Jakarta – Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga acuannya atau BI7DRR di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2023. Pasalnya, inflasi dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri dalam kondisi yang stabil.
“Inflasi kita menurun lebih cepat kembali ke sasaran. Khususnya inflasi inti di sekitar 3% malah turun, target kita 3,0±1% ini turun dan sekarang terkendali di sekitar 3%. Sebagai dasar kenaikan suku bunga tidak perlu lagi, it’s enough,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam RDG, Kamis, 16 Maret 2023.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman, memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,75% hingga sisa tahun 2023 dengan tetap mewaspadai perkembangan ekonomi global ke depan, yang masih penuh dengan ketidakpastian.
Menurutnya, dari sisi domestik, surplus perdagangan Indonesia pada Februari 2023 terus mencatat surplus sebesar US$5,48 miliar di tengah ancaman perlambatan ekonomi global. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa terus meningkat menjadi US$140,3 miliar. Tingkat inflasi juga berada dalam tren menurun, turun dari 5,95% yoy pada September 2022, ketika pemerintah menyesuaikan harga BBM bersubsidi, menjadi 5,47% pada Februari 2023.
“Hal tersebut memberikan dukungan terhadap stabilitas nilai tukar Rupiah. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menaikan BI-7DRRR hampir tidak ada,” ujar Faisal dikutip, Jumat, 17 Maret 2023.
Kemudian, dari sisi global, Faisal memperkirakan bahwa dalam pertemuan FOMC minggu depan atau Maret 2023, The Fed akan meningkatkan FFR sebesar 25 bps. Hal ini didukung oleh tingkat inflasi IHK AS yang turun dari 6,4% menjadi 6%, dan tingkat pengangguran yang naik dari 3,4% dan 3,6% pada Februari 2023.
“Situasi saat ini mengenai kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) juga mendukung hal ini (kenaikan FFR),” katanya.
Lanjutnya, SVB berinvestasi besar-besaran dalam obligasi yang diterbitkan dalam suku bunga rendah. Ketika inflasi AS memanas pada tahun 2022, The Fed mulai menaikkan FFR yang menurunkan nilai kepemilikan obligasi yang diterbitkan dengan suku bunga yang lebih rendah.
“Lingkungan suku bunga yang lebih tinggi membuat perusahaan modal ventura memotong pendanaan ke startup, memicu musim dingin pendanaan. Hal ini menyebabkan simpanan startup menurun, memaksa SBV untuk menjual obligasi dengan kerugian,” ungkapnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra