Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di Asia, setelah China dan Filipina. Remitansi yang dihasilkan oleh PMI (Pekerja Migran Indonesia) sebelum masa pandemi pun mencapai USD11,4 miliar di 2019 atau tumbuh 21% terhadap kurun waktu lima tahun sebelumnya. Namun, menurut data dari BI remitansinya pada tahun 2020 menurun 17%.
Meski menjadi pahlawan devisa untuk tanah air, PMI masih saja rentan terhadap berbagai risiko, seperti gagal ditempatkan, ancaman penghentian kontrak maupun cuti tanpa dibayar. Risiko lainnya terhadap PMI, termasuk ketidakmampuan untuk menolak pekerjaan selama pemberlakuan karantina wilayah, pengurangan hari kerja dan upah hingga ancaman pelecehan atau kekerasan dari pemberi kerja.
“Pandemi telah menampilkan tantangan, tidak saja penurunan jumlah remitansi yang menurut catatan BI -17% pada tahun 2020, namun yang tak kalah penting adalah perlindungan bagi PMI, yang salah satunya dapat dilakukan melalui perluasan kepesertaan dan manfaat jaminan sosial,” ungkap, Mickael Bobby Hoelman, Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN, Selasa, 28 Juni 2022.
Jaminan sosial menjadi salah satu komponen vital perlindungan terhadap berbagai risiko, mencakup perlindungan sebelum bekerja, pada saat bekerja dan/ atau setelah bekerja. Hasil kajian DJSN pun menemukan bahwa masih banyak PMI yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, sebagaimana ditunjukkan oleh lebarnya kesenjangan dalam kepesertaan Jaminan Sosial (Jamsos) PMI.
Temuan-temuan tersebut juga yang melandasi tiga rekomendasi DJSN dalam Policy Brief PMI adalah Kita. Pertama, pentingnya perluasan cakupan perlindungan jaminan sosial bagi PMI dan keluarganya, Kedua, memastikan kemudahan bagi PMI dan keluarganya dalam rangka mendapatkan manfaat perlindungan jaminan sosial dan ketiga, pentingnya upaya untuk mengintegrasikan pendataan PMI guna meningkatkan manfaat perlindungan jaminan sosial. (*) Irawati