Oleh Sigit Pramono, Chairman IICD & Wakil Ketua Umum Kadin
Dalam beberapa tulisan saya terakhir saya masih terus berusaha menyarankan agar Pemerintah memperbaiki strategi dan pelaksanaan PSBB. Tetapi melihat kenyataan pahit yang terjadi dalam pelaksanaan PSBB di Indonesia akhir-akhir ini, saya memutuskan untuk tidak menyoal lagi ihwal PSBB.
Kita simpan dulu gagasan untuk memperbaiki PSBB, kita keluarkan lagi seandainya terjadi serangan virus gelombang kedua. Tentu saja harapannya adalah tidak ada serangan gelombang kedua.
Jika menyimak apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat beberapa hari ini, saya yakin hampir semua pihak baik itu pemerintah, sebagian anggota masyarakat, maupun aparat penegak hukum, sedang memendam perasaan yang campur aduk antara marah, sedih, dan cemas.
Bagaimana tidak? Di saat masa berlakunya PSBB, ternyata jalanan tetap padat kendaraan, pasar dan pusat perbelanjaan ramai orang, bandara juga penuh sesak. Orang juga tetap saja mudik dan pulang kampung baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Sekelompok orang memaksa untuk tetap beribadah ke tempat ibadah di luar rumah.
Yang terjadi adalah ada peraturan, ada pelanggaran, ada pembiaran. Ada kepanikan, ada ketakutan, ada kebodohan, dan ada ketidak-pedulian, serta ada pembangkangan.
Berikut ini beberapa kemungkinan mengapa terjadi fenomena seperti di atas dalam pelaksanaan PSBB:
- Tidak tahan lagi tinggal di rumah terlalu lama dan harus mencari nafkah.
- Tidak sadar atau menganggap enteng bahaya Covid 19.
- Tidak peduli bahwa tindakannya selain membahayakan nyawanya sendiri juga membahayakan nyawa orang lain.
- Tahu bahaya Covid 19, tetapi ketakutan terhadap virus tertutup euforia lebaran.
Karena nasi sudah terlanjur jadi bubur, sekarang kita tinggal tunggu saja semoga pelaksanaan Pembatasan Sosial Bolong Bolong dan amburadul ini masih ada hasilnya.
Menurut Dr. Pandu Riono, ahli epidemiologi dari UI, PSBB yang tingkat keberhasilannya 60% saja, akan cukup signifikan hasilnya dalam mengurangi penularan virus Covid 19.
Sambil kita berharap cemas semoga pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa kita diuntungkan sebagai penduduk negara tropis, karena konon virus Corona melemah daya penularannya jika suhu udara lebih panas. Tetapi jika kita melihat apa yang terjadi di Brazil, sebuah negara tropis seperti Indonesia, ternyata korban yang meninggal banyak sekali, tampaknya harapan itupun mulai pupus. Lalu keajaiban apalagi yang kita harapkan terjadi agar bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa penyintas dari krisis ini ?
Bagaimana cara bangsa kita menangani pandemi Covid 19 ini sebetulnya seperti sebuah etalase (show case) mengenai kemampuan manajerial bangsa kita. Sekarang ini kita bagaikan hidup di dalam aquarium. Apa yang terjadi di negeri kita dilihat jelas oleh bangsa lain.
Fakta yang terlihat di etalase ini sungguh memprihatinkan. Yang terlihat menonjol dari penanganan pandemi ini adalah demonstrasi tentang koordinasi yang buruk diantara lembaga dan pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah, masyarakat yang tidak disiplin dan tidak patuh, dan aparat penegak hukum yang tidak konsisten dan tidak tegas.
Kalau mau disimpulkan, sebagai swa-kritik untuk perbaikan ke depan: manajemen penanganan pandemi Covid 19 ini kurang bagus. Dari cara penanganan pandemi ini, semakin menguak misteri lama, mengapa Indonesia tidak bisa punya tim sepak bola kelas dunia.
Sekarang semakin jelas terlihat, ternyata kita memang masih lemah di dalam suatu kegiatan yang memerlukan manajemen yang melibatkan orang banyak atau kolektif. Kita masih harus banyak belajar meningkatkan kemampuan untuk lebih disiplin, konsisten, melakukan koordinasi, dan kerjasama yang baik. Kita juga masih kesulitan jika harus bekerja yang mengutamakan kerja tim, bukan kerja individu.
Oleh karena itu, jika PSBB diteruskan tampaknya hanya akan membuang waktu, tenaga dan biaya. Bahkan dikhawatirkan justru akan semakin merongrong kewibawaan pemerintah. Sumberdaya yang ada, lebih baik dihemat dulu karena pandemi belum akan segera berlalu.
Sebelum PSBB berakhir sebaiknya Pemerintah segera meluncurkan sebuah upaya pencegahan penularan virus Covid 19 yang bisa dilakukan secara lebih mandiri oleh rakyat. Gerakan ini harus berskala nasional dan harus dilakukan secara masif, serentak, disiplin, dan konsisten. Gerakan ini disebut Gerakan Pakai Masker.
Kita fokuskan pada strategi dan upaya pencegahan penularan Covid 19 yang sejatinya kembali ke cara lama yang sederhana. Dan tentunya ditambahkan, menjadi satu paket dengan Amaran Jaga Jarak dan Jaga Kesehatan (cuci tangan dan sebagainya).
Pakai masker, jaga jarak, cuci tangan sebetulnya adalah cara kuno, karena cara ini juga yang dilakukan 102 tahun yang lalu pada saat pandemi flu Spanyol pada tahun 1918.
