Jakarta – Penutupan Sillicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat pada dasarnya dipicu masalah teknis individu bank terkait mismatch asset & liabilities management yang tidak di-cover dengan ketersediaan likuiditas dan modal yang memadai telah memicu permasalahan psikologis dengan turunnya kepercayaan pada institusi keuangan. Dampaknya, penurunan kepercayaan tersebut telah memberi efek rembetan pada beberapa bank lain dan menyebar lintas yurisdiksi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menilai kerentanan yang saat ini terjadi di perbankan global terutama dipicu oleh kegagalan bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia.
Dalam pertemuannya dengan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), Dian meminta perbankan Indonesia untuk terus memperkuat penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan prinsip kehati-hatian antara lain dengan melakukan stress testing dan pemantauan terhadap portofolio aset dan liabilitas bank termasuk risiko konsentrasi pada pinjaman dan pendanaan.
Saat ini, pihaknya mencermati bahwa aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Selanjutnya dalam menyikapi kasus SVB dan efek rembetannya, meski dampaknya minimal pada industri perbankan Indonesia, Dian menekankan kepada perbankan agar prinsip-prinsip dasar kehati-hatian terus menjadi perhatian.
“Rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset yang berkualitas tinggi harus tetap dijaga. Praktek-praktek excessive risk taking behaviour yang spekulatif harus dihindari. Selain itu, untuk menguji katahanan perbankan, secara regular perbankan diminta melakukan stress test pada berbagai scenario,” ujar Dian dalam keterangannya dikutip, Senin, 27 Maret 2023.
Belajar dari kegagalan SVB, BCBS juga terus menekankan pentingnya kecukupan rasio modal dan ketersediaan likuiditas yang memadai. Biaya modal (cost of capital) serta ketersediaan likuiditas dalam jumlah yang cukup memang dianggap mahal dan tidak efisien.
Namun BCBS juga mengingatkan bahwa keterbatasan modal dan likuiditas akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar apabila industri perbankan gagal dalam mengantisipasi pergerakan/gejolak makroekonomi global dan gagal dalam menjaga kepercayaan masyarakat.
Biaya ekonomi dan sosialnya akan sangat besar dan jauh lebih mahal terlebih apabila hal tersebut memicu efek rembetan (spill over effect) secara global. Kasus kegagalan SVB atau Lehman Brother sebelumnya telah memberi pelajaran yang sangat berharga.
Selain itu, BCBS menilai bahwa kondisi makroekonomi global saat ini sedang dalam tataran yang sangat dinamis. Pergerakan inflasi global yang sedang meningkat akibat disrupsi rantai pasok komoditas dan energi telah direspons dengan kenaikan suku bunga di berbagai yurisdiksi.
Kondisi demikian pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi global. Perubahan kondisi makro yang demikian cepat ini sangat memberi tekanan pada industri keuangan khususnya perbankan.
Seperti diketahui, berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudensial yang tetap di atas rata-rata perbankan global. Sebagai gambaran, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 25,93% dan sekitar 85% komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti.
Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika 13,52% dan Eropa sebesar 16,13 persen. Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik, antara lain ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net-Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing tercatat sebesar 232,22% dan 134,58%.
Kondisi likuiditas tersebut juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rasio LCR dan NSFR perbankan di Amerika sebesar 120,43% dan 123,20%, serta perbankan di Eropa sebesar 152,39% dan 120,2%. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra