Darmin tercatat sebagai salah satu pejabat yang sering berpikir “out of the box” Bahkan Ia sempat dicap sebagai penganut dovish. Namun sejumlah kebijakannya terbukti efektif mendorong perekonomian lebih stabil. Apriyani Kurniasih.
Jakarta— Darmin Nasution kembali mengemban tugas sebagai pejabat negara dengan dilantiknya Ia menjadi Menteri Kordinator (Menko) Bidang Perkonomian. Terpilihnya Darmin pun diwarnai oleh pro-kontra. Keberatan datang dari Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) yang menganggapnya belum layak menjabat Menko Perekonomian. Darmin dinilai tak layak karena dianggap terkait dengan kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan ketika ia menjabat Dirjen Pajak.
Ada yang kontra tetapi tak sedikit juga yang menyatakan dukungannya. Sebut saja dua bos Pelat merah, Dwi Sutjopto, Direktur Utama Pertamina dan Arif Wibowo, Direktur Utama Garuda Indonesia. Dwi Sutjipto menilai, Darmin merupakan sosok yang tempat menjadi Menko Perkeonomian karena pengalamannya di bidang ekonomi makro. Senada dengan Dwi, Arief juga menganggap Darmin merupakan orang yang piawai mendorong tim, khususnya dibidang ekonomi.
Dukungan juga datang dari para pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Rosan Roeslani, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perbankan dan Finansial menyebut Darmin sebagai ekonom senior yang berpengalaman di perpajakan dan moneter yang diyakini dapat menciptakan harapan positif.
Profil Darmin
Darmin Nasution lahir Mandailing Natal, Sumatra Utara, pada 21 Desember 1948. Ia merupakan putera ketujuh dari pasangan almarhum Judin Nasution dan almarhumah Asma Rangkuti. Darmin menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ekoomi Indonesia. Di perguruan tinggi ternama yang berlokasi dikawasan Depok ini, Darmin yang cerdas kemudian diangkat menjadi Dosen.
Selain menjadi dosen, Darmin berkesempatan menjadi periset dalam pergumulannya di kampus UI sejak 1972 hingga 1992. Usai menempuh pendidikan doktoral bidang ekonomi di Universitas Paris, Sorbonne, Prancis, pada 1986, Darmin dipercaya menjadi Wakil Kepala Bidang Peneliti LPEM UI pada periode 1987-1989, dan pada 1989-1993 diangkat menjadi Kepala LPEM UI.
Dari lingkungan kampus, Darmin beralih ke lingkungan pemerintahan pada 1994. Jabatan yang pernah dipegangnya ialah Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dan Direktur Jenderal Pajak.
Setelah itu, Darmin masuk ke lingkungan bank sentral. Karier Darmin di BI dimulai sebagai Deputi Gubernur Senior BI untuk masa jabatan 2009-2014. Pada Mei 2009 Darmin Nasution mengemban tugas sebagai pejabat sementara (pjs) Gubernur BI pasca keputusan Pemberhentian Boediono dari Jabatan Gubernur BI, yang kemudian menjadi calon wakil presiden. Selanjutnya, pada 2010, Darmin pun mejadi Gubernur Bank Indonesia.
Darmin termasuk orang yang seringkali berpikir “out of the box”, sejumlah kebijakan yang diambil Darmin untuk mengatasi persoalan-persoalan di bidang moneter banyak dinilai tidak lazim dengan kebijakan umum di bidang moneter yang selama ini dijalankan BI. Meski awalnya dinilai kontroversial, bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang dilakukan Darmin belakangan diakui jitu untuk mengatasi persoalan dalam bidang moneter di Indonesia.
Semasa di BI, Darmin sempat menganggap bahwa instrumen suku bunga tak selamanya tepat untuk dijadikan sebagai alat operasi moneter. Di masa kepemimpinannya, kebijakan moneter yang dikeluarkan BI harus tepat sasaran dan tidak selalu menggunakan instrumen suku bunga.
Selama menjabat sebagai Gubernir BI, Darmin menegeluarkan kebijakan menurunkan suku bunga acuan BI Rate di tengah situasi keuangan global yang dilanda krisis. The Economist mencatat, pada Oktober 2011 BI menjadi bank sentral pertama di kawasan Asia yang menurunkan suku bunga acuan.
Darmin memang sangat konsen terhadap penguatan sektor riil sehingga kerap kali dia dicap sebagai penganut dovish, yakni kebijakan suku bunga rendah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Karena saya dipikir dovish (pro mendorong sektor riil). Bukan hanya itu sebenarnya. Saya tidak ingin suku bunga terlalu tinggi karena akan makin banyak itu uang masuk. Dan, kita tahu pada suatu saat dan mungkin tiba-tiba mereka akan balik keluar. Pas balik, bisa mati kita,” terang Darmin dalam suatu kesempatan wawancara.
Dalam tiap kesempatan, khususnya pada rapat dewan gubernur, Darmin juga selalu menekankan upaya memaksa bank melakukan konsolidasi. Dari sana lahirlah konsep BUKU. Dalam ketentuan tersebut kegiatan operasi bank dibatasi berdasarkan permodalan masing-masing, yang diatur secara berjenjang melalui BUKU 1 sampai dengan BUKU 4.
Ada tiga program besar yang dilakukan bank sentral pada masa kepemimpinan Darmin. Pertama, program financial inclusion yang didorong melalui kebijakan utama dalam branchless banking dan electronic money (e-money). Kedua, Kajian Ekonomi Regional (KER) yang diberi nama Laporan Nusantara (Nusantara Report). Dan ketiga, adalah TPI dan TPID.
Apa yang dilakukan Darmin melalui sejumlah terobosan kebijakan di BI, khususnya melalui kebijakan makroprudensial dengan bauran kebijakan sebagai ujung tombaknya, tak hanya diakui secara nasional tapi juga secara global. Pada pengujung 2012, tepatnya 10 November 2012, The Economist memberikan apresiasi terhadap perekonomian Indonesia karena dianggap memiliki pertumbuhan paling stabil di dunia dalam kurun waktu beberapa triwulan terakhir. The Economist juga mengklaim, Indonesia menjadi pelopor penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial. Melalui sebuah bauran kebijakan yang efektif, Indonesia dipandang mampu memitigasi risiko kredit dan mencegah pelarian modal, tanpa harus menaikkan suku bunga.