Pinjam uang kini tak perlu pergi ke bank. Fintech yang belakangan booming bisa memenuhi kebutuhan konsumen dengan mudah, murah, dan cepat. Apakah layanan ini akan menggantikan posisi perbankan?
Jakarta – Kehadiran financial technology (fintech) tidak hanya marak di luar negeri. Di dalam negeri, Indonesia, penyedia jasa berbasis teknologi ini pun begitu ramai. Layanan ini belakangan bahkan menawarkan berbagai jasa seperti yang diberikan perbankan. Konsumen bisa melakukan pinjaman sampai menghimpun dana.
Produknya sederhana. Layanannya mudah, murah, dan cepat untuk diakses. Namun, pengalaman di Tiongkok, ketika jenis layanan seperti ini kemudian bermasalah, mengundang kekhawatiran regulator. Regulasi dan perlindungan konsumen urgen untuk dibuat.
Benarkah fintech akan “melindas” eksistensi perbankan? Seperti apa pandangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK mengenai keberadaan fintech? Berikut pendapat Irwan Lubis, Deputi Pengawasan Perbankan OJK, dalam wawancara dengan Infobank, bulan lalu. Petikannya:
Fintech berkembang pesat belakangan ini. Seperti apa pandangan OJK?
Pertama begini, fintech itu penyedia jasa melalui teknologi keuangan. Dia bisa transfer, mengumpulkan dana, memberikan pinjaman hingga konsultasi. Dia bisa business to business. Tapi, bisa juga business to customer seperti di Alibaba.
Nah, memang ini kuncinya harus ada regulasi. Kalau fin (financial)-nya itu memang ada di OJK. Tapi, tech (technology)-nya ada di TI. Ini harus sinkron. Sama nanti juga harus ada perlindungan konsumen.
Bagaimana regulasinya?
Kalau soal menghimpun dana itu harus izin karena yang boleh menghimpun dana itu ’kan koperasi melalui anggotanya. Cuma, itu ’kan konvensional. Sekarang fintech lebih maju.
Ini harus diatur karena di China (Tiongkok) sudah menjadi masalah, shadow banking. Di sana itu kasusnya miliaran dolar. Mumpung di sini belum berkembang, makanya harus diatur.
Fintech itu sendiri ada yang bergerak di jasa keuangan. Ada juga yang di start up bisnis. Start up bisnis juga pakai fintech. Ini yang harus diatur bagaimana mekanisme bisnisnya dan perlindungan konsumennya.
Jadi, siapa yang akan mengatur?
Belum jelas karena OJK pun belum mengatur. Sekarang sedang dilakukan semacam kajian, focus group discussion melibatkan perbankan, industri keuangan nonbank maupun pasar modal. Ini yang kemarin dirilis, consultative paper.
Apakah kehadiran fintech bisa menggantikan peranan perbankan?
Saya kira itu masih lama. Penetrasi bank kita, misalnya untuk pelayanan jasa keuangan itu masih kecil, masih di bawah 30%. Masih ada 70% yang belum.
Makanya, kita dekati dengan program Laku Pandai untuk mempermudah masyarakat berakses ke industri perbankan tanpa harus datang ke bank. Jadi, mereka bisa datang ke warung atau perorangan. Itu dalam rangka literasi keuangan.
Menurut studi OJK, apakah ini bisa menggerogoti kuenya perbankan?
Kalau fintech ini saya rasa (yang mengakses) lebih banyak yang educated. Kalau Laku Pandai lebih simpel. Semua orang bisa ikut. Kalau fintech ini kelasnya mungkin menurut saya di atas dari marginal.
Rata-rata mereka sudah terakses bank?
Ya. Istilahnya itu sudah paham penggunaan teknologi. Masyarakat level menengahlah. Karena kalau yang di marginal, kalau didekati fintech, mereka tidak paham. Berbeda dengan yang branchles banking (Laku Pandai), produknya sederhana, cuma transfer atau mungkin pinjaman. Tapi, kalau fintech ini macam-macam.
Namun, kehadiran fintech ini tidak bisa dihindari, tidak bisa dibendung?