Mengapa GPM ini diusulkan?
Ada beberapa kelebihan dari strategi GPM dibandingkan PSBB:
- Jelas lebih murah biayanya.
- Lebih mudah dan lebih sederhana sehingga lebih gampang dipahami pelaksanaannya oleh masyarakat.
- Penggunaan masker, menurut para ahli menurunkan risiko penularan virus Covid 19 hingga 75%
- Gerakan Pakai Masker menempatkan anggota masyarakat sebagai subyek. Berbeda dengan strategi PSBB yang menempatkan orang sebagai obyek yang harus dikendalikan pergerakannya.
Karena GPM pelaksanaannya diserahkan dan dilakukan orang per orang (individu), Pemerintah harus melengkapi gerakan ini dengan peraturan mengenai sanksi denda atau penalti yang tinggi, jika ada pelanggaran. Juga harus dibangun suatu mekanisme sanksi sosial yang efektif.
Ini dimaksudkan agar orang tidak berani melanggar dengan tidak pakai masker, karena takut dendanya sangat besar, dan atau akan merasa malu kalau tidak pakai masker karena bisa merugikan dirinya dan orang lain.
Komunikasi Publik Diubah
Jika Gerakan Pakai Masker ini diputuskan untuk dijalankan maka sebaiknya dilakukan perubahan cara komunikasi publik. Dari mulai Presiden, Menteri Kesehatan, dan menteri yang lain, Ketua Satgas, hingga Jubir Satgas perlu mengubah cara berkomunikasi ke publik. Sudah saatnya kita bicara kepada masyarakat dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami. Kita harus berhenti bicara mengenai kurva yang naik, turun atau landai. Saatnya berhenti bicara tentang jumlah orang terinfeksi atau korban meninggal.
Kita fokus bicara dan mensosialisasikan Gerakan Pakai Masker. Ada referensi bagus untuk melakukan komunikasi publik yang lebih baik.
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Gubernur Andrew Cuomo dari negara bagian New York, ketika dia mengajak masyarakat New York untuk memakai masker. Dia menggunakan komunikasi yang sangat sederhana dan simpatik. Padahal dia berhadapan dengan masyarakat sebuah negara adidaya. Meskipun kita tahu di AS juga banyak orang yang idiot.
Ini yang kurang lebih dikatakan Cuomo:
“Jika anda memakai masker, itu seperti masker anda mengatakan” Saya hormati Anda”. Betul bahwa sesungguhnya tidak ada tulisan apapun di masker itu. Kepada siapapun orang yang berpapasan dengan Anda, masker yang kita pakai seperti mengatakan bahwa: “Saya menghormati Anda”. Saya menghargai kesehatan Anda. Saya hormati privasi Anda. Masker anda juga mengatakan; “Saya menghormati para dokter dan perawat yang telah mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan orang lain”.
Strategi Gerakan Pakai Masker yang diluncurkan Pemerintah ini, benar benar mengandalkan pelaksanaannya pada perorangan, pada individu. Diharapkan strategi ini bisa berhasil, karena sederhana, mudah dilaksanakan, dan melibatkan partisipasi masyarakat secara mandiri. Ini lebih cocok dengan kondisi dan kemampuan masyarakat kita sekarang ini. Tetapi ada yang lebih penting dari GPM ini. Ia harus menjadi satu, dan tidak terpisahkan, dari upaya mempersiapkan masyarakat luas menghadapi jaman normal baru pasca pandemi Covid 19.
Artinya, apapun kegiatan di luar rumah yang akan dilakukan oleh anggota masyarakat, baik itu bekerja, sekolah, ke pasar, ke tempat perbelanjaan, ke tempat ibadah, tempat hiburan seperti ke bioskop, konser, wajib memakai masker.
Atau kalau dibalik, di jaman normal baru ini jika anda sehat dan masuk kelompok usia muda dan produktif silakan beraktivitas di luar rumah, bekerja, bersekolah, beribadah, berbelanja, melakukan perjalanan, berlibur dan lain-lain, tetapi wajib pakai masker.
Jadi secara bertahap masyarakat bisa mulai bekerja, bersekolah, beribadah, melakukan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya kembali. Kantor buka, pabrik berproduksi, sekolah buka, hotel beroperasi, tempat ibadah, pasar ramai kembali. Sehingga kehidupan sehari-hari kembali normal, tetapi kali ini adalah sebuah normal baru.
Melalui pelaksanaan GPM, diharapkan misi utama penanganan krisis akibat pandemi ini yaitu menyelamatkan nyawa dan menyelamatkan perekonomian bisa tercapai. Tidak perlu menjadi pilihan salah satu seperti pilih: nyawa selamat tetapi perekonomian mati atau banyak nyawa melayang tetapi ekonomi jalan. Kita ternyata masih bisa menyelamatkan kedua- duanya.
Sampai kapan Gerakan Pakai Masker berakhir? Paling cepat setelah vaksin covid 19 sampai ke tangan masyarakat.
Tetapi saya pribadi memperkirakan bahwa pada jaman normal baru, kita akan tetap menjadikan masker wajah sebagai bagian dari busana. Sebagai gaya hidup baru. Menjadi perlengkapan busana seperti topi, jilbab, atau selendang.
Buktinya saya lihat teman profesional wanita saya sudah mulai mengoleksi masker berwarna warni dan motif beragam. Bahkan rumah mode adibusana (haute couture) Louis Vuitton sudah meluncurkan produk masker seharga USD200. Mari kita tunggu karya-karya dari para perancang adibusana negeri kita sendiri. (*)