Oleh A.Y. Eka Putra, Pemerhati Ekonomi dan Perbankan
ISU pengambilalihan paksa saham PT Bank Central Asia Tbk (BCA) kembali menyeruak ke ruang publik. Meski rumor semacam ini kerap muncul dalam dinamika ekonomi-politik Indonesia, kali ini gaungnya terasa lebih keras. Wajar bila publik bertanya: apakah benar pengambilalihan itu dimungkinkan? Apakah hukum memberi ruang? Dan, apa implikasinya bagi tata kelola perekonomian nasional?
Di sinilah penting membedakan dua rezim hukum yang bekerja bersamaan: hukum privat dan hukum publik.
Hukum Privat: Hak Pemegang Saham Adalah Mutlak
Dalam rezim hukum privat, hubungan hukum antara pemegang saham dan perseroan diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal?
BCA sebagai bank publik tunduk pada mekanisme korporasi yang baku: pemindahan saham dilakukan secara sukarela melalui jual-beli di bursa atau perjanjian sah antarpihak. Hak atas saham adalah hak milik privat.
Artinya, negara atau pihak mana pun tidak dapat memaksa pemegang saham untuk menjual, kecuali melalui mekanisme hukum yang jelas: konsinyasi, putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, atau ketentuan dalam akuisisi yang disetujui oleh RUPS dan otoritas.
Baca juga: Hentikan! Ide “Sesat” Pengambilalihan Paksa Saham BCA
Hukum Publik: Stabilitas Sistem Keuangan
Sebagai Taruhannya Namun, di lain sisi, BCA bukanlah perseroan biasa. la adalah bank sistemik, yang masuk dalam daftar domestic systemically important bank (D-SIB). Maka, hukum publik bekerja: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Hukum publik memberi kewenangan bagi negara untuk mengawasi, mengatur, bahkan mengambil alih kendali bila menyangkut stabilitas keuangan nasional. Di sinilah logika hukum publik berbeda. Tujuannya bukan semata melindungi hak privat, tetapi menjaga kepentingan nasional yang lebih luas: kepercayaan deposan, stabilitas pasar modal, dan kredibilitas Indonesia di mata investor global.
Namun, intervensi publik tidak boleh dilakukan dengan cara meniadakan rule of law. Jika pengambilalihan dipaksakan tanpa dasar hukum yang sah, justru akan menciptakan moral hazard, capital flight, serta erosi kepercayaan investor internasional.
Menakar Legitimasi: Publik dan Privat Harus Selaras
Pengambilalihan BCA – atau bank sistemik mana pun – hanya sah bila ada dua legitimasi. Satu, legitimasi privat: kesediaan pemegang saham melalui mekanisme pasar dan RUPS. Dua, legitimasi publik: persetujuan otoritas (OJK, BI, KPPU) dengan dasar hukum yang jelas, transparan, dan akuntabel. Tanpa kombinasi keduanya, setiap langkah “pemaksaan” akan dinilai sebagai pelanggaran rule of law dan mencederai iklim investasi.
Pelajaran dari Masa Lalu
Krisis 1997-1998 memberi pelajaran berharga. Intervensi pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memang menyelamatkan sistem, tetapi meninggalkan luka hukum dan reputasi hingga bertahun-tahun. Proses rekapitalisasi bank menyisakan pertanyaan tentang fairness, kepemilikan, dan akuntabilitas. Kini, dua dekade kemudian, wacana pengambilalihan saham BCA justru mengulang ketakutan lama: apakah hukum privat bisa dikalahkan begitu saja oleh kepentingan publik yang kabur?
Baca juga: Prospek Saham BBCA Dinilai Positif, Bisa Capai Rp12 Ribu per Lembar
Penutup: Rule of Law Sebagai Fondasi I
Indonesia tengah berada dalam sorotan investor global. Jika isu pengambilalihan paksa BCA ini tidak dijawab dengan kepastian hukum, risiko reputasi akan menurun drastis. Oleh karena itu, mari tegaskan bahwa (1) hukum privat harus dihormati demi kepastian investor; (2) hukum publik harus ditegakkan demi stabilitas nasional. Keduanya tidak boleh saling meniadakan, melainkan harus berjalan beriringan di atas fondasi rule of law.
Pada akhirnya, legitimasi sebuah pengambilalihan bukan soal siapa yang berkuasa, melainkan apakah hukum ditegakkan. Itulah ujian terbesar bagi bangsa ini: apakah kita negara hukum atau sekadar negara kekuasaan. Jadi, ide pengambilalihan ini tidak bisa dijalankan. (*)









