Jakarta – Saham sektor perbankan pada perdagangan akhir pekan kemarin, Jumat, 15 November 2019 tercatat bergerak positif. Namun yang menarik harga saham PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO), kembali menguat untuk kesekian kalinya. Sempat melonjak hingga 25%, harga saham emiten ini akhirnya ditutup di Rp2.950, atau “hanya” naik 9,26%. Dengan begitu, saham ARTO sepanjang tahun ini telah mencetak rekor kenaikan hingga 1.469%.
Penguatan yang signifikan ini disinyalir karena sentimen merger dan akuisisi. Bankir senior Jerry Ng dan pengusaha Patrick Walujo rencananya berkongsi akan mencaplok 51% saham Bank Artos. Pasca akuisisi, Bank Artos nantinya akan dibawa menjadi bank digital yang melayani segmen menengah dan mass market menggunakan teknologi.
Pertanyaannya, apakah saham bank yang bermarkas di Bandung ini sudah tergolong sangat mahal?
Investor ada baiknya mencermati saham ini, dan bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan, dengan tidak terlalu mengikuti rumors. Pasalnya, harga saham tidak mencerminkan fundamental.
“Hati-hati dengan saham yang bergerak kencang karena rumors. Itu mengandung resiko,” kata Analis Investa Saran Mandiri, Hans Kwee kepada wartawan akhir pekan kemarin.
Ia mengungkapkan, selain melihat potensi bisnis perusahaan di masa mendatang, ada baiknya sebelum masuk ke saham tertentu, investor harus bisa melihat fundamental emiten tersebut. Artinya, secara kuantitatif investor dinilai harus bisa melihat kinerja perusahaan, antara lain price book value (PBV) ratio dan price earning (PER) rationya.
“Secara kualitatif investor juga perlu melihat, siapa pengurus perusahaannya, atau bagaimana managementnya. Siapa dibalik itu semua,” jelasnya.
Berdasarkan data RTI per 15 November 2019, PBV ratio saham ARTO sendiri tercatat sebesar 35,12x dan PER di -128,26x. Bandingkan dengan bank lain seperti BBRI yang memiliki PBV 2,53x dan PER 15,26x. Sementara PBV, BBCA 4,61x dan PER 27,74x. Sedangkan PBV BMRI dan BBNI masing-masing 1,62x, 1,15x dengan PER 12,00x, 8,70x.
Hans menjelaskan, secara bisnis korporasi, Bank Artos kedepan punya potensi besar, terlebih setelah diakuisisi oleh perusahaan milik Jerry Ng bernama PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI), dan entitas milik Patrick Walujo, yakni Wealth Track Technology Limited (WTT) yang berbasis di Hong Kong.
Jika visi pengendali baru ini terwujud, dan Bank Artos menjadi fully digital bank, maka nilai valuasi bank akan meningkat sangat besar. “Namun kembali lagi, investor tetap harus berhati-hati, karena sejauh ini hal tersebut masih spekulasi,” terangnya.
Oleh sebab itu, Investor sebaiknya wait and see hingga manajemen baru memaparkan rencana bisnisnya dalam mengembangkan bank ini, dan menyelesaikan proses rights issue.
Hal lain yang mesti dicermati oleh investor adalah akuisisi bank ini tidak berimplikasi pada pelaksanaan tender offer untuk pemegang saham non pengendali. Tidak adanya kewajiban tender offer ini disebabkan aturan pembatasan kepemilikan bank, sementara pemegang saham pengendali baru (PT MEI dan WWT) maksimal hanya memiliki 51% saham.
Disisi lain, meski saat ink harga saham ARTO tergolong kemahalan, dalam jangka panjang, saham emiten ini memiliki prospek yang positif.
Hal tersebut didukung oleh rencana manajemen baru mengembangkan konsep bank digital dan susunan pengurus bank yang berlatar para professional dan terbukti telah melakukan terobosan/transformasi digital di bank sebelumnya.
Hati-hati Saham dengan PBV Besar
Pengamat pasar modal, Satrio Utomo mengungkapkan, untuk masuk saham sektor finance, ada baiknya pemodal juga melihat rasio PBVnya.
Melihat PBV dapat membantu investor untuk membandingkan nilai pasar atau harga saham yang mereka bayar per saham dengan ukuran tradisional nilai suatu perusahaan.
Jika PBV sudah sangat besar, investor dinilainya perlu hati-hati. Menurutnya, PBV saham di industri finance dikategorikan rendah jika di bawah 2x.
“Kalau sudah diatas 30x hati-hati. Ini seperti bom waktu,” jelas Satrio.
Iapun sedikit memberi tips buat calon investor maupun yang sudah berinvestasi di pasar modal, agar tidak terjebak di saham tertentu.
Sebelum berinvestasi ia mengungkapkan calon investor perlu tau, bahwa pasar modal memiliki resiko yang tidak hanya bisa kehilangan uang. Bahkan keluarga.
“Oleh sebab itu pertama-tama dia harus tau, ia masuk ke pasar modal untuk sebagai trader atau investor,” ujarnya.
Jika sebagai trader, lanjut Satrio, si pemodal harus pandai memiliki strategi, kapan ia harus masuk atau keluar. Karena, selain bicara technical, banyak trader juga mengandalkan rumor di pasar.
Sementara jika sebagai investor, pemodal dinilainya harus bisa menganalisa sebuah perusahaan dari sisi fundamentalnya. Karena prinsipnya, jika seorang ingin berinvestasi di pasar modal itu jangka panjang.
Pemodal dinilai harus bisa melihat laporan kinerja keuangan perusahaan, lalu membaca bagaimana prospek perusahaan tersebut kedepan bila dilihat dari sisi bisnisnya. “Jika tidak seperti itu, ia bisa terjerumus dan kalah,”terangnya. (*)