Jakarta – Kebijakan hilirisasi yang digencarkan pemerintahan Jokowi beberapa tahun terakhir memetik hasil positif terhadap postur produk domestik bruto (PDB).
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Riyatno mengungkapkan, nilai investasi di sektor hilirisasi hingga 2040 diprediksi mencapai US$ 618,1 miliar. Hal tersebut dituangkan dalam peta jalan (roadmap) Hilirisasi Investasi Strategis hingga 2040.
“Investasi tersebut akan memberikan tambahan terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar US$ 235,9 miliar, mendongkrak nilai ekspor hingga US$ 857 miliar, serta membuka lapangan pekerjaan lebih dari 3 juta,” kata Riyatno dalam “Investortrust Future Forum: Mendiversifikasi PMA di Investasi Berkelanjutan”, yang digelar Investortrust.id bersama Kementerian Investasi/BKPM, di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu, 25 September 2024.
Baca juga : BPKM Ungkap Sejumlah Tantangan Hilirisasi di RI, Apa Saja?
Ia mengatakan, pemerintah sendiri terus mendorong hilirisasi dan industrialisasi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Apalagi, hilirisasi memberikan nilai tambah berlipat.
“Misalnya untuk nikel, kalau sudah menjadi nikel sulfat, itu menjadi 11,4 perkaliannya. Untuk precursor itu menjadi atau kali 19,4. Untuk katoda kali 37,5. Dan tentu kalau bisa menjadi sel baterai itu perkaliannya 67,7. Jadi sangat luar biasa kalau bahan mentah itu atau raw material itu diolah,” jelasnya.
Kendala Hilirisasi
Namun, untuk mendorong hilirisasi dan industrialisasi, Indonesia kekurangan SDM yang kompeten. Di mana, setiap tahun dibutuhkan sekitar 16.000 tenaga kerja kompeten untuk sektor manufaktur, termasuk hilirisasi.
Kendala lainnya adalah kebutuhan investasi yang besar. Untuk itu, dibutuhkan perluasan kerja sama internasional. Dalam hal ini, Kementerian Investasi/BKPM membuat perjanjian-perjanjian baik bilateral, multilateral, atau bilateral investment treaty.
Riyatno juga menyebutkan, hilirisasi juga menghadapi tekanan terkait dengan pelarangan ekspor komoditas mentah sebagai bahan baku. Indonesia digugat Uni Eropa melalui World Trade Organization (WTO) terkait dengan larangan ekspor nikel beberapa waktu lalu.
“Hingga kini, pemerintah sudah memberikan berbagai insentif untuk mendorong investasi di sektor hilirisasi, terutama di sektor perpajakan, kebijakan di sektor keuangan, dan Undang-Undang yang mendukung,” pungkasnya.
Baca juga : Dukung Hilirisasi, PLN Siapkan Listrik Andal untuk Smelter Freeport
Direktur Hilirisasi Perkebunan, Kelautan, Perikanan dan Kehutanan, Mohamad Faizal menambahkaninvestasi sebesar US$ 618 miliar tersebut tersebar di 28 komoditas unggulan Indonesia.
Antara lain, di sektor mineral, batu bara, minyak bumi, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan. Komoditas tersebut dipilih karena Indonesia memiliki cadangan berlimpah.
“Seperti kita tahu bahwa nikel, potensi nikel kita nomor satu di dunia, timah potensinya nomor dua di dunia, bauksit nomor enam. Begitu pula dengan katakanlah sawit, sawit kita nomor satu di dunia, kelapa nomor satu, karet nomor dua, udang nomor tiga, ikan, tuna, cakalang, tongkol nomor satu di dunia, rajungan nomor dua, dan lain sebagainya,” terang Faisal.
Ia menjelaskan, pada 2023, total nilai realisasi dari sektor hilirisasi adalah mencapai Rp 375,4 triliun. Capaian nilai tersebut berkontribusi sebanyak 26% dari capaian realisasi investasi pada tahun 2023.
Begitu pula pada semester I tahun 2024 ini, 21,9% dari total realisasi di semester I 2024 berasal dari realisasi investasi perusahaan-perusahaan yang melakukan hilirisasi.
Menurut Faizal, dengan roadmap hilirisasi tersebut, Indonesia diharapkan menduduki posisi lima besar negara produsen baterai untuk kendaraan listrik dunia, serta menjadi salah produsen stainless steel terbesar dunia. (*)