Ke depan ini memang tidak bisa dihindari. Tapi, harus diregulasi, kemudian perlindungan konsumen juga. Karena, pengalaman di China (Tiongkok), itu bermasalah, karena ada semacam skema Ponji.
Nah, dari sisi kemudahan itu betul. Tinggal nanti aspek perlindungan konsumen, kemudian transparansi bisnis juga harus diatur. Kemudian, profil risiko dari produk juga harus diinformasikan. ’Kan sudah banyak case investasi bodong. Jangan sampai terjadi seperti itu.
Jadi, apakah akan menggerus pasarnya perbankan?
Menurut saya, kalau nanti dia sebagai komplementer itu iya. Tapi, kalau menggerus, saya rasa ini masih lama. Masih terlalu luas pasar perbankan kita. Masih terlalu sedikit yang dilayani.
Namun, teknologi bergerak cepat. Bisa saja ini lebih cepat daripada dugaan kita. Karena, produk yang dilirik masyarakat adalah yang murah, cepat, dan simpel?
Menurut saya fintech tetap, kita juga mendorong karena kita juga tidak bisa membendung kemajuan teknologi. Cuma, memang harus dibangun edukasi yang cukup, sistem protection-nya.
Kemudian, masyarakat juga harus tahu, kalau mereka joint ke fintech, mereka juga harus bisa melihat profil risiko. Nah, ini yang kadang-kadang susah juga. Di perbankan sendiri saat ini kami sedang mendorong digital banking.
Seperti apa perkembangan untuk digital banking?
Nanti bertahap. Kita harapkan nanti orang buka rekening di bank tidak perlu ke customer service. Bisa datang ke lounge yang ada semacam video conference. Ada semacam mesin yang bisa mengindentifikasi seseorang, misalnya dari sidik jari atau lainnya.
Tapi, suatu saat kalau sudah bagus bisa pakai android saja, cukup masukkan nomor KTP. Karena, saat ini sudah e-KTP dan bank juga sudah terhubung. Jadi, bisa cek. Terus wajah ’kan bisa langsung.
Suatu saat akan sampai di situ. Sekarang kalau kita hitung-hitung, orang juga sudah jarang pergi ke bank. Paling ke ATM. Orang mulai (menggunakan) m-banking, SMS banking, dan internet banking.
Itu digital banking diarahkan ke semua bank, termasuk bank-bank kecil?
BUKU 1 tidak boleh internet banking. Untuk masuk ke digital banking itu harus ada internet banking. Mungkin, nanti yang BUKU 2 sampai BUKU 4. Yang bisa internet banking sudah pasti digital banking.
Tapi, ini nanti masuk di rencana bisnis bank (RBB) dahulu. Kemudian, nanti kami akan lihat dahulu dukungan IT, kemudian pengendalian operational risk. Kalau di India ini sudah jalan. Tapi, mereka juga mulainya pelan-pelan.
Kalau digital banking yang sebenarnya, belanja bulanan saja tidak usah ke supermarket karena mereka sudah terhubung. Jadi, di sini definisi bank yang harus kita redefinisi lagi. Jangan sampai bank juga bisa melayani bengkel. Kalau di sana beli mobil juga sudah bisa pakai digital banking. Di sini masih menganut commercial banking bukan universal banking. Banking kita ini belum sebagai supermarket banking.
Kesiapan perbankannya juga harus dilihat?
Makanya, nanti kita juga harus lihat di perbankannya juga. Karena, kalau dilepas digital banking itu bisa memengaruhi hubungan interaksi antara orang dan pasar. Nanti orang ke mal hanya makan karena belanja bisa online. Nanti hanya ada stok gudang. Itu masalah revolusi.
Itu makanya kita lakukan bertahap. Kita kasih dahulu juklak (petunjuk pelaksanaan) atau pedoman. Mulai dari itu saja. Pembukaan di lounge-nya dulu. Sebenarnya bank-bank kita sendiri juga sudah banyak melakukan studi banding ke beberapa negara untuk itu. (*) Novita Adi Wibawanti