Jakarta – Era digital membawa aura baru persaingan di industri perbankan. Namun, tak semua bank siap menghadapinya. Sebut saja bank kecil, seperti bank BUKU I dan bank BUKU II.
Ekonom, yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Katholik Atmajaya, A. Prasetyantoko mengakui masalah culture atau budaya jadi salah satu problematika Bank Umum Kelompok Usaha ( BUKU) II untuk bertransformasi layanan ke teknologi digital.
Menurutnya bank BUKU II banyak yang secara financial sanggup perkuat IT, namun untuk SDM-yang dibutuhkan untuk bisa mendukung itu belum banyak.
“Ditambah bank konvensional punya mitigasi resiko yang cukup ketat,” kata Prasetyantoko diacara talkshow Infobank dengan tema “Transformasi Layanan Perbankan Menembus Era Digital” di Jakarta, Selasa, 10 Oktober 2017.
Ditempat yang sama, CEO Investree, Adrian Gunadi mengungkapkan, kriteria mitigasi resiko di fintech dan perbankan konvensional saat ini sangat berbeda. Di era digital saat ini nasabah membutuhkan kecepatan proses, dan efisiensi.
Sehingga, tidak bisa sebuah fintech melakukan mitigasi resiko seperti layaknya bank konvensional.
Di Investree sendiri lanjutnya punya standar prosedur sendiri dalam memitigasi resiko. Dalam proses pinjaman contohnya, nasabah kata dia bisa dilihat dari invoice financing atau dilihat dari tagihan usahanya.
Track record dari history nasabah itulah yang dijadikan acuan proses peminjaman si nasabah.
“Bahkan perusahaan yang rugi bisa kita danai, asalkan invoice financing-nya lancar,” jelas Adrian.
Melihat kondisi tersebut, tentu bank sudah harus melakukan pembenahan mulai dari kultur, sebelum masuk ke investasi IT. (*)