Jakarta– Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai peningkatan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kurang produktif dan trennya terus memburuk, hal tersebut tercermin dari indikator resiko utang yang mempengaruhi sisi fiskal.
“Dari sisi fiskal pertama soal besarnya kewajiban pembayaran utang jatuh tempo mempengaruhi ruang fiskal. Rasio pembiayaan cicilan pokok dan bunga utang terhadap penerimaan pajak terus naik. Tahun 2011 angkanya 26,5%, di tahun 2016 langsung naik ke 31%. Artinya penerimaan pajak 31% nya sudah habis untuk bayar kewajiban utang,” jelas Bhima saat dihubungi Infobank di Jakarta, Jumat 16 Maret 2018.
Bhima menambahkan, bila ruang fiskal semakin sempit akibat kewajiban bayar utang, otomatis terdapat pos yang harus dihemat. Hal tersebut terlihat pada 3 tahun terakhir angka belanja subsidi energi telah dipangkas untuk membangun infrastruktur dan digunakan untuk menyicil utang.
Baca juga: Kemenkeu Anggap Utang Luar Negeri Sebesar Rp4.900 Triliun Bisa Lunas
“Harusnya konsep utang untuk leverage berkorelasi dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi. Tapi ULN pemerintah tumbuh 14% tahun lalu, pertumbuhan PDB cuma 5%. Manufaktur juga tumbuh dibawah 4,5%. Ini indikasi antara besarnya utang dan produktivitas belum nyambung alias terjadi diskonektivitas,” tambah Bhima.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) telah mencatatkan angka Utang Luar Negeri Indonesia hingga akhir Januari 2018 sebesar US$357,5 miliar atau meningkat 10,3 persen (yoy), terdiri dari utang sektor pemerintah dan bank sentral sebesar US$183,4 miliar, serta utang swasta sebesar US$174,2 miliar.(*)