Jalan Panas Menuju Superholding

Jalan Panas Menuju Superholding

Banyak ide besar untuk memajukan BUMN sulit dilaksanakan. Keinginan pemerintah mewujudkan superholding BUMN sebelum 2019 pun bisa gagal jika DPR tidak menyetujuinya. Mengapa holding BUMN diperlukan? Bagaimana rapor perusahaan-perusahaan pelat merah menurut “Rating 122 BUMN Versi Infobank 2016?” Karnoto Mohamad.

Jakarta – Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sedang mengejar target. Ada enam perusahaan induk (holding company) yang harus terealisasi tahun ini. Pertamina ditetapkan menjadi holding untuk minyak dan gas, Danareksa akan membawahkan jasa keuangan, Hutama Karya akan memayungi jalan tol, Inalum menjadi holding bidang pertambangan, Perum Bulog akan membawahkan bidang pangan, dan Perumnas menjadi payung sektor perumahan. Pembentukan enam holding ini merupakan tahap menuju pendirian superholding pada 2019. “Sebelum 2019, Kementerian BUMN ini sudah enggak ada, bertransformasi menjadi superholding,” ujarnya kepada Infobank, beberapa bulan lalu.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sudah mengetoknya bulan lalu. Ia juga  menginstruksikan Menko Perekonomian (Darmin Nasution) dan Sekretaris Kabinet (Pramono Anung) melakukan sinkronisasi peraturan untuk mencegah persoalan hukum yang bisa mempersulit pembentukan holding company. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentunya harus diajak bicara untuk menyamakan pemikiran. Dua lembaga negara ini menjadi kunci apakah holdingisasi BUMN akan berhasil. Jika DPR tidak mendukung, pembentukan holding BUMN harus melewati jalan panas.

Perlu dicatat, DPR merasa berkepentingan, bahkan apa yang dilakukan kerap melebihi kewenangannya di bidang legislasi dan pengawasan anggaran negara. Para direksi BUMN kerap dipanggil, termasuk para menteri. Sampai dengan sekarang saja, DPR belum mencabut larangan bagi Menteri BUMN melakukan rapat dengan Komisi VI DPR. Karena “diboikot”, Rini terus melakukan upaya pembentukan holding BUMN, tanpa “restu” Senayan. Menteri BUMN merasa tidak perlu melapor DPR karena atasannya adalah presiden. Ini merupakan langkah maju melepaskan pengelolaan BUMN dari unsur politik, kendati telah menabrak “pakem” birokrasi. Atas tindakan Rini tersebut, para anggota DPR geram dan mengancam ada konsekuensi pelanggaran undang-undang (UU) apabila pendirian holding tidak izin DPR.

Tak mudah menyamakan pemikiran pemerintah dengan DPR. Jokowi dan Rini yang pernah hidup di sektor riil tahu bagaimana membuat BUMN untuk lebih kompetitif di pasar. Salah satu caranya dengan pembentukan holding BUMN yang merupakan wacana lama, tapi terhambat masalah political will. Sedangkan para politisi masih hidup dalam pemikiran normatif bahwa BUMN adalah milik rakyat dan tidak sepakat jika diperlakukan seperti korporasi swasta. Itu yang juga menjadi rekomendasi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang notabene partai pendukung pemerintah, untuk meluruskan pengelolaan BUMN yang selama ini tidak tepat karena diperlakukan seperti perusahaan swasta. Padahal, menurut Presiden Jokowi yang didukung oleh PDI-P, BUMN harus mampu bersaing di pasar regional dan memberikan multiplier effect. “Kita ingin BUMN tidak jago kandang, tapi berani menyerang negara-negara lain,” ucap Jokowi.

Faktanya, ketika masih disubsidi dan diproteksi dengan monopoli, BUMN banyak dijadikan “sapi perahan” dan akhirnya hanya menjadi beban negara. Ketika subsidi maupun proteksi dicabut dan perusahaan BUMN dikelola oleh para profesional, kinerjanya jauh lebih baik. BUMN tumbuh positif dan sebagian besar perusahaan BUMN mampu menjadi market leader di sektor usahanya. Misalnya, empat bank pelat merah yang memiliki market share hingga 38% dari total aset 188 bank umum di Indonesia. PT Telekomunikasi Indonesia juga sangat perkasa di sektor telekomunikasi dan sulit ditandingi para pesaingnya. Begitu juga Garuda Indonesia yang terus mengangkasa dan tercatat sebagai salah satu world class airline.

Lalu seperti apa potret kinerja BUMN? Menurut data Biro Riset Infobank ada 58 perusahaan BUMN yang kinerjanya “Sangan Bagus”, dan 65 perusahaan mencatat pertumbuhan yang positif. Siapa saja mereka? Temukan jawabannya dalam edisi “Rating 122 BUMN Versi Infobank 2016” yang terbit awal September 2016. (*)

Related Posts

News Update

Top News