suplai,” kata dia
Untuk itu, BI dalam kebijakan lanjutannya, tidak hanya intervensi di pasar spot, BI juga memperluas intervensi di pasar forward. Pilar kedua kebijakan BI memperkuat pengelolaan likuiditas Rupiah dilakukan dengan menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) 3 bulan dan Reverse Repo SBN dengan tenor 2 minggu. Penerbitan instrumen operasi terbuka tersebut dimaksudkan untuk mendorong penyerapan likuiditas sehingga bergeser ke tenor lebih panjang. Kemudian pada fokus ketiga, memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan valas dengan lima kebijakan.
Pertama adalah pengutan kebijakan untuk mengelola supply dan demand di pasar forward.Hal ini dilakukan dengan meningkatkan tresshold forward jual yang wajib menggunakan underlying dari semula USD 1 juta menjadi USD 5 juta per transaksi per nasabah dan memperluas underlying khusus forward jual, termasuk deposito valas di dalam negeri dan luar negeri.
Kedua terkait penerbitan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas. Ketiga, BI menurunkan holding period SBI dari 1 bulan menjadi 1 minggu untuk menarik aliran modal asing.
Dan keempat, adalah pemberian insentif pengurangan pajak deposito pada eksportir yang menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan Indonesia atau mengkonversinya ke dalam Rupiah, seperti yang telah dikatakan Pemerintah. Kemudian mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi atas penggunaan devisa dengan memperkuat laporan Lalu Lintas Devisa (LLD). Pelaku LLD wajib melaporkan penggunaan devisanya dengan melengkapi dokumen pendukung untuk transaksi dengan nilai tertentu.
Soal DHE, seperti diketahui, sesuai rezim Devisa Bebas yang dianut Indonesia, BI tak dapat mengatur pasokan devisa dari para eksportir tersebut untuk disimpan di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu. BI memang telah mengatur agar semua devisa hasil ekspor dilaporkan dan mampir ke perbankan dalam negeri melalui PBI No 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri yang kemudian direvisi dengan PBI No 16/10/PBI/2014. Setidaknya dengan aturan tersebut, devisa hasil ekspor mampir ke sistem perbankan di Indonesia. Kendati demikian, devisa hasil ekspor yang diperoleh para eksportir itu tak pernah betah berlama-lama disimpan di bank devisa dalam negeri.
Juda Agung, Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI mengatakan, devisa hasil ekspor yang sudah masuk sekitar 92% dari total ekspor. Namun yang sampai dikonversi ke Rupiah hanya 10%- 12% dari 92% devisa ekspor yang masuk ke bank- bank dalam negeri. Juda memperkirakan dengan potongan pajak deposito itu akan ada tambahan USD12 miliar devisa yang masuk ke bank dalam negeri. Pun dengan jumlah devisa yang dikonversi ke Rupiah juga diharapkan meningkat, meski ia tak menyebut angkanya.
Seperti diketahui, selama ini pajak deposito DHE itu jika disimpan di bank nasional mencapai 20%. Oleh karena itu, Pemerintah memberi insentif pajak bagi para pelapor devisa hasil ekspor yang menyimpan valasnya itu dengan memberi pengurangan pajak deposito.
selanjutnya, agar eksportir betah menyimpan devisa di bank dalam negeri, Pemerintah mengurangi besaran pajak deposito valas 1 bulan menjadi 10%, Deposito 3 bulan besaran pajak menjadi 7,5%, Deposito 6 bulan besaran pajak menjadi 2,5%, dan deposito valas di atas 6 bulan besaran pajak dikuarngi menjadi 0%. Sementara jika devisa hasil ekspor dikonversi menjadi Rupiah, besaran pajak yang dikenakan untuk Deposito 1 bulan sebesar 7,5%, Deposito 3 bulan besaran pajaknya 5%, dan Deposito 6 bulan besaran pajaknya 0%.
Di sisi lain, BI juga menyiapkan instrumen Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas untuk menyerap likuiditas valas agar menambah pasokan cadangan devisanya. Namun, kesemua itu mesti menunggu, pasalnya BI dan Pemerintah belum mengeluarkan aturannya. ” SBI valas ini instrumen baru, paling cepat kami keluarkan di akhir Oktober, karena ini adalah instrumen baru kami sedang siapkan PBInya, kalau pajak deposito DHE, kan itu ada perubahan PMK (Peraturan Menteri Keuangan),” kata Juda.
Secara terpisah, Direktur Utama PT Bank Mandiri, Tbk (Bank Mandiri) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pemotongan pajak deposito valas itu merupakan insentif yang baik bagi eksportir untuk menempatkan dananya di deposito.”Itu insentif bagi eksportir untuk naruh di deposito, saya rasa bagus, untuk deposito USD, Ini akan menambah USD di negara ini,” kata dia Selasa 29 September 2015. Dia mengakui selama ini dana pihak ketiga terutama deposito hanya untuk tenor pendek, hanya 1% deposito yang disimpan di atas 1 tahun. Kendati demikian, dia belum memiliki proyeksi penambahan dana valas dari aturan tersebut.