Oleh Arman Juffry (Praktisi Asuransi) dan Irvan Rahardjo (Pengamat Asuransi)
DI GRUP Whatsapp beredar percakapan. Katanya, “Indonesia Negeri Paman Usman, sementara Amerika Serikat Negeri Paman Sam“.
Ungkapan itu untuk menyindir Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang diberhentikan sebagai Ketua MK berdasarkan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik hakim konstitusi dalam uji materi perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Sindiran ini mengingatkan pada buronnya pemilik perusahaan asuransi WanaArtha Life, suami istri, Evelina Larasati Fadil Pitetruschka dan Manfred Armin Pietruschka, ke Negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS), yang hingga kini belum tertangkap.
Namun, berbeda dengan Paman Usman yang dikenai sanksi etik, raibnya Evelina Larasati Fadil Pitetruschka dan Manfred Armin Pietruschka ke Negeri Paman Sam erat terkait dengan tindak pidana penggelapan premi asuransi yang merugikan nasabah.
Terbetik kabar bahwa pemegang polis yang juga korban PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha Life (Wanaartha Life) telah berhasil melacak buron kasus Rp15,9 triliun itu, Evelina Fadil Pietruschka cs, di AS. Adalah Eron Emanuel Firmansyah, pemegang polis Wanaartha yang mengaku telah menyambangi kompleks perumahan Evelina melarikan diri.
Baca juga: OJK Akan Kawal Class Action Nasabah Wanaartha
Rumah atas nama Manfred Pietruschka, suami Evelina, itu beralamat di 14119 Beresford Road, Beverly Hills 90210, Los Angeles. Pemegang polis tersebut mengaku dibantu dan ditugaskan oleh tim pemegang polis Wanaartha, termasuk pengacara Firman Wijaya, untuk melacak keberadaan Evelina di AS. Melalui situs clustrmaps.com, keberadaan Evelina terendus.
Rumah tersebut berada dalam kompleks yang mendapat penjagaan ketat kepolisian federal, di dalam kompleks Beverly Hills. Dia mengenali suara Eveline dari loudspeaker, telepon petugas, saat petugas tersebut memberi kabar kepada pemilik rumah tentang tamu yang ingin berkunjung.
Setelah tahu yang datang adalah pemegang polis Wanartha, Evelina menyatakan tidak ingin bertemu dan langsung menutup telepon. Eron beserta kerabatnya diminta pergi oleh petugas.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak permohonan praperadilan yang disampaikan Evelina Larasati Fadil Pitetruschka dan Manfred Armin Pietruschka. Keduanya merupakan pemegang saham pengendali alias pemilik PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life) yang telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menggelapkan keuangan perusahaan dan/atau premi nasabah.
Wanaartha Life mengalami gagal bayar kepada nasabah sejak 2020. Mulanya, gagal bayar ini disebut-sebut karena aset keuangannya disita pihak Kejaksaan Agung dalam perkara tindak pidana korupsi Jiwasraya. Namun, belakangan terungkap juga masalah tata kelola yang salah di perusahaan ini, sehingga menyebabkan berbagai kerugian investasi. Tidak hanya itu, ditemukan juga sejumlah premi yang tidak dicatatkan dalam laporan keuangan.
Baca juga: Gugatan PKPU Nasabah WanaArtha Life Ditolak Hakim
PT Fadent Consolidated Companies adalah pemilik 97,54 persen saham Wanaartha Life. PT Fadent Consolidated Companies adalah perusahaan yang dimiliki oleh Evelina Larasati Fadil (75 persen) dan Manfred Armin Pietruschka (25 persen).
Kedua nama tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim pada awal Agustus 2022 lalu. Satu tersangka lainnya yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dua pemegang saham adalah Rezanantha Pietruschka. Ketiganya diduga telah melakukan penggelapan dana perusahaan dan/atau nasabah serta melakukan pencucian uang.
Suatu kenyataan pahit bahwa pemegang polis harus berjibaku dengan merogoh kocek lebih dalam untuk memburu buron pengusaha asuransi ke Negeri Paman Sam dengan hasil nihil. Di lain pihak, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dengan sejumlah kewenangan pengawasan terhadap perusahaan asuransi belum mampu memenuhi harapan perlindungan konsumen dan pembelaan hukum kepada masyarakat.
Bahkan, Wanaartha berhasil membentuk tim likuidasi yang berdasarkan ketentuan harus diselenggarakan melalui RUPS LB bisa dibentuk hanya berdasarkan keputusan sirkuler para pemegang saham pengendali (PSP) yang berada di luar negeri.
Penumpukan Kewenangan OJK
Menurut pasal 60 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, OJK berwenang menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian; mencabut izin Usaha Perasuransian; melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian; mewajibkan suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali; melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan komisaris, aktuaris perusahaan, auditor internal, dan Pengendali; menonaktifkan direksi, dewan komisaris, dan menetapkan Pengelola Statuter.
Baca juga: Begini Cara OJK Tingkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Industri Asuransi
Lalu, memberi perintah tertulis kepada: 1) pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya Perusahaan Perasuransian; 2) Perusahaan Asuransi untuk mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungannya kepada Perusahaan Asuransi lain; 3) Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
Serta kepada 4) Perusahaan Asuransi untuk menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu; dan 5) Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau posisi tertentu dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
Sementara, pasal 28 UU 21/2011 tentang OJK menyebutkan, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, meliputi: memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat.
Kemudian, di pasal 30 disebutkan, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi: memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud; mengajukan gugatan: 1) untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian; 2) untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan.
Di pasal 49, OJK bahkan dikatakan mempunyai fungsi penyidikan, di antaranya berwenang melakukan penelitian atas kebenaran laporan berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; melakukan penelitian terhadap setiap orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari setiap orang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Juga melakukan pemeriksaan atas pembukuan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Baca juga: OJK Segera Terbitkan Aturan Modal Minimum Perusahaan Asuransi, Simak Rinciannya
Selanjutnya, meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.
Bahkan, di dalam UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) lebih tegas lagi disebutkan OJK sebagai penyidik tunggal dan satu-satunya institusi yang mempunyai wewenang memberi izin pemailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perusahaan asuransi.
Integritas Pelaku Asuransi
Dalam beberapa tahun terakhir, kita dikejutkan dengan kasus gagal bayar yang menimpa industri asuransi di Indonesia. Sebut saja dari mulai kasus Bakrie Life, Bumiputera, Jiwasraya, Asabri, Kresna Life, Wanaartha Life, hingga kasus terakhir Asuransi Jiwa Prolife Indonesia yang sebelumnya bernama PT Asuransi Jiwa Indosurya Sukses, yang telah dicabut izin usahanya oleh OJK pada 2 November 2023.
Fenomena mis selling dan mis conduct agen asuransi telah memakan korban nasabah asuransi yang menuntut pengembalian dana yang diinvestasikan. Sejumlah eksekutif asuransi, di antaranya BUMN, telah berstatus terpidana korupsi karena merekayasa kegiatan agen, pembayaran komisi, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang.
Baca juga: Langkah OJK Tindak Asuransi Bermasalah jadi Momentum Industri Berbenah Diri
Kasus-kasus tersebut menjadi bahan renungan bahwa sudah saatnya kalangan pelaku asuransi menerapkan akhlak yang luhur dalam semua praktik bisnisnya. Di dunia asuransi, kita mengenal semboyan my word is my bond, di mana kata-kata merupakan jaminan.
Semboyan itu perlu diimplementasikan agar terwujud satunya kata dan perbuatan. Jadi, orang yang moral atau akhlaknya tercela tidak semestinya mendapat tempat untuk berkarier di dunia asuransi sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.
Sekarang ini kita menyaksikan sumber daya manusia (SDM) usaha perasuransian terlalu fokus pada kualifikasi teknis. Sehingga, orang hanya berlomba mendapat gelar asuransi tapi kurang dalam menjaga moralitas. Kita jumpai banyak praktisi asuransi dengan gelar profesi berderet-deret tapi tidak berkorelasi langsung dengan kualitas akhlak yang bersangkutan.
Dengan sederet kewenangan yang dimiliki OJK, menjadi ironi bahwa nasabah harus berjuang sendiri untuk mendapatkan hak-haknya di tengah integritas pelaku asuransi yang tengah menjadi sorotan. (*